Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Rumah besar keluarga Mahesa hari itu mendadak seperti kapal yang sedang siap berlayar. Semua orang sibuk. Para pembantu berlarian membawa bunga segar, meja makan besar dipenuhi hidangan istimewa, bahkan Mama Tina sendiri turun tangan mengatur posisi piring dan sendok.
“Cepat-cepat! Jangan ada yang kurang rapi. Anak gadis itu sebentar lagi datang!” suara Mama Tina nyaring sampai ke halaman.
Para pelayan melirik bingung. “Anak gadis siapa, Bu?” bisik seorang di antaranya.
“Calon menantu, dong!” jawab Mama Tina tanpa malu-malu, senyum lebar menghiasi wajahnya.
Ya, kabar “pacar misterius” Tristan yang membuat gempar rumah sakit sudah sampai ke telinga Mama Tina hanya dalam hitungan jam. Bukannya panik atau marah, Mama Tina justru merasa seperti mendapat jackpot. Putra sulungnya yang terkenal dingin dan anti dekat dengan perempuan itu, ternyata diam-diam sudah punya hubungan dengan seorang gadis.
“Ya Tuhan, akhirnya doa Mama terkabul. Aku harus kenalan dengan dia hari ini juga!” gumamnya penuh semangat, sambil menambahkan kue lapis legit kesukaan Tristan ke meja.
Tak ada yang tahu, Tristan sendiri masih sibuk di rumah sakit, tanpa sedikit pun curiga bahwa rumah orang tuanya sudah siap menyambut badai bernama Tiwi Putri Wiranto.
---+
Di sisi lain, Tiwi sama sekali tidak menyangka hari itu dirinya akan diseret ke rumah besar keluarga Mahesa.
Tadi siang, ia masih asyik menyapu ruang tamu rumah Tristan sambil bersenandung lagu dangdut. Tapi tiba-tiba Tante Anggun adik Mamanya sekaligus orang yang menyalurkan Tiwi sebagai ART datang dengan wajah panik.
“Tiwi, cepat ikut Tante! Mama-nya Dokter Tristan mau ketemu kamu sekarang juga!”
“Hah? Sekarang?!” Tiwi melongo. “Loh kenapa, Tan? Aku kan lagi pakai daster Doraemon, masa mau ketemu mertua eh maksudnya Tante Tina dengan outfit kayak gini?”
“Udahlah jangan banyak protes! Ganti baju cepet! sebenarnya kamu lakuin apa sih wi, kalau papa dan mamamu tau bisa pingsan mereka!”
Begitulah akhirnya Tiwi menyeret langkahnya ke mobil Tante Anggun, sambil masih menggerutu. Dalam hati, ia merasa heran kenapa tiba-tiba dipanggil.
Tapi begitu mobil memasuki halaman rumah megah keluarga Mahesa, mulut Tiwi otomatis terbuka.
Tante Anggun hanya menepuk dahinya. “Tolong, Tiwi, kali ini jangan bikin malu Tante, ya…”
Begitu masuk ke ruang tamu, Tiwi langsung disambut Mama Tina dengan pelukan hangat.
“Tiwi akhirnya kamu datang juga"
"Eh.. Ada apa Tante, kok katanya Tiwi jadi tamu terhormat sih" ujar Tiwi
“Panggil aku Mama saja!” potong Mama Tina cepat. “Kamu sudah seperti anak Mama sendiri.”
Tiwi melongo. “Loh… cepet amat upgrade statusnya. Baru kemarin panggil Tante loh…”
Namun wajah Mama Tina penuh cinta, matanya berbinar seperti menemukan harta karun. Mereka pun duduk bersama, ngobrol panjang. Tiwi dengan gaya lucunya bercerita tentang hobi masak, suka nulis sticky note buat Tristan, sampai kebiasaannya tidur pakai guling tiga. Mama Tina justru makin terpesona.
“Aduh, kamu ini benar-benar berwarna, Nak. Tristan yang kaku itu memang butuh orang seperti kamu di sisinya.”
Tiwi nyengir. “Waduh, jadi kayak iklan deterjen, hidup jadi lebih berwarna.”
Mereka tertawa bersama. Suasana cair, penuh kehebohan khas Tiwi.
Setelah hampir satu jam ngobrol, Mama Tina akhirnya berkata, “Tiwi, tolong panggilkan Papa Tristan di ruang kerjanya, ya. Bilang makan sudah siap.”
