Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Sudah sejak tiba di kantor Marvin tidak bisa fokus dengan pekerjaannya, begadang semalaman tidak juga dapat meringankan beban yang menghimpit pikiran dan perasaannya. Jika Saka tidak ada di dekatnya semalam mungkin ia sudah melakukan hal gila yang selalu ia coba selama ini. Ia sendiri tidak mengerti dengan dirinya, perasaannya sekarang terlalu campur aduk.
Marvin berdiri menatap jendela yang memperlihatkan hiruk pikuk dan keramaian ibu kota yang terlihat dari sana. Perasaan bersalah kembali menggerogoti dirinya, bersalah karena kematian adiknya, bersalah karena hubungan keluarga yang rusak sejak peristiwa itu dan kesedihan yang mendalam karena merasa menjadi penyebab dari semua yang terjadi. Bayangan Anton yang terbaring tidak berdaya dengan guratan keriput tipis yang sudah terlihat di wajahnya membuat sesuatu yang aneh dalam dirinya mendobrak untuk keluar, ditambah ucapan Febi semalam yang mengatakan bahwa ia baru akan datang ketika Anton berada di ICU. Semua hal yang bercampur aduk itu berhasil mengacaukan dirinya yang sempat tenang beberapa saat kemarin.
Rasa cemas yang sedari tadi berusaha ia tekan agar tidak muncul ke permukaan terus mendesak untuk keluar, Marvin mulai menjambak rambutnya frustasi karena ia tidak juga berhasil meredam rasa cemas yang pelan tapi pasti mulai merayap di hati dan pikirannya.
Tanpa pikir panjang Marvin segera mengambil kunci mobil dan ponselnya berniat meninggalkan pekerjaannya. Langkahnya terhenti tepat ketika pintu ruang kerjanya terbuka dan memunculkan Saka dan seorang wanita yang sudah lama tidak pernah ia temui.
“Mau kemana, Vin?” tanya Saka yang melihat kunci mobil yang sudah berada ditangan Marvin dan pria itu yang hendak meninggalkan ruangannya.
“Keluar sebentar.”
“Nadira mengajak kita makan siang bersama.” Tutur Saka pada sepupunya, Marvin melirik sejenak pada wanita yang pernah mengisi kekosongan hatinya dulu. Wanita yang berhasil membuat Marvin merasa memiliki, dimiliki dan dicintai.
“Kalian saja.” Balas Marvin hendak melangkah meninggalkan dua orang yang baru saja tiba di hadapannya. Tapi sekali lagi langkah Marvin terhenti.
Nadira, wanita yang sedari tadi hanya diam disamping Saka dengan cepat memeluk Marvin, membuat pria itu terdiam, matanya terus menatap lurus dengan tajam tanpa mempedulikan apapun yang dilakukan oleh wanita yang sudah menempel pada tubuhnya itu.
“Aku merindukanmu, Vin.” Marvin hanya diam mematung tidak menjawab ataupun membalas pelukan Nadira. “Aku pulang karena merindukanmu.” Imbuh Nadira lagi yang justru malah membuat Marvin melepaskan tangan Nadira yang melingkar di pinggangnya.
“aku tidak.” Balas Marvin ketus, kemudian meninggalkan wanita cantik dengan kulit putih dan rambut sebahu itu keluar dari ruangannya dengan langkah pasti. Nadira pernah berhasil mengisi kekosongan dalam hatinya dan meyakinkan dirinya bahwa ia layak dicintai, tapi ketika ia sudah percaya padanya, wanita itu pergi membuat serpihan baru yang berserakan di hatinya.
“kosongkan semua jadwalku.” Suara berat Marvin berhasil mengejutkan Sabrina dan membuat wanita itu segera berdiri. “Kau tidak usah menungguku, aku tidak kembali ke kantor.” Lanjut Marvin sambil melangkah meninggalkan sekertarisnya.
*
Marvin sudah berada di dalam mobil, mencengkram erat kemudi di depannya. Kemunculan Nadira berhasil memicu rasa marah dan sakit yang memang belum benar-benar pulih. Marvin menyandarkan tubuhnya dengan kasar pada sandaran kursi mobilnya, belum selesai rasa cemas karena bertemu ibunya sekarang harus ditambah dengan kemunculan wanita yang tidak ingin lagi ia temui.
