Di tengah reruntuhan kota Jakarta yang hancur, seorang pria tua berlari terengah. Rambutnya memutih, janggut tak terurus, tapi wajahnya jelas—masih menyisakan garis masa muda yang tegas. Dia adalah Jagat. Bukan Jagat yang berusia 17 tahun, melainkan dirinya di masa depan.
Ledakan menggelegar di belakangnya, api menjilat langit malam. Suara teriakan manusia bercampur dengan derap mesin raksasa milik bangsa alien. Mereka, penguasa dari bintang jauh, telah menguasai bumi dua puluh tahun terakhir. Jagat tua bukan lagi pahlawan, melainkan budak. Dipaksa jadi otak di balik mesin perang alien, dipaksa menyerahkan kejeniusannya.
Tapi malam itu, dia melawan.
Di tangannya, sebuah flashdisk kristal berpendar. Tidak terlihat istimewa, tapi di dalamnya terkandung segalanya—pengetahuan, teknologi, dan sebuah AI bernama Nova.
Jagat tua menatap kamera hologram di depannya. Wajahnya penuh debu dan darah, tapi matanya berkilat. “Jagat… kalau kau mendengar ini, berarti aku berhasil. Aku adalah dirimu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon morro games, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang ke rumah
Langkah kaki Jagat bergema lembut di lorong logam berkilau milik Arka One. Lampu-lampu biru tipis berpendar mengikuti setiap langkahnya, seolah kapal stealth raksasa itu mengenal siapa pemilik sahnya. Nova yang melayang sebagai hologram kecil di sisinya tersenyum tenang.
“Sudah saatnya kau pulang, Jagat. Keluargamu menunggu.”
Jagat menghela napas panjang. Berat. Setelah malam penuh pertarungan di pelabuhan, tubuhnya masih terasa digetarkan oleh adrenalin. Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang menenangkannya—wajah ibunya dan adiknya, Nadia.
“Arka, aktifkan mode autopilot kembali ke titik hibernasi,” perintah Jagat.
Suara dingin khas sistem kapal menjawab:
“Perintah diterima. Arka One memasuki jalur stealth. Estimasi waktu sampai titik aman: 12 menit.”
---
Di ruang docking, Celine berdiri tegak menunggunya. Rambut peraknya yang berkilau memantulkan cahaya lampu, matanya biru lembut namun penuh aura waspada.
“Tuan muda,” sapa Celine sambil menundukkan kepala sedikit. “Aku sudah menyiapkan data laporan lengkap. Namun kupikir… keluarga lebih dulu.”
Jagat menatap android itu. Ada sekilas rasa iba—karena Celine bukan sekadar mesin. Ayahnya dulu mencurahkan jiwa pada proyek ini. Sekarang, Celine berdiri bukan hanya sebagai guardian, tapi juga pengingat akan kasih sayang ayahnya yang hilang.
“Kau benar. Aku akan pulang dulu.”
Nova tertawa kecil di telinga Jagat.
“Lihat? Bahkan android pun lebih bijak dari pemiliknya.”
“Jangan mulai, Nova,” balas Jagat sambil tersenyum tipis. “Kalau aku bisa, aku akan mute kau sekarang.”
---
Pesawat stealth itu mendarat diam-diam di pinggiran kota, di area gudang kosong milik keluarga Jagat yang sudah lama tak terurus. Dari sana, Jagat melanjutkan dengan motor tua miliknya. Kota malam itu masih sama—lampu jalan remang, kios-kios kecil tutup, dan udara dingin menusuk. Tapi bagi Jagat, semuanya terasa berbeda. Kini ia menyembunyikan rahasia besar: AI masa depan dan warisan ayahnya.
Setelah memasuki gang kampung menuju rumah kontrakan Jagat mengurangi kecepatan motornya dengan pelan. Udara malam membawa aroma tanah basah, bercampur bau gorengan dari warung ujung gang. Tubuhnya masih terasa berat setelah duel sengit dengan musuh Robo 1.0 custom di pelabuhan tua. Namun kali ini bukan rasa sakit yang menekan dadanya, melainkan sebuah perasaan aneh: lega sekaligus waspada.