“Oke, Mama! Serbuuu!” sahut Tiwi dengan gaya komando.
Ia pun melangkah ke ruang kerja yang besar dan elegan. Saat membuka pintu, terlihat Papa Tristan duduk serius di balik meja kayu besar, meneliti setumpuk berkas.
“Ehem… om Ardian ! Tante Tina nyuruh makan dulu. Katanya jangan lembur terus.”
Papa Tristan menoleh, sedikit terkejut melihat gadis mungil itu masuk. “Oh, kamu Tiwi, ya? Duduk dulu sebentar. Papa masih cek berkas ini.”
Tiwi mengangguk, lalu matanya tanpa sengaja jatuh pada sebuah sketsa besar di meja. Ia menghampiri, mencondongkan tubuh.
“Ehm… maaf, ini gambar gedung rumah sakit baru ya?”
Papa Tristan mengerutkan kening. “Ya, benar. Kenapa?”
Tiwi menatap sketsa itu lekat-lekat, lalu mendecak. “Ini salah, om. Kalau desain kayak gini dipakai, nanti jalur evakuasi darurat bisa ketutup sama pilar di bagian timur. Apalagi tangga daruratnya cuma satu, itu bahaya banget kalau ada kebakaran.”
Papa Tristan menatapnya kaget. “Kamu… dari mana bisa tahu?”
Tiwi, tanpa kehilangan gaya santainya, duduk di kursi tamu dan menunjuk detail pada gambar. “Liat deh, kalau arsitek bikin pintu daruratnya di sini ” ia mencoret ringan di kertas kosong di sampingnya,
tangannya cekatan “maka alur keluar masuk lebih lancar. Trus kalau area IGD digeser ke posisi ini, akses ambulans bisa langsung masuk tanpa ganggu lalu lintas utama. Simple, kan?”
Ia menjelaskan dengan bahasa lugas, penuh semangat, tanpa bercanda. Untuk sesaat, Tiwi berubah, bukan lagi gadis bawel dan lucu, melainkan sosok cerdas dengan logika tajam.
Papa Tristan terdiam lama. Matanya menatap Tiwi dengan rasa kagum yang tak bisa disembunyikan.
“Kamu… luar biasa, Nak,” ucapnya akhirnya. “Padahal Papa sudah berdiskusi dengan banyak konsultan arsitektur, tapi tidak ada yang menyinggung hal ini. Kamu benar-benar jeli.”
Tiwi tersipu, tapi tetap nyengir. “Hehe, soalnya Papa jangan salah, aku ini dulu seorang arsitek dan bekerja di perusahaan Urban Edge Architects, tapi sayang aku harus resign karena bosnya kurang ajar cabul jadi Tiwi tendang dan banting lalu Tiwi resign dan jadi asisten di rumah dokter vampir hehehe
Mendengar itu papa Ardian sangat terkejut karena perusahaan itu adalah milik adiknya, dan terkejut jika Tiwi seorang arsitek muda.
"Siapa bos kamu yang bodoh itu?" tanya papa Ardian dengan menahan marah
" Itu pak Surya yang kerjanya main hp dan putar putar kursi dengan banyak perintah tapi tidak bisa kerja" jawab Tiwi polos
Papa Tristan tertawa lepas, sebuah hal yang jarang terjadi. “Anak ini… benar-benar berbeda.”
Suasana ruang kerja yang tadinya kaku jadi hangat. Tiwi berhasil meninggalkan kesan mendalam, bukan karena kelucuannya, tapi karena kecerdasannya yang otentik.
Saat mereka keluar bersama menuju ruang makan, Papa Tristan dalam hati berbisik, Mungkin Mama benar… gadis ini memang cocok untuk Tristan.
Dan ia akan melaporkan semua ini pada adiknya untuk memecat Surya
Bersambung…
weezzzzz lah....di jamin tambah termehek-mehek kamu....🤭
Siapa sih orang nya yang akan diam saja, jika dapat perlakuan tidak baik dari orang lain? Tentunya orang itu juga akan melakukan pembalasan balik.
Lope lope sekebon Author......🔥🔥🔥🔥🔥
Tak kan mudah kalian menumbangkan
si bar bar ART.....💪🔥🔥🔥🔥🔥