Tanpa sadar Marvin mulai melajukan mobilnya meninggalkan gedung kantornya, entah magnet apa yang menariknya tapi setelah hampir satu jam menyetir Marvin sudah kembali memarkirkan mobilnya di gedung tiga lantai yang baru kemarin sore ia datangi.
Sedari tadi , setiap kali rasa cemas itu ingin mendobrak keluar bayangan Bianca terus muncul dalam benaknya bergantian dengan bayangan ibunya dan Nadira yang sudah berhasil memecahkan ketenangan yang sempat sejenak bisa ia rasakan.
Marvin meninggalkan mobilnya dan mulai melangkah menuju ruang praktek Bianca yang sudah sangat familiar baginya. Langkahnya terhenti tepat di hadapan Jean, asisten terapis yang selama ini mendampingi konsultasinya.
Jean segera berdiri begitu mendapati Marvin di depan mejanya, “ada yang bisa saya bantu, Pak Marvin?” tanya Jean sigap. Jean berusaha mengingat jadwal yang sudah ia susun rapi hari ini dan tidak ada jadwal konsultasi atas nama pria di hadapannya, jadi apa yang dilakukan pria ini disini?
“Apakah saya bisa bertemu Mba Bianca dan melakukan konsultasi hari ini?” tanpa basa basi, Marvin langsung mengutarakan maksud dan tujuannya. Sejak tadi wajah Bianca muncul di tengah bayangan kedua orangtuanya, wajah teduhnya seolah memanggilnya, menariknya untuk menemui wanita itu.
“Hari ini jadwal Mba Bianca sudah penuh, Pak.” Jawab Jean memerhatikan jadwal atasannya, Jean mendapati raut kecewa yang samar dari pria di hadapannya. “Jika Bapak mau saya bisa menyisipkannya besok.” Tawar Jean kemudian.
“Jam berapa praktek Mba Bianca hari ini selesai?” tanya Marvin tidak menanggapi tawaran wanita di hadapannya, yang ada dipikirannya hanya bertemu Bianca secepatnya.
“jam setengah 6 sore.”
“Apa biasanya ba Bianca masih mau menerima konsultasi di jam segitu?” tanya Marvin sedikit mendesak. Ia merasa bertemu dengan Bianca bisa meredakan kecemasannya dan memberikan sedikit ketenangan pada dirinya. Jean menggeleng merespon pertanyaan Marvin.
“Baiklah, terima kasih.” Ujar Marvin dengan nada sedikit kecewa, kemudian beranjak meninggalkan Jean yang masih berdiri di sana.
“Pak Marvin, tunggu.” Panggil Jean menghentikan langkah Marvin sebelum pria itu benar-benar menghilang. Marvin menoleh dan menatap Jean bertanya ada apa. “Apa Bapak mau menunggu sebentar sampai Mba Bianca selesai dengan klien di dalam? Nanti akan saya bantu tanyakan.” Tawar Jean, senyum tipis muncul dari wajah pria itu, Marvin mengangguk dan kembali melangkahkan kaki menuju sofa yang disediakan di sana untuk menunggu.
Setelah menunggu kurang lebih 15 menit, pintu ruang konsultasi terbuka dan seorang wanita keluar dari sana. Marvin melihat Jean meninggalkan mejanya dan mengetuk pintu ruang konsultasi yang sudah kembali tertutup.
Kemunculan Jean dibalik pintu ruangannya yang baru saja tertutup berhasil memaksa Bianca menghentikan pekerjaannya.
“Ada apa?” tanya Bianca sedikit keheranan.
“Ada Pak Marvin di depan, beliau minta disisipkan untuk bisa konsultasi hari ini.” Penjelasan Jean berhasil membuat Bianca Bianca terkejut.
Bianca terdiam, menanyakan di dalam hati apa yang terjadi sampai membuat pria itu datang dan meminta konsultasi dadakan. Bianca menghela nafas sebelum merespon asistennya, “masih ada berapa klien lagi hari ini?” tanya Bianca memastikan jadwalnya.
