Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Brak!
"Apa itu, Bi?" tanya Wulan sedikit terkejut.
Bi Sumi menggelengkan kepala tak tahu, keduanya menunggu sampai sosok tersebut berdiri di ambang pintu kamar Wulan.
"Mungkin Nyai Ningsih dan Lastri," tebak Bi Sumi.
Kenapa orang-orang di sini senang sekali membanting pintu?
Wulan menghela napas panjang, bersiap untuk berteriak membuat lebih banyak keributan.
"Maling! Ada maling di siang bolong!" teriak Wulan menggemparkan paviliun itu seketika.
Dua orang wanita yang baru saja melangkahi ambang pintu, saling menatap dengan bingung. Tiba-tiba, sesosok berpakaian hitam berdiri di hadapan Wulan. Hal tersebut membuat jantung gadis itu nyaris terhenti.
"Panji!" panggil Bi Sumi yang mengenali penjaga bayangan sang juragan.
"Maafkan saya, Nyai. Di mana malingnya?" Panji berbalik menghadap Wulan, berlutut penuh hormat.
"Si-siapa kamu? Dari mana datangnya?" tanya Wulan gugup, ia masih syok dengan kemunculan Panji yang tiba-tiba.
"Saya pengawal bayangan juragan. Di mana malingnya, Nyai?" Panji berkata tanpa mengangkat wajah.
Wulan terkesiap, segera menatap pintu di mana kedua wanita itu masih berada. Para abdi sudah berkumpul karena keributan yang dibuat Wulan.
"Di sana!" Wulan menunjuk keduanya dengan berani.
Panji melirik, mengernyit dahinya saat mengenali kedua wanita itu. Bi Sumi menahan tawa, apalagi saat melihat ekspresi Ningsih dan Lastri yang dituding sebagai pencuri oleh Wulan.
Panji berdiri dan berbalik, menatap keduanya dengan tajam. Sementara Ningsih dan Lastri, kebingungan sendiri.
"Kalian ...." Suara besar Panji membuat tubuh mereka semakin bergetar.
"Tidak! Kami bukan ... kami hanya ingin mengunjungi adik madu kami. Sungguh! Kami tidak berniat maling," ucap Ningsih gugup, peluh sebesar-besar biji beras bermunculan di pelipisnya.
Lastri menganggukkan kepala, membenarkan ucapan Ningsih. Wajahnya terlihat kesal, melirik Wulan penuh kebencian.
"Kalau bukan maling kenapa kalian membanting pintu kamar saya? Bukankah itu sama saja kalian memaksa untuk masuk? Masuk tanpa izin sama saja dengan maling," cerocos Wulan berspekulasi sendiri.
Bi Sumi menutup wajahnya yang memerah karena menahan tawa. Riak wajah Wulan sangat meyakinkan, mendukung aktingnya sebagai pemilik rumah yang kemasukan maling.
Mendengar ucapan Wulan kedua istri juragan itu saling menatap satu sama lain. Bingung mencari jawaban untuk mematahkan pernyataan Wulan yang benar.
Satu orang terlihat polos dan mudah dihasut. Sebenarnya baik, tapi dia mendengarkan orang yang salah. Satu orang lagi tak jauh beda dengan Ratih. Licik dan penuh dengan tipu muslihat.
Wulan bergumam sembari menelisik wajah Ningsih dan Lastri bergantian. Keduanya memiliki aura kejahatan dan kebencian. Terutama Lastri aura hitam yang pekat menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Kami hanya ingin mengunjungimu, Wulan. Kenapa kamu berteriak maling dan membuat keributan? Sampai-sampai mengundang pengawal bayangan juragan. Apa kamu ingin mencari perhatian?" hardik Lastri dengan tatapan tajam menghujam.
Wulan beranjak dari ranjang, melangkah melewati Panji yang masih berdiri di tempatnya. Sebuah pisau kecil terselip di ikat pinggang laki-laki itu, dia tidak banyak bicara dan lebih banyak bertindak.
"Kalau kalian tidak berniat maling kenapa harus membanting pintu dan masuk tanpa izin? Kalau kedatangan kalian dengan niat baik, bukankah kalian bisa mengetuk pintu terlebih dahulu? Apa kalian tidak pernah belajar sopan santun? Aku yang hidup di gunung saja tahu tentang tatakrama sederhana ini," ujar Wulan membuat keduanya bungkam.
Bi Sumi menampakkan diri. Sosok Panji saja yang muncul tiba-tiba sudah membuat mereka gemetar, apalagi saat melihat Bi Sumi muncul dan berdiri di belakang Wulan. Ini pemandangan langkah yang belum pernah mereka lihat. Dua orang kepercayaan juragan berada di sekitar Wulan.
"Maafkan saya, Nyai Ningsih, Nyai Lastri. Apa yang dikatakan Nyi Wulan memang benar adanya. Kalau Nyai berdua ini datang dengan niat baik, seharusnya mengetuk pintu dan meminta izin yang punya kamar ini. Tidak seharusnya membuat keributan dengan membanting pintu," tambah Bi Sumi semakin membuat mereka kikuk.
Para abdi di luar kamar sudah mulai riuh. Desas-desus tentang keduanya yang tidak bersikap sopan pun mulai mengusik telinga. Juragan Nata adalah orang yang tidak menyukai keributan.
Kedua perempuan itu saling menatap satu sama lain, tak ada kata untuk membela diri. Satu-satunya jalan adalah mengakui kesalahan untuk meredam bibir-bibir yang mulai menyebarkan isu.
"Apa yang terjadi di sini?"
Deg!
Semua orang terperanjat mendengar suara itu.
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa