NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:571
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 Tatapan yang mengikat

Sejak kejadian tadi di lapangan latihan, malam ini Aruna tidak bisa tidur teringat bagaimana ciuman itu terjadi , dia menyentuh bibirnya bekas ciuman itu masih terasa sekarang hingga tanpa dia sadari terukir senyum dibibirnya.

“Seharusnya aku menahan diri… seharusnya aku tidak melanggar batas…” gumamnya lirih. Mulutnya mengatakan benar-benar sangat menyesal tapi jauh di lubuk hatinya tersimpan rasa yang tidak akan dia lupakan seumur hidup. Rasa yang selama ini dia pendam tersampaikan tanpa kata lewat ciuman itu.

Begitu juga yang dirasakan Putri Dyah Anindya, degup dijantungnya masih tak beraturan, Ia memejamkan mata, namun justru semakin jelas terbayang sorot mata Aruna yang penuh ketulusan, begitu dekat hingga napasnya masih bisa ia rasakan.

“Kenapa aku membiarkan semua itu terjadi…” bisiknya, wajahnya memerah meski tak ada siapa pun yang melihat. Namun, sama seperti Aruna, ia tak mampu menolak kenyataan bahwa di balik rasa bersalah tersimpan kehangatan yang tak terlukiskan.

Di luar, angin malam berhembus membawa aroma bunga dari taman keputren. Semua terasa sunyi, seakan istana sendiri ikut menyimpan rahasia yang baru terukir malam ini. Putri Dyah bangkit, melangkah ke jendela, menatap bulan yang menggantung penuh di langit. Ada air bening yang tiba-tiba menitik dari sudut matanya, entah karena takut, atau justru karena perasaan yang tak bisa lagi ia sembunyikan.

Sementara itu, Aruna bangkit dari ranjangnya. Ia berjalan ke halaman kecil di depan kamarnya, menatap rembulan yang sama. Dalam hati ia bersumpah, meski dirinya hanyalah seorang pengawal, ia akan melindungi sang putri dengan segala yang ia punya. Rasa itu, meski terlarang, kini sudah menjadi bagian dari hidupnya—bagian yang tak mungkin ia lepaskan. Malam itu, dua hati yang berbeda kedudukan terpaut dalam rahasia yang sama. Mereka tahu jalan di depan penuh bahaya, penuh penghalang, namun tak ada yang bisa menyangkal bahwa benih perasaan itu telah tumbuh, berakar lebih dalam dari yang mereka kira.

Sementara itu, di salah satu bilik sederhana keputren, Puspa terlelap. Namun tidurnya jauh dari kata tenang. Nafasnya tersengal, tubuhnya gelisah, seolah ada sesuatu yang mengejarnya. Dalam mimpi itu, ia berlari tanpa henti di sebuah hutan gelap. Dedaunan bergoyang tertiup angin malam, suara burung hantu terdengar sayup, menambah mencekam suasana. Jantungnya berdegup kencang, kaki-kakinya berlari secepat mungkin, tapi bayangan hitam yang mengejarnya terus mendekat.

“Berhenti lari, Puspa…” suara berat itu menggema, membuat bulu kuduknya meremang. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik suara itu—Raden Raksa. Ia menjerit pelan dan mempercepat langkah, namun jalan yang ditempuh seolah tak berujung. Setiap kali menoleh, ia melihat sorot mata tajam penuh amarah, seakan siap menelannya hidup-hidup.

Tiba-tiba, di tengah kepanikan, tubuhnya menabrak sesuatu yang keras. Puspa terhuyung, hampir jatuh, namun sebuah tangan kuat menangkapnya tepat waktu. Nafasnya tercekat saat ia mendongak. Di hadapannya, berdiri sosok yang baru saja ia hindari. Raden Raksa menatapnya dengan wajah datar, tanpa senyum, tanpa amarah. Sorot matanya menusuk, membuat tubuh Puspa gemetar hebat.