“Masih ada 2 klien dan baru akan selesai pukul setengah 6, Mba.” Jean menyampaikan sisa agenda Bianca hari ini. Bianca terdiam, sedikit menimbang, ia berusaha memahami jika ada klien yang secara sengaja mendatanginya di luar jadwal yang sudah disepakati berarti ada sesuatu yang mendesak dan kliennya membutuhkan tempat untuk berbagi.
“Bisa tanyakan padanya, apakah bersedia jika menunggu sampai jam 6?” putus Bianca akhirnya. Jean mengangguk kemudian meninggalkan Bianca.
Setelah berada di luar, Jean mendapati Marvin berdiri di depan mejanya dan menunggu dengan tidak sabar. Jean menghampiri pria itu dan menyampaikan tawaran Bianca tadi.
“Pak Marvin, info dari Mba Bianca, apakah Bapa mau menunggu untuk konsultasi di jam 6 sore?”
“Tentu.” Tanpa pikir panjang Marvin mengangguk dengan mantap mengiyakan tawaran yang diberikan. “Terima kasih untuk bantuannya, Mba Jean.” Marvin mengulas senyum, kemudian melihat jam yang ada di pergelangan tangannya, ternyata ia harus menunggu sangat lama sampai waktu yang sudah ditentukan tiba.
“Apa biasanya Mba Bianca bersedia melakukan konsultasi di luar?” tanya Marvin sebelum ia benar-benar melangkah pergi.
Jean menggeleng, “sejauh ini Mba Bianca belum pernah menerima konsultasi di luar ruang prakteknya, Pak.” Jelas Jean menanggapi pertanyaan Marvin.
Marvin mengangguk kemudian pamit pada Jean dan mengatakan bahwa ia akan kembali sebelum jam 6. Meskipun ia harus menunggu hampir setengah hari untuk bertemu dengan Bianca tapi hal itu tidak masalah, dirinya pun tidak tahu apa yang ia inginkan dan harapkan dari keinginannya untuk bertemu Bianca, tapi sejauh ini ia tahu Bianca dan ruangannya lah yang mampu membuat perasaannya lebih baik.
Jean hanya tersenyum dan mengangguk. Pertanyaan Marvin bukanlah pertanyaan yang mengherankan karena memang ada beberapa terapis yang melakukan konsultasi di luar ruang praktek, supaya klien merasa lebih nyaman dan tidak merasa di dalam ruang pengobatan. Tapi, sepanjang Jean menjadi asisten Bianca ia belum pernah melihat Bianca menerima konsultasi di luar ruangannya, batasan yang Bianca buat cukup tegas selama ini. Pertemuan dengan klien di luar ruang praktek bisa membangun komunikasi yang berbeda dan selama ini Bianca berusaha menjaga batas tersebut.
*
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, Bianca sudah menunggu kurang lebih setengah jam dari waktu yang telah disepakati dengan Marvin siang tadi. Tapi pria itu juga belum muncul di ruangannya. Bianca sudah dua kali menanyakan kepada Jean tapi nihil pria itu bahkan tidak memberi kabar apapun.
Bianca menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa masih dengan mata yang terus fokus menatap layar ponselnya, entah apa yang ditunggu. Perlahan Bianca menghembuskan nafasnya, kelelahan jelas terlihat di wajahnya. Sebagai seorang Psikolog hal seperti ini bukanlah hal yang langka, banyak kliennya yang sering kali melakukan hal yang Marvin lakukan tapi perasaan Bianca kali ini berbeda, ada rasa kecewa karena Marvin tidak juga muncul. Pikirannya mulai mengajaknya melakukan banyak asumsi tentang Marvin, tentang mengapa pria itu meminta konsultasi tambahan di luar jadwal, tentang pria itu yang sangat mendesak Jean untuk bisa mendapatkan sesi konsultasi, dan pria itu yang tidak juga muncul.
Setelah menghadapi beberapa orang hari ini, tidak bisa dipungkiri kalau tenaga Bianca cukup terkuras dan membuatnya merasa lelah. Marvin yang tidak kunjung datang membuat Bianca bangkit dari sofanya, mulai merapikan barang-barangnya, memutuskan untuk pulang dan tidak lagi menunggu.