Di dalam tas ransel di punggung, ada koper hitam yang baru saja ia bawa keluar dari brankas rahasia peninggalan ayahnya. Isinya: tumpukan uang tunai, dokumen-dokumen penting, dan surat-surat legal yang masih utuh. Benda yang cukup untuk menyelamatkan keluarganya dari jurang hutang—setidaknya untuk sementara.
Sesampai di rumah, jagat memarkirkan motornya di teras rumah.
Saat pintu kayu rumah sederhana itu ia buka, suara riuh kecil menyambutnya.
“Kak! Kamu pulang juga!” Nadia langsung berlari, wajahnya bercampur lega dan kesal. Gadis SMA itu memeluk kakaknya erat, seolah takut ia tak kembali. “Kemana aja, beberapa hari? Handphone mati, ditelpon nggak bisa. Aku sama ibu panik!”
Jagat mengusap kepala adiknya. “Maaf, Dek. Kakak sibuk… ada urusan penting.”
Ratna, ibu mereka, muncul dari balik dapur dengan wajah pucat. Matanya sembab, jelas habis menangis. Namun tatapan matanya langsung tertuju pada koper hitam di tangan Jagat.
“Itu… apa?” tanyanya lirih.
Jagat menarik napas panjang. “Warisan… dari Ayah.”
Nadia langsung menatap curiga. “Warisan apaan? Jangan-jangan Kakak menang judi online ya? Tiba-tiba bawa koper hitam, isinya apa?. Jangan aneh aneh deh, nadia jadi takut…”
“Dek, serius banget sih…” Jagat mendesah, setengah menahan tawa, setengah kesal.
“Ya kan aku curiga! Selama ini kita tahu ayah meninggalkan banyak hutang, dan tidak meninggalkan apapun, sekarang pulang bawa koper. Bilang warisan ayah?” Nadia memicingkan mata, gaya interogasi ala detektif amatir.
Ratna menahan senyum di balik kekhawatirannya, tapi segera menatap Jagat dengan penuh keseriusan. “Jawab jujur, Jagat. Dari mana koper ini? Apa isinya? Jangan bikin Ibu tambah khawatir.”
Suasana mendadak hening. Jagat menaruh koper di meja ruang tamu, lalu membuka pelan. Tumpukan uang rapi tersusun, ditambah beberapa map berisi dokumen dan secarik surat tua.
“Ini… simpanan Ayah. Aku menemukannya di brankas rahasia di rumah tua. Ternyata Ayah sudah menyiapkannya jauh-jauh hari.”
Ratna tertegun. Tangannya bergetar saat menyentuh salah satu map. Air mata yang ditahannya kembali pecah, menetes deras. “Ayahmu… bahkan setelah tiada, masih memikirkan kita…” suaranya parau.
Jagat menatap ibunya lekat-lekat, lalu menggenggam tangannya. “Bu, mulai sekarang kita nggak perlu takut debt collector lagi. Utang-utang itu bisa kita lunasi. Ibu nggak usah kerja sampai sakit lagi. Biarkan aku yang urus.”
Ratna menangis dalam diam. Tangannya menutupi wajahnya, tubuhnya bergetar karena emosi yang bercampur lega.
Nadia, yang biasanya cerewet, ikut terdiam sejenak. Namun beberapa detik kemudian ia berusaha memecah suasana dengan candaan. “Tapi Kak… serius nih, bukan hasil ngerampok kan? Jangan sampe besok polisi nongol bawa borgol…”
Jagat menoleh cepat, memukul pelan kepala adiknya. “Dasar! Dari tadi nuduh mulu. Kamu kira aku kriminal apa? Ini semua beneran dari Ayah.”
Nadia nyengir, lalu duduk di samping koper, menatap uang dengan mata berbinar. “Kalau gitu… boleh nggak aku minta sedikit buat beli skincare? Atau laptop baru? Hehe…”
“Skincare apaan! Laptop apaan! Ini buat bayar hutang dulu!” Jagat membentak, tapi senyum tipis tak bisa ia sembunyikan.
Ratna, meski masih menangis, ikut tertawa kecil mendengar kelakuan anak-anaknya. Tawa di tengah kesedihan, seolah menjadi pengingat bahwa keluarga kecil ini masih bisa bertahan bersama.
Malam itu, ruang tamu sederhana mereka dipenuhi cahaya lampu kuning yang temaram, tapi juga hangatnya kasih sayang. Koper hitam peninggalan sang ayah seakan menjadi simbol harapan baru, sekaligus beban tanggung jawab yang kini berada di pundak Jagat.
Namun di sudut rumah, Nova yang hanya bisa dilihat oleh Jagat menampilkan proyeksi hologram kecil. Suaranya datar, tapi tajam.
“Jagat… kau tahu bukan, ini baru permulaan? Uang bisa menyelamatkan keluargamu sementara. Tapi musuh yang membunuh ayahmu, mereka tidak akan tinggal diam.”
Jagat menatap lurus ke depan, matanya penuh tekad. “Aku tahu, Nova. Justru karena itu aku harus lebih kuat. Aku tak akan biarkan Ibu menangis lagi.”
Malam itu meja makan keluarga kecil itu terasa berbeda. Bukan karena lauknya yang mewah, justru sebaliknya—hanya tumis kangkung, tahu goreng, dan sambal buatan Ibu Ratna. Tetapi suasananya… hangat. Sesuatu yang lama tak mereka rasakan.
Ratna menatap kedua anaknya yang kini duduk berhadapan. Di tengah meja, koper hitam masih terbuka sedikit, sudut tumpukan uang menyembul keluar. Sambil menghela napas, ia berucap lirih.
“Andai Ayahmu bisa melihat kalian sekarang…”
Jagat menunduk, menahan emosi. “Aku janji, Bu. Semua yang Ayah tinggalkan nggak akan sia-sia. Aku akan jaga Ibu dan Nadia, sekuat yang aku bisa.”
Nadia menyuap nasi dengan gaya seenaknya, lalu mendongak dengan wajah polos. “Iya, Kak. Tapi jangan terlalu serius kayak di sinetron gitu, dong. Biarpun kita lagi makan sederhana, nadia sudah merasa bahagia.”
Jagat mendengus. “nantinya yang bahagia tu kamu. Malah kamu nanti yang ngabisi minta macem macem…”
“Ya… bukan begitu kak,” Nadia menyengir nakal, “aku masih takut loh. Jangan-jangan Kakak beneran kerja sampingan jadi bandar judi online.” sambil lebih nyengir kuda.
“Dek!” Jagat hampir meletakkan sendok dengan keras, tapi wajahnya malah jadi merah menahan tawa.
Ratna tak bisa menahan diri. Ia menutup mulutnya dengan tangan, tertawa kecil di sela air mata yang belum kering. “Dasar anak ini… selalu aja ngerjain kakanya .”
Nadia mengangkat bahu, pura-pura tak bersalah. “Ya ga papa sih. Tiba-tiba kaya, besok bawa koper lagi. Jadi nadia bisa beli laptop, motor baru, baju baru, hehehe"
Jagat menggeleng cepat, pura-pura kesal. “Kamu, belum belum udah kelihatan maunya, mending ga usah dikasih aja nanti ya.”
“Wah, Kakak tega banget!” Nadia pura-pura cemberut, membuat Ibu Ratna kembali tertawa.
Tawa itu—meskipun singkat—mampu memecah kebekuan yang menekan keluarga kecil ini sejak lama.
Setelah makan malam usai, Ratna mengumpulkan piring. Jagat membantunya ke dapur, sementara Nadia sudah lebih dulu kabur ke kamar dengan alasan belajar—meski sebenarnya sibuk menonton drama lewat ponselnya.
Di dapur, Ratna membuka suara lagi. “Jagat… Ayahmu dulu sering bilang, ilmu itu titipan. Jangan hanya dipakai buat diri sendiri. Tapi gunakan buat melindungi orang lain.”
Jagat terdiam, kata-kata itu menusuk jauh ke dalam hatinya. Ia menoleh ke arah ibunya. “Aku tahu, Bu. Itu sebabnya aku nggak akan berhenti. Kalau dulu Ayah memperjuangkan dengan caranya, sekarang giliranku.”
Ratna menatapnya lama, lalu tersenyum dengan mata berkaca. “Kamu mirip sekali sama Ayahmu kalau sudah bicara begitu.”
Malam semakin larut. Setelah memastikan ibunya beristirahat, Jagat duduk sendirian di teras. Bulan menggantung tinggi, cahayanya jatuh redup ke halaman.
Di depannya, cahaya biru samar muncul. Nova memproyeksikan layar hologram kecil yang hanya bisa dilihat Jagat.
“Evaluasi pertempuran terakhir selesai. Hasil: Armor 1.1 efektif, namun masih memiliki kelemahan signifikan pada manuver dan daya tahan energi.” Suara Nova datar, penuh perhitungan.
Tak lama, suara lembut lain muncul—Celine, yang kini aktif dari jarak jauh. “Namun tanpa armor sekalipun, tuan sudah menunjukkan adaptasi fisik yang luar biasa. Itu karena integrasi nanobot mulai stabil.”
Jagat bersandar, menatap langit. “Jadi intinya, aku masih kurang, ya?”
“Bukan kurang,” jawab Nova cepat. “Lebih tepatnya… kau butuh sistem yang fleksibel. Kombinasi modul. Sesuatu yang bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.”
Celine menambahkan dengan nada lebih manusiawi. “Ayahmu dulu menyebutnya Switch Module Project. Beliau ingin armor bisa berubah bentuk sesuai kebutuhan medan. Tapi proyek itu berhenti… karena beliau dibunuh sebelum sempat menyempurnakannya.”
Jagat mengepalkan tangan. “Kalau begitu… kita yang akan menyelesaikannya.”
Layar hologram Nova menampilkan cetak biru baru—skema sederhana, tapi menjanjikan. Tulisan digitalnya berkilau: Switch System Prototype.
Jagat menatapnya lama, dadanya berdegup cepat. Seakan masa depan yang suram tadi perlahan terbuka sedikit demi sedikit.
Namun sebelum ia sempat berkata lagi, Nova menambahkan dengan nada dingin. “Peringatan. Musuh sudah mendeteksi keberadaanmu. Beberapa pihak asing kini menaruh perhatian lebih besar. Bukan hanya organisasi kriminal, tapi juga agen negara.”
Jagat menutup mata, menghirup napas dalam. “Kalau begitu, biar mereka datang. Aku nggak akan mundur.”
Celine, yang hologramnya menampilkan wajah android perempuan, tersenyum samar. “Dan aku akan berada di sisimu, seperti aku dulu bersama Ayahmu.”
Jagat membuka mata lagi, menatap langit. Entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa tidak sendirian.
Keesokan paginya, Jagat berangkat kuliah dengan wajah yang lebih segar dari biasanya. Rambutnya masih acak-acakan, ransel tua tetap tersampir di punggung, tapi ada sesuatu yang berbeda—tatapan matanya. Tidak lagi redup, melainkan berkilat penuh semangat.
Di gerbang kampus, ia disambut oleh sorakan kecil.
“Eh, lihat deh. Gat biasanya loyo kalo ke kampus sekarang senyum-senyum sendiri,” celetuk Bima, sahabat kocaknya.
Jagat mendengus. “Daripada kamu, tiap pagi cari gratisan buat beli sarapan.”
“Wah, itu sih tradisi, Bro hehehe. Kalau aku tiba-tiba punya duit traktir sana sini, malah kamu yang curiga kan?” Bima menepuk bahu Jagat sambil ngakak.
Namun suasana hangat itu seketika terganggu ketika dua mahasiswa lain melintas—Randy dan geng kecilnya, anak-anak tajir yang suka pamer. Randy menghentikan langkahnya, menatap Jagat dari ujung kaki hingga kepala.
“Wih, si miskin sekarang jalan lebih tegak, ya. Ada apa? Abis gajian doble?” ucapnya dengan nada penuh ejekan.