“A… ampun, Raden…” bisiknya terbata, air matanya mulai mengalir. Ia berusaha melepaskan diri, namun genggaman itu terlalu kuat. Raksa hanya diam. Raut wajahnya yang semula menyeramkan perlahan berubah. Garis tegas di wajahnya melunak, tatapannya yang tadinya penuh kebengisan berganti dengan kelembutan yang tak pernah Puspa bayangkan sebelumnya. Ada ketenangan aneh yang memancar dari mata itu, seolah ingin mengatakan sesuatu tanpa kata-kata. Puspa terdiam, tangisnya mereda meski tubuhnya masih bergetar. Hatinya bingung—apakah ia harus terus takut, atau justru merasa aman dalam genggaman yang semestinya ia hindari.

Namun sebelum ia sempat mencari jawaban, semuanya mengabur. Suara desir angin berganti dengan bunyi napasnya sendiri. Matanya terbuka, tubuhnya terbangun dengan keringat dingin membasahi pelipis. Ia terduduk di ranjang, terengah-engah. Tangannya masih bergetar, seakan genggaman itu nyata. Matanya terbelalak menatap langit-langit bilik, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya mimpi.

“Apa maksudnya semua ini…” gumamnya lirih. Ia menyentuh dadanya yang masih berdegup kencang. Rasa takut bercampur heran, bahkan sedikit kehangatan yang sulit ia pahami. Seorang dayang yang tidur tak jauh darinya mendengus pelan, lalu terbangun karena suara Puspa. “Nimas Puspa… apakah panjenengan baik-baik saja?” tanyanya dengan suara mengantuk. Puspa menggeleng cepat, berusaha menutupi kegelisahan yang masih tersisa. “Tidak apa-apa… hanya mimpi buruk.” Dayang itu mengangguk, lalu kembali terlelap. Namun Puspa tidak bisa memejamkan mata lagi. Pikirannya berputar-putar, mengingat wajah Raksa dalam mimpinya. Ia tahu Raden Raksa adalah sosok yang berbahaya, penuh ambisi, dan kerap membuatnya resah. Tapi mengapa dalam mimpi itu, sorot matanya justru membuatnya merasa… tenang?

Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, frustrasi oleh perasaan yang membingungkan. “Kenapa aku harus bermimpi seperti itu…” bisiknya, seolah takut seseorang mendengar. Di luar, malam terus bergulir. Bintang-bintang bergemerlap, bulan bundar menggantung di langit. Namun hati Puspa tetap tak tenang. Ia tidak mengerti apakah mimpi itu sekadar bunga tidur… atau sebuah pertanda akan sesuatu yang belum ia pahami.

Keesokan paginya semua dayang sudah bekerja ditempatnya masing-masing, Puspa yang sedari tadi tidak kunjung menyelesaikan pekerjaannya dihampiri oleh Laras.

“Puspa! Ada apa to dari tadi kok melamun terus, lihat berasmu dimakan ayam,” ujar Laras yang membuat Puspa gelagapan.

“Eh...duh gusti....ya ampuuun....” benar saja sudah segenggam beras yang dia tampi dimakan ayam. Laras pun duduk didekatnya.

“Puspa, ada apa cerita sama aku kok wajahmu pagi-pagi sudah muram nanti cantiknya ilang lhoo...kikikiki....” ucap Laras terkikik tapi beda dengan Puspa yang menghela nafas panjang seperti tengah menanggung beban yang sangat berat.

“Aku gak tahu lagi mau ngomong apa,” ucap Puspa yang menatap kosong kearah pagar istana, Laras mengkerutkan keningnya.

“Ada apa to kok kayak nanggung beban berat banget?”tanya Laras penasaran, Puspa menatap Laras sejenak lalu menarik nafas pelan seolah sedang berusaha memberanikan diri membuka sesuatu yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Laras menunggu, matanya penuh tanda tanya. Hening sebentar, lalu Puspa akhirnya bersuara lirih.

“Laras… aku bermimpi aneh semalam,” ucapnya, pelan tapi cukup jelas. Laras mengangkat alisnya, tubuhnya condong ke depan. “Mimpi apa, kok wajahmu jadi kusut begini?” tanyanya dengan nada penasaran. Puspa menggigit bibir bawahnya, ragu untuk melanjutkan. Namun rasa sesak di dadanya memaksa kata-kata itu keluar. “Aku… aku bermimpi dikejar oleh seseorang. Gelap, mencekam… lalu orang itu menangkapku.” Laras menunggu, pandangannya tak beranjak dari wajah sahabatnya itu.

