WARNING❗
Cerita ini, buat yang mau-mau saja, TAK WAJIB BACA JUGA
Mengandung banyak Flashback
Banyak nama tokoh dari novel-novel pendahulu mereka
Slow update
Alur lambat
So, yang gak suka silahkan cabut, dan berhenti sampai di sini ❗
⚠️⚠️⚠️
Kenzo akhirnya menerima permintaan sang bunda untuk menikahi putri sahabatnya semasa SMA.
Tapi ternyata gadis itu adalah adik tiri Claudia mantan kekasihnya. Dulu Claudia mencampakkan Kenzo setelah pria itu mengalami kecelakaan hingga lumpuh untuk sementara waktu.
Bagaimana lika-liku perjalanan pernikahan Kenzo dengan Nada? (yang selisih usianya 10 tahun lebih muda).
Di sisi lain, Nada masih terbelenggu dengan potongan ingatan masa kecil yang mengatakan bahwa ibunya meninggal karena mengakhiri hidupnya sendiri.
Apakah itu benar? Atau hanya dugaan semata? Lantas jika tidak benar siapa gerangan yang telah menghilangkan nyawa ibunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekesalan Claudia
#11
Brak!
Claudia menghentakkan kakinya usai membanting pintu rumah, dadanya bergemuruh hebat, Kanaka telah mengobarkan amarah yang selama ini tak pernah ada untuknya.
Se cinta itulah Claudia pada Kanaka, hingga ia tak bisa marah terlalu lama pada pria itu. Tapi kali ini seolah tak ada obat yang lebih mujarab selain merealisasikan pernikahan yang sudah ia rencanakan.
Entah apa yang ada di pikiran Claudia, sikap dan sifat Kanaka saja sudah begitu buruknya, tapi ia masih berharap dinikahi Kanaka. Yang ia pikirkan hanyalah, tak mau kalah dengan adik tiri dan sang mantan kekasih yang kini terlihat bahagia.
Jika mereka bisa, maka ia pun bisa.
“Kamu kenapa, sih? Pulang-pulang wajahmu kusut begitu.” gerutu Mama Laura, perhatian.
“Aku marah, Ma. Aku kesel!” adu Claudia dengan wajah merah membara.
“Kesel, kenapa?” Mama Laura masih coba bertanya dengan lembut.
Namun, Claudia tak langsung menjawab, hingga membuat Mama Laura mengulang pertanyaannya. “Jawab Mama, gimana Mama bisa bantu kalau kami tak mau jawab.”
Claudia menatap Mama Laura dengan wajah yang entah bagaimana menjabarkannya, marah yang tak sekedar amarah biasa. Kesal, dan sedih, namun, semua terlanjur terjadi. “Janji, ya. Mama nggak akan marah?” mohon Claudia.
“Iya, ada apa, sih? Bikin Mama makin penasaran loh.” Mama Laura menggeser tubuhnya agar lebih dekat lagi dengan Claudia.
“Ternyata, Mama benar.”
“Hah?! Benar, soal apa?”
Claudia kembali ragu untuk bercerita, wanita itu menunduk menatap sepatu merah yang ia kenakan. “Kanaka tak pernah berniat menikahi aku—” jawab Claudia dengan suara samar, hingga Mama Laura bertanya sekali lagi.
“Bicara yang jelas! Mama tak dengar.”
“Kanaka brengsek sialan itu, tak berniat menikahi aku, Ma.” Dengan suara satu tingkat lebih tinggi, Claudia menjawab.
Alih-alih menghibur, Mama Laura justru mencibir. “Hmm, sudah Mama duga. Lagian, kamu tuh ya, bodohnya pake kuadrat, makanya gampang dibohongi. Lagian dulu itu apa yang kamu lihat darinya, tampan juga biasa saja, kaya tak seberapa, kelakukan kayak srigala.”