Bima spontan ingin membalas, tapi Jagat menahan. Senyumnya tipis, matanya tenang. “Kenapa kalo habis gajian, masalah buat kamu, Ran. kan bukan kamu yang kasi gaji, bukan juga uang dari kamu.”
Seketika wajah Randy memerah, gengnya terkekeh, tapi mereka memilih pergi sambil menyisakan tatapan sinis.
Hari itu perkuliahan berjalan biasa, tapi kepala Jagat tak bisa benar-benar fokus. Nova terus menyuarakan analisis di telinganya.
“Peringatan. Aktivitas pengawasan meningkat. Dua agen asing terdeteksi di sekitar kampus. Kamera mini di kacamata mereka mengarah padamu.”
Jagat menghela napas, berpura-pura menulis catatan kuliah. “Berarti mereka mulai serius, ya?”
“Benar,” jawab Nova datar. “Bahkan lebih serius dari yang diduga. Mereka tidak hanya mengintai, tapi juga menganalisis pola harianmu.”
Celine menimpali dari sistem komunikasi tersembunyi. Suaranya lembut tapi jelas. “Jika situasi makin parah, aku bisa mengirimkan unit iron 1 dari Arka One untuk menjemputmu. Atau mengaktifkan mode defensif pada nanobot. Tapi itu akan menimbulkan perhatian.”
Jagat mengetuk meja dengan jarinya pelan, mencoba tampak biasa di tengah kelas. “Bukan sekarang. Kita tunggu langkah mereka. Aku nggak mau ibu dan Nadia terlibat.”
---
Sore hari, setelah kuliah usai, Jagat dan Bima berjalan keluar kampus. Langkah mereka tiba-tiba terhenti ketika sebuah mobil hitam berhenti di seberang jalan. Dua pria berjas keluar, kacamata gelap, wajah dingin.
Bima bergumam, “Gila, mobilnya keren ya gat.”
Jagat menelan ludah. Nova sudah mengonfirmasi dalam sekejap: “Identifikasi: agen bayaran. Bukan polisi, bukan tentara. Mereka bekerja untuk pihak asing.”
Jagat menarik Bima ke arah lain, berpura-pura bercanda sambil menepuk bahunya. “Ayo, ku traktir gue bakso. Jangan bengong.”
Namun dalam hati, Jagat sadar—pertarungan yang lebih besar baru saja dimulai.
---
Malamnya, kembali di rumah, Nova memproyeksikan laporan di hadapan Jagat. Layar biru melayang di kamar kecilnya.
Celine menambahkan, hologramnya berdiri di samping layar. “Tuan muda, tuan harus segera memikirkan strategi jangka panjang. Armor 1.1 tidak cukup. Switch Module adalah masa depan, tapi butuh pengembangan. Arka One siap jadi basisnya.”
Jagat mengepalkan tangan. “Kalau begitu, mulai malam ini kita evaluasi semua pertempuran. Aku nggak mau hanya bereaksi. Kita yang harus ambil langkah pertama.”
Nova menutup log dengan kalimat tegas, seolah menekan situasi:
[NOVA LOG – Entry #011]
Pihak baru terdeteksi: agen asing dengan peralatan observasi tingkat lanjut.
Ancaman: meningkat. Eskalasi ke konflik antar-negara kemungkinan besar.
“Prioritas: lindungi keluarga. Pertempuran berikutnya bukan lagi tentang bertahan hidup, tapi membentuk simbol. Mulai sekarang, kau bukan sekadar Jagat… kau adalah fondasi Ironman Indonesia.”
📊 Status
Nama: Jagat
Level: 5 → 6
HP: 850/1000
Energi Nanobot: 78%
Skill Aktif:
[Nanobot bost] – fisik meningkat 2x lipat (durasi pendek).
[Combat Instinct] – refleks otomatis 10 detik.
[Switch Module: Prototype] – aktif (kombinasi terbatas).
Skill Pasif:
Sinkronisasi Nova 65%
Integrasi Celine 40%
Inventori:
Armor 1.1 (aktif, terbatas)
Akses awal Switch Module
Data upgrade 1.2 (belum lengkap)