“Dan orang itu… Raden Raksa,” lanjut Puspa, suaranya nyaris bergetar. Mata Laras melebar, spontan ia menutup mulutnya dengan tangan. “Astaga, Puspa! Raden Raksa?!” suaranya hampir melonjak. “Ya ampun, pantesan dari tadi kau kelihatan resah. Terus… apa yang terjadi setelahnya?” Puspa menunduk, jemari tangannya memainkan ujung kain jarik yang ia kenakan. “Awalnya aku ketakutan, Laras. Dia menatapku dengan wajah menyeramkan… aku bahkan menangis. Tapi… entah bagaimana, wajahnya tiba-tiba berubah lembut. Tatapannya… berbeda. Bukan marah, bukan bengis. Malah… membuatku merasa tenang,” Laras semakin terkejut. Ia menepuk-nepuk pahanya sendiri, tak percaya dengan apa yang didengar. “Astaga, Puspa. Mimpi macam apa itu? Aku sampai merinding mendengarnya. Raksa yang kita kenal… mana mungkin bisa lembut begitu?”

Puspa hanya bisa mengangguk pelan, wajahnya muram. “Itulah yang membuatku bingung. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Rasanya nyata sekali, Laras. Sampai-sampai waktu terbangun, tanganku masih bergetar.” Laras menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Puspa, mimpi itu bisa jadi Cuma bunga tidur. Tapi… bisa juga ada pertanda di dalamnya. Kau tahu sendiri, kadang mimpi membawa pesan yang tak kita pahami saat itu juga.” Puspa terdiam. Kata-kata Laras masuk, tapi tetap saja hatinya gundah. Hari itu berjalan lambat. Puspa dan Laras kembali bekerja sesuai tugas masing-masing di keputren. Namun, kegelisahan jelas terpampang di wajah Puspa. Setiap kali tangannya tampi beras atau melipat kain, pikirannya kembali melayang pada mimpi semalam. Laras, yang mengawasinya dari dekat, akhirnya mengambil keputusan. Menjelang sore ketika pekerjaan mereka rampung, Laras menepuk bahu Puspa. “Puspa, ayo ikut aku. Kita temui Nyi Jayem. Kau tahu, beliau kadang suka menafsirkan mimpi. Siapa tahu mimpimu bisa ia jelaskan.” Puspa sempat ragu, tapi kemudian mengangguk. Ada rasa takut sekaligus lega karena akhirnya ia bisa berbagi lebih jauh tentang apa yang mengganggunya.

Mereka pun melangkah menuju bilik kecil di pojok keputren, tempat Nyi Jayem biasanya beristirahat setelah menyelesaikan tugasnya. Dayang senior itu dikenal bijak, penuh pengalaman, dan memiliki naluri tajam yang kadang membuat orang segan sekaligus hormat.

Ketika mereka tiba, Nyi Jayem sedang menenun dengan tenang. Wajahnya keriput namun teduh, sorot matanya dalam seakan mampu menembus isi hati orang. Ia menoleh, lalu tersenyum tipis. “Lho, Puspa, Laras… ada apa sore-sore begini datang ke sini?” tanyanya dengan suara berat namun lembut. Laras memberi isyarat pada Puspa untuk bicara. Puspa menelan ludah, lalu duduk bersila di hadapan Nyi Jayem. “Nyi… aku ingin meminta tolong. Tadi malam… aku mengalami mimpi yang membuatku sangat resah.” Nyi Jayem berhenti menenun, meletakkan alatnya, lalu menatap Puspa penuh perhatian. “Ceritakanlah, Nduk. Jangan disimpan sendiri, nanti malah memberatkan hatimu.” Puspa menarik napas dalam, lalu mulai bercerita. Ia menceritakan bagaimana ia berlari ketakutan, dikejar bayangan yang ternyata adalah Raden Raksa, bagaimana ia ditangkap, dan yang paling membingungkan bagaimana wajah Raksa berubah dari bengis menjadi lembut, hingga ia merasa tenang.

Nyi Jayem mendengarkan dengan saksama tanpa menyela sedikit pun. Matanya menyipit, tangannya bertaut di pangkuan. Setelah Puspa selesai, Laras menimpali, “Nyi, aku sampai merinding dengarnya. Menurut panjenengan, apa artinya mimpi seperti itu?”