"Ma, cukup!” jerit Claudia. “Mama bukannya kasih solusi, malah kasih cibiran.”
“Memang mau solusi apa? Hah?!” tanya Mama Laura.
“Mama emang nggak guna,” kata Claudia sambil memalingkan wajah.
Mama Laura menoyor kening Claudia. “Dasar durhaka, tak tahu terima kasih, sudah Mama rawat dan Mama lahirkan ke dunia.”
“Ya, makanya kasih solusi!” Claudia kembali merengek keras, lebih tepatnya setengah memaksa.
“Lanjutkan saja rencanamu, atau buat lebih cepat, biar orang tua Kanaka kebakaran jenggotnya.”
Claudia membulatkan kedua matanya, “Mama setuju? Tapi—”
“Tapi apa?”
“Bagaimana kalau aku tidak hamil?”
“Setelah menikah, Pura-pura saja keguguran. Beres.”
Claudia segera mencium dan memeluk erat Mama Laura, seolah-olah Mama Laura baru saja mengangkat beban hidup yang menimpanya. “Mama memang yang terbaik, aku sayang Mama.”
“Kalau begini aja, baru bilang sayang.” Claudia hanya menyeringai.
•••
“Wah! Enak banget, Bund,” pekik Nada ketika kuah cumi bercampur nasi putih hangat masuk melewati tenggorokannya.
“Oh, iya?” tanya Bunda Emira, dan Nada kembali mengangguk cepat, karena mulutnya penuh makanan.
Senangnya hati Bunda Emira, akhirnya ia punya teman sesama perempuan di rumah, biasanya ia sendirian sepulang kerja. Tapi kini ia bisa memasak berdua, makan berdua, mungkin suatu saat mereka harus berbelanja berdua agar bisa lebih akrab.
“Nada.”
Nada mendongak, “Iya, Bunda?”
“Lain kali, mau pergi belanja sama Bunda?”
“Ya, mau, dong. Tapi nunggu hari libur kuliah, ya?”
“Iya, kan kalau kamu kuliah, Bunda juga di rumah sakit.” Bunda Emira menambahkan.
“Oh iya, ya?” Nada terkekeh.
Mereka kembali melanjutkan makan siang yang kesorean, karena mereka sangat terlambat memulai masak.
Dengan lahap Nada menyantap nasi dan kuah gulai di piringnya, diam-diam kedua matanya berkaca-kaca, membuat Bunda Emira curiga. “Kenapa?” tanyanya.
“Eh, Nggak kok, Bund.” Ini kelilipan.
“Oh, kelilipan,” sahut Bunda Emira, kedua matanya menoleh ke arah ART yang kini sedang membereskan dapur. “Bik Na. Nanti bilang sama Pak Sugeng, untuk bersihkan debu di rumah, ya?”
“Iya, Nyonya,” jawab Bik Na. “Tapi, Nyonya, baru kemarin Pak Sugeng membersihkan semua debu-debu rumah.”
“Oh—”
Beberapa saat yang lalu, Nada terperangah karena Bunda Emira, langsung bertitah pada para asisten di rumah. “Bund, Bunda, tidak begitu, maksudku—”
“Bunda tahu, kamu berbohong, kan?”
Nada menunduk, lalu meletakkan sendok dan garpunya. “Maaf, Bunda. Aku hanya rindu Ibuku,” jawab Nada. Bunda Emira tertegun, ia lupa bahwa Nada sudah lama kehilangan figur ibunya. “Sebagian ingatan masa kecilku juga memudar, aku semakin takut, Bund, aku takut lama-kelamaan aku akan melupakan ibuku.”
Bunda Emira berpindah tempat duduk didekat Nada, dipeluknya sang menantu, walau bukan wanita yang melahirkannya, tapi Bunda Emira sangat menyayangi menantunya. “Ada Bunda, ada Ayah, jadi kamu tak perlu khawatir,” bisiknya sambil mengusap punggung Nada. “Karena kami berdua, adalah teman ibumu juga.”