Nyi Jayem terdiam lama, lalu menghela napas. “Mimpi bukan sekadar bunga tidur, Nduk. Kadang ia cermin dari hati, kadang pula ia pertanda dari alam.” Ia menatap Puspa tajam, namun tetap lembut. “Kalau yang kau alami, bisa jadi itu adalah gambaran batinmu sendiri. Rasa takutmu pada Raden Raksa begitu besar, tapi… jauh di dalam hati, ada sesuatu yang membuatmu juga tak bisa sepenuhnya menjauh darinya. Itulah mengapa wajahnya berubah dalam mimpimu.”

Puspa terperanjat, wajahnya memucat. “Tapi… itu artinya apa, Nyi? Apakah aku… sedang menyimpan sesuatu yang tidak kusadari?”

Nyi Jayem tersenyum samar. “Mungkin begitu. Atau bisa juga, mimpi itu pertanda bahwa hubunganmu dengan Raden Raksa akan semakin erat, entah sebagai lawan… atau sebagai sesuatu yang lain.” Laras langsung melotot mendengar tafsiran itu. “Astaga, Nyi! Jangan bilang Puspa dan Raksa akan—”

“Jangan buru-buru menarik kesimpulan,” potong Nyi Jayem tegas. “Ingat, masa depan tidak pernah bisa kita lihat jelas. Yang bisa kita lakukan hanyalah menjaga hati dan langkah.” Puspa menunduk dalam-dalam, hatinya semakin kacau. Kata-kata Nyi Jayem menambah beban pikiran yang sudah menyesakkan sejak semalam. Namun entah mengapa, ada bagian kecil dalam dirinya yang bergetar—seakan mimpi itu bukan sekadar kebetulan.

****

Setelah melakukan pengawasan selama berhari-hari di dermaga, rombongan Raden Arya dan Raden Raksa pun pulang ke istana, Mahapatih Nirmala Wisesa dan Putri Dyah Anindya didampingi oleh Aruna Maheswara pun sudah menunggu mereka di gerbang istana. Langkah-langkah kuda yang lelah akhirnya berhenti di pelataran utama. Raden Arya dan Raden Raksa turun dari tunggangan mereka, debu perjalanan masih melekat di pakaian. Wajah mereka tampak letih, namun sorot mata tetap waspada. Dari arah gerbang, Mahapatih Nirmala Wisesa sudah berdiri menyambut bersama Putri Dyah Anindya yang tampak anggun dalam balutan busana sederhana, serta Aruna Maheswara yang selalu setia mendampingi.

“Selamat datang kembali,” ucap Mahapatih Nirmala dengan suara berat namun penuh wibawa. “Kami menanti dengan cemas kabar dari dermaga.” Raden Arya menundukkan kepala, lalu memberi salam hormat. “Ampun, Mahapatih… selama berhari-hari kami berjaga di dermaga, keadaan tetap tidak berubah. Kapal-kapal dengan lambang Kawi Mandala terus bertambah jumlahnya, namun anehnya… tak satu pun melakukan pergerakan.”

Putri Dyah yang mendengarnya tak bisa menyembunyikan kegelisahan. “Apa artinya itu, Adimas? Apakah mereka menunggu sesuatu?” tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran. Raden Raksa, yang berdiri di samping Arya, menyilangkan tangan di dada. Sorot matanya tajam namun sikapnya terlihat santai, seolah tidak terlalu peduli. “Bisa jadi hanya gertakan kosong,” ujarnya dengan nada dingin. “Mereka ingin menakut-nakuti kita dengan menunjukkan jumlah kapal yang kian banyak. Padahal, belum tentu mereka berani melangkah lebih jauh.” Aruna menoleh cepat pada Raksa, alisnya berkerut. “Raden Raksa, jangan gegabah menilai. Lawan yang diam justru lebih berbahaya. Bisa saja mereka tengah menunggu waktu yang tepat untuk menyerang. Bila kita meremehkan, Samudra Jaya bisa celaka.” Raksa hanya menyeringai tipis, tidak menanggapi dengan serius. “Hmph, kau terlalu khawatir, Aruna. Kawi Mandala tahu, Samudra Jaya bukan negeri lemah yang bisa ditaklukkan dengan mudah.” Raden Arya yang sejak tadi menahan diri akhirnya angkat bicara, suaranya tegas namun penuh beban. “Aku sependapat dengan Aruna. Jumlah kapal mereka semakin hari semakin bertambah. Itu bukan kebetulan. Mereka jelas mengirimkan pesan… bahwa Samudra Jaya sedang diawasi. Dan aku yakin, mereka tahu Gusti Raja tengah bertapa. Mereka mungkin sengaja menunggu kesempatan itu.” Hening sejenak menyelimuti rombongan. Hanya suara burung malam dan desir angin yang terdengar. Putri Dyah menggenggam erat tangannya sendiri, hatinya tak tenang membayangkan kemungkinan buruk yang bisa menimpa kerajaan. Mahapatih Nirmala akhirnya menghela napas panjang, lalu melangkah maju. “Kedua pendapatmu ada benarnya. Kita tidak boleh meremehkan, tapi juga tidak bisa gegabah menyerang lebih dulu. Tugas kita saat ini adalah memperkuat pertahanan. Selama Gusti Raja belum selesai tapa brata, kita yang harus menjaga kestabilan negeri ini.”

Raden Arya menunduk, menerima arahan itu. Namun dalam hatinya masih tersisa resah. “Mahapatih, bila kapal-kapal itu bertambah lagi, apa kita akan tetap diam? Aku takut rakyat mulai gelisah melihat ancaman di depan mata.” Nirmala menatap Arya dengan sorot penuh pertimbangan. “Kita akan segera mengatur siasat. Besok, kumpulkan para panglima dan tumenggung. Aku ingin kita bahas strategi sebelum semuanya terlambat.”

“Baik, Mahapatih,” jawab Arya mantap. Putri Dyah yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Aku mohon, lindungilah rakyat dan kerajaan ini. Jangan sampai mereka menjadi korban jika peperangan benar-benar pecah.” Matanya berkaca-kaca, meski ia berusaha tegar di hadapan semua.

Aruna yang berdiri di sampingnya menunduk hormat. “Tenanglah, Gusti Putri. Selama kami masih bernafas, kami tidak akan membiarkan Samudra Jaya jatuh ke tangan musuh.” Kata-kata itu penuh keyakinan, meski dalam hatinya tersimpan kekhawatiran yang sama. Raksa hanya mengangkat bahu, namun matanya sesaat melirik ke arah Putri Dyah. Ada kilatan samar di sorot matanya, entah apa maknanya. Mahapatih Nirmala lalu menutup percakapan malam itu. “Kalian semua beristirahatlah. Besok kita akan hadapi hari yang panjang. Ingat, ketenangan kalian adalah penopang ketenangan rakyat.”

Rombongan pun bubar perlahan. Raden Arya berjalan dengan wajah serius, pikirannya terus dihantui bayangan kapal-kapal asing di lautan. Raden Raksa melangkah santai, seolah tidak ada beban, meski tatapan matanya menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. Putri Dyah kembali ke keputren dengan hati berdebar, sementara Aruna tetap setia mengiringi, menjaga jarak namun tak pernah lepas dari tugasnya melindungi sang putri.

Di balik malam yang tenang itu, kegelisahan justru makin pekat. Kapal-kapal Kawi Mandala mungkin masih diam, tapi diam itu sendiri adalah ancaman yang tak kalah menakutkan.

Di malam hari angin sepoi berhembus dari arah taman istana. Di salah satu paviliun pribadi milik Raden Raksa, beberapa abdi dalem tengah bergegas menata busana kebesaran yang akan dikenakan sang pangeran setelah ia selesai mandi. Namun mendadak, salah seorang abdi mendekati para dayang yang tengah menyiapkan kain dan perhiasan kecil.

“Puspa,” panggilnya tegas. Gadis itu terperanjat. Tangannya yang sedang melipat kain hampir terlepas. Ia menoleh, memastikan telinganya tidak salah dengar. “Aku…?” tanyanya ragu. Abdi dalem itu mengangguk mantap. “Ya. Gusti Raksa menghendaki kau yang menyiapkan pakaian ganti beliau.” Sekejap, wajah Puspa memucat. Teman-teman sesama dayang saling pandang, beberapa menutup mulut menahan keterkejutan. Salah satu di antaranya bahkan berbisik lirih, “Kenapa harus kau? Bukankah itu tugas abdi dalem khusus?” Puspa tak mampu menjawab. Dadanya berdegup lebih cepat daripada biasanya. Nama Raden Raksa adalah sesuatu yang selalu ia hindari, sebab di mata rakyat maupun dayang, pangeran itu terkenal congkak, berbahaya, dan penuh pesona yang menjerat siapa pun yang berani mendekat. Namun sebuah perintah dari istana bukanlah sesuatu yang bisa ditolak.