Nada berjingkat dari pelukan Bunda Emira, ia menegakkan tubuhnya, “Benarkah?” tanyanya terkejut, karena tak pernah ada yang memberitahunya tentang hal itu.
Benda Emira mengangguk, “Kami berteman sejak SMA, satu klub juga pada saat itu. Ibumu, adalah satu-satunya orang yang memperlakukan Bunda dengan sangat baik.”
Air mata Nada kembali mengalir, Bunda Emira mengusapnya dengan lembut, “Jangan menyimpan rasa sedihmu seorang diri, ya?” bisiknya. “Ada Bunda, ada Ayah, ada suami kamu juga. Sekarang kami juga keluargamu, kalau kamu sedih, kami juga akan sedih.”
Nada kembali memeluk Bunda Emira, bahkan menangis tanpa malu, “Bunda—”
Bunda Emira memeluk Nada, entah bagaimana gadis kecil seperti Nada dulu bertahan bersama ibu tiri seperti Mama Laura. Pastilah gadis itu sangat kesepian menjalani hari-harinya.
Sejak lulus dan sama-sama menjadi dokter bedah, Bunda Emira dan Dokter Febiola memang praktek di rumah sakit berbeda. Jadi kesibukan membuat mereka jarang berkomunikasi, Bunda Emira hanya pernah menerima kabar, bahwa Dokter Ola memiliki kekasih, namun wanita itu tak menjabarkan lebih lanjut.
Lama waktu berlalu, belum juga ada kabar lagi, tersiar kabar bahwa Dokter Ola melanjutkan kuliah di luar negeri, entah di negara mana. Hingga beberapa tahun kemudian, wanita itu kembali ke tanah air dan mengatakan bahwa ia akan menikah.
Saat itu Bunda Emira tak tahu bahwa Dokter Ola adalah istri kedua, pantas saja wanita itu mengatakan tak ada resepsi hanya ijab qobul sederhana. Yang penting resmi dan sah secara hukum dan agama.
“Ada apa, ini? Kok seperti habis tangis-tangisan?” cetus Ayah Juna yang baru pulang dari rumah sakit.
“Lho, Mas. Katanya ada operasi sampai malam?” Bunda Emira mendekat dan mencium tangan suaminya, Ayah Juna pun tak segan memberikan kecupan mesra di kening seperti biasanya, padahal ada Nada yang melihat.
“Tekanan darah pasien kembali tinggi, jadi operasi terpaksa ditunda.” Ayah Juna ikut duduk di salah satu kursi ruang makan.
•••
Di rumah sakit.
Dua bersaudara itu masih saling melempar lirikan tajam setelah perdebatan di ruang makan khusus untuk para dokter. “Apa?”
Kenzo hanya mengangkat kedua pundaknya, dua bersaudara jarak 10 bulan itu terlihat kekanakan padahal usianya sudah kepala tiga.
Kenzo merangkul pundak Leon, “Gimana kalau sama Dokter Gendhis saja?”
“Ngawur! Psikolog tak boleh jatuh cinta pada pasiennya!” jawab Leon.
“Ya, sudah, siap-siap saja gigit jari kalau Leony sudah menikah lagi.”
“Mas!” Leon yang marah, membuat Kenz tergelak bahagia. Adiknya adalah tipe pria bucin akut seperti ayah mereka, dan dilihat dari ekspresi wajah pria itu, sepertinya Leon belum bisa melupakan mantan istrinya.
“Masih cinta?”
“Ngga!”
“Tapi?"
“Nggak pakai tapi, Mas!”
Kenzo tertawa terbahak-bahak, adiknya si pria bucin akut yang pernah patah hati setelah ditinggal pergi oleh sang mantan istri.
hmmm siapa kah lelaki yang nabrak pagar? apakah orang suruhan Kanaka itu??
next Thor..