Dengan langkah berat, ia mengikuti abdi dalem menuju paviliun itu. Begitu pintu kayu berukir dibuka, suasana berbeda langsung menyergapnya. Aroma dupa samar berpadu dengan wangi minyak cendana. Ruangan itu tenang, hanya terdengar riak air dari kolam pemandian di belakang. Puspa berdiri canggung, sementara sosok Raden Raksa perlahan berjalan keluar dari ruang dalam, rambutnya masih lembap, tubuhnya dibalut kain tipis seadanya. Sorot matanya tajam, namun senyum congkaknya selalu tersungging.

“Ah… rupanya kau yang dipilih untuk menyiapkan pakaianku,” ucapnya datar, namun suaranya cukup untuk membuat Puspa gemetar.

Dengan langkah pelan, ia meletakkan pakaian kebesaran di meja rendah. “Ampun, Gusti… hamba hanya menjalankan perintah.” Raksa mendekat. Gerakannya tenang, tapi sorot matanya tak lepas menelusuri wajah Puspa. “Menjalankan perintah, atau mungkin… kau diam-diam menunggu kesempatan?” tanyanya, nadanya seperti mengejek namun juga menggoda.

Puspa menunduk, mencoba menjaga sikap. “Hamba tidak berani, Gusti.” Ia mencoba membantu mengenakan kain kebesaran itu, tangannya gemetar setiap kali harus mendekatkan kain ke tubuh sang pangeran. Hatinya berdoa semoga waktu berjalan cepat, agar ia bisa segera keluar dari ruangan ini.

Namun, saat jarak mereka begitu dekat, Raksa tiba-tiba meraih pergelangan tangannya. Gerakan itu begitu mengejutkan hingga Puspa tak mampu menahan teriakan lirih. Matanya membulat, melihat wajah Raksa yang semakin dekat.

“Gusti… lepaskan hamba… ini tidak pantas,” suaranya lirih, hampir tercekat.

Raksa justru menyunggingkan senyum. “Kenapa harus takut? Aku tidak akan melukaimu… kecuali kau yang menginginkannya, lihatlah aku,” bisik Raden Raksa. “Jangan menunduk terus. Tataplah mataku.” Puspa mencoba menahan diri, namun suara itu begitu memaksa dan sekaligus menenangkan. Dengan perlahan, ia mengangkat wajahnya. Matanya bertemu dengan mata sang pangeran—mata hitam yang tajam, namun kini seperti menyimpan sesuatu yang sulit dijelaskan.

Sekejap, kenangan itu menyeruak di benaknya. Malam-malam sebelumnya ia pernah bermimpi, seakan berlari dikejar oleh sosok tinggi yang tak lain adalah Raden Raksa sendiri. Dalam mimpi itu, ia terjebak, lalu menabrak tubuh pangeran, dan saat tatapan mata mereka bertemu, ada perubahan aneh dari ancaman menjadi keteduhan. Tafsiran mimpi yang pernah diucapkan Nyi Jayem, dayang senior beberapa hari yang lalu.

“Mungkin begitu. Atau bisa juga, mimpi itu pertanda bahwa hubunganmu dengan Raden Raksa akan semakin erat, entah sebagai lawan… atau sebagai sesuatu yang lain.” Puspa menggelengkan kepalanya, membuat Raden Raksa heran.

“Tidak....apa yang kau pikirkan Puspa, kau gila,” gumamnya dalam hati

“Apa yang kau pikirkan Puspa?” tanya Raden Raksa.

“Ampun Raden sebaiknya kita tidak begini, ini tidak baik bagi Raden dan....saya,” ucap Puspa pelan sambil menunduk, tapi kungkungan tangan Raden Raksa di pinggang Puspa.

“Lihat aku sekali lagi Puspa,”kata Raden Raksa lalu mengangkat pelan dagu gadis itu hingga tatapan mata mereka saling bertemu, mata tegas dan tajam itu mampu menghipnotisnya. Hening merambat di ruangan itu. Hanya suara riak air di kolam pemandian yang terdengar lirih, berpadu dengan aroma dupa yang masih mengepul pelan. Raden Raksa menahan dagu Puspa, memaksa mata gadis itu bertemu dengan sorotnya. Sekilas, Puspa ingin berpaling, ingin berlari keluar dari paviliun itu. Namun entah mengapa, kakinya seakan berat. Tatapan mata itu… tajam, namun justru memunculkan perasaan aneh yang menenangkan di relung hatinya. Bagai ombak yang menggulung sekaligus mengelus tepi pantai.

“Kenapa kau menunduk lagi?” suara Raksa terdengar rendah, penuh tekanan namun juga ada kelembutan yang sulit dijelaskan. Puspa tidak menjawab. Tenggorokannya tercekat. Ia hanya bisa menatap mata sang pangeran lebih lama, hingga dirinya sendiri seakan terseret ke dalam pusaran hitam yang dalam. Jantungnya berdebar tak beraturan, seakan hendak meledak.

“Apakah aku benar-benar menakutkan bagimu?” Raksa kembali bertanya, nadanya setengah mengejek. Kali ini Puspa memberanikan diri. “Hamba… tidak tahu, Gusti. Yang hamba rasakan hanyalah… tidak bisa berpaling.” Ucapan itu meluncur begitu saja, membuat wajahnya memanas. Ia segera menutup mulut, menyesali kejujuran yang tak seharusnya keluar. Namun Raden Raksa justru tersenyum samar.

“Akhirnya kau mengakuinya,” gumamnya pelan. Lalu terjadi sesuatu yang tak pernah Puspa bayangkan. Tanpa memberi kesempatan untuk berpikir, Raden Raksa menundukkan wajahnya, mendekatkan diri pada gadis itu. Puspa membeku, tubuhnya tegang, tapi matanya tetap terkunci pada mata sang pangeran. Hingga akhirnya, jarak di antara mereka hilang. Waktu seperti berhenti. Bibir mereka bersentuhan, dan sekejap seluruh ketakutan yang tadi mencekik berubah menjadi gelombang perasaan yang tak bisa ia pahami. Hangat, intens, namun juga menenangkan. Puspa sempat ingin menolak, ingin mendorong tubuh sang pangeran. Tapi perlahan, kekuatan itu lenyap. Matanya terpejam, dan ia terseret arus yang begitu kuat, arus yang tak lagi bisa ia lawan. Tanpa sadar, ia pun membalas.

Dalam diam, ciuman itu berlangsung lama. Raden Raksa memegang tubuhnya dengan kokoh, sementara Puspa menggenggam kain di tangannya erat-erat, seakan itu satu-satunya pegangan agar ia tidak terjatuh dalam pusaran perasaan yang asing namun begitu nyata. Di benaknya, suara Nyi Jayem kembali terngiang—tentang mimpi, tentang pertanda. Ia ingin menepisnya, tapi justru terasa semakin jelas. Seolah malam ini adalah jawaban dari mimpi itu sendiri. Ketika akhirnya Raksa perlahan melepaskan dirinya, Puspa terengah, wajahnya memerah, matanya masih terpejam seakan takut membuka diri pada kenyataan.

“Kenapa kau diam?” tanya Raksa lembut, berbeda dari nada congkaknya tadi. “Apakah kau menyesalinya?”

Puspa membuka matanya perlahan. Ia menatap wajah pangeran itu, berusaha menemukan keberanian. “Hamba… tidak tahu, Gusti. Hamba bingung. Hati hamba seperti… bukan milik hamba lagi.” Raden Raksa mengangkat alisnya, lalu tertawa tipis. “Bagus. Artinya kau sudah mengerti bahwa ada sesuatu di antara kita. Sesuatu yang bahkan kau tak bisa menolak.” Puspa menggigit bibirnya, menunduk lagi. Ia tahu, malam itu telah mengubah segalanya. Antara ketakutan dan rasa yang tumbuh diam-diam, ia kini terperangkap dalam bayang-bayang Raden Raksa yang semakin sulit ia hindari.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!