Sekar tak pernah menyangka, pertengkaran di hutan demi meneliti tanaman langka berakhir petaka. Ia terpeleset dan kepala belakangnya terbentur batu, tubuhnya terperosok jatuh ke dalam sumur tua yang gelap dan berlumut. Saat membuka mata, ia bukan lagi berada di zamannya—melainkan di tengah era kolonial Belanda. Namun, nasibnya jauh dari kata baik. Sekar justru terbangun sebagai Nyai—gundik seorang petinggi Belanda kejam—yang memiliki nama sama persis dengan dirinya di dunia nyata. Dalam novel yang pernah ia baca, tokoh ini hanya punya satu takdir: disiksa, dipermalukan, dan akhirnya dibunuh oleh istri sah. Panik dan ketakutan mencekik pikirannya. Setiap detik terasa seperti hitungan mundur menuju kematian. Bagaimana caranya Sekar mengubah alur cerita? Apakah ia akan selamat dari kematian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11. KEBENCIAN TAK KASAT MATA
Dua sosok yang dilihat Sekar tadi sore kini mendatangi rumahnya untuk makan malam. Gadis berkulit kuning langsat itu sekilas tersenyum ramah pada Sekar, meskipun tatapan mata melihat Sekar dengan tatapan merendahkan. Jika gadis di depannya ini bersandiwara berpura-pura ramah padanya, tidak ada salahnya Sekar mengikutinya.
"Ini Nyai Sekar," ujar Hendrik memperkenalkan Sekar pada gadis di sampingnya. "Nyai Sekar, ini Kartika putri dari Bupati Batavia," lanjutnya mengenalkan Kartika pada Sekar.
Pupil mata Sekar melebar degup jantungnya bertalu-talu, ia tanpa sadar menahan napas. Senyum yang sedari tadi Sekar ulas mendadak patah, Kartika—protagonis wanita di novel. Kartika memiliki keuntungan sebagai seorang putri petinggi berdarah bangsawan, keluarganya bekerja di bawah kolonial Belanda. Meskipun begitu, sosok Kartika digambarkan sebagai wanita pejuang yang hebat. Kartika memperjuangkan tanah airnya, merangkul orang lemah bersama Samudra—protagonis pria yang cerdik.
Keduanya bekerja sama dalam banyak misi, misi yang sering dilakukan oleh Kartika adalah mencari informasi penting untuk disampaikan pada Samudra dan kelompok pejuang yang dipercaya. Meskipun ayahnya bekerja sama dengan penjajah, Kartika tidak mendukung ayahnya. Diam-diam mengkhianati ayahnya, hanya untuk menjadi tokoh penting. Ada banyak tokoh pria di novel yang mengagumi Kartika, termasuk Aji—mantan kekasih Sekar.
"Nyai!" seruan deep voice berat, dan sentuhan di bahunya menyentak Sekar dari lamunan.
"Ah, oh?" Sekar menoleh ke samping mendongak menatap Johan di sampingnya.
Sekar baru sadar saat manik mata biru Johan bergerak, membawa atensinya berpindah dari wajah Sekar ke arah dua orang di depan mereka. Sekar membawa tatapan matanya ke arah gubenur jendral dan Kartika, ia kembali menarik garis di sudut bibirnya melengkung tinggi ke atas.
"A..., ayo. Makanannya sudah siap, mari kita langsung ke ruangan meja makan." Sekar mengajak ketiganya untuk segara berpindah dari teras rumah ke ruangan meja makan.
Tangan Johan bergerak meraih tangan Sekar, menggenggamnya menuju ruangan meja makan. Sementara Hendrik dan Kartika mengikuti dari belakang, tatapan mata Kartika menatap tajam ke arah punggung belakang Sekar. Siapa yang menyangka jika gundik jendral tinggi itu benar-benar di luar ekspektasi Kartika.
Awalnya ia berpikir wanita yang dijadikan nyai oleh Johan adalah gadis vulgar, mengingat jika wanita yang katanya diambil adalah wanita desa. Sudah pasti wanita yang udik, gila uang, tidak tahu sopan santun, dan kasar. Meskipun katanya cantik, wanita desa mana yang terlahir lebih cantik daripada wanita yang lahir dari keturunan bangsawan. Namun, di saat Kartika bertemu secara langsung dengan Sekar, kesannya pada Sekar mendadak berubah.
Pembawaan Sekar yang tenang, berwibawa, dan wajahnya yang cantik membuat Kartika sedikit terbesit perasan cemburu. Walaupun demikian, diam-diam di dalam hatinya pun ada perasaan menghina. Apa gunanya kecantikan, Sekar hanya sebatas wanita gundik Johan. Statusnya jauh lebih tinggi dibanding dengan Sekar, ia adalah putri seorang bupati Batavia. Ibunya adalah seorang bangsawan berdarah biru, ia terpelajar, dan berasal dari Ibu Kota.
Mereka berempat duduk di kursi rotan, di atas meja makan ada banyak sekali hidangan yang tersaji. Kartika memperhatikan Sekar memberikan perintah pada beberapa pembantu, sebelum mereka semua beranjak dari ruangan meja makan. Cara dan gerakan Sekar terlihat seperti seorang istri bangsawan, Kartika mendengus pelan.
'Padahal kamu hanya seorang gundik hina tapi, berlagak menjadi seorang istri bangsawan kelas atas. Yeah..., setidaknya kamu bisa menikmati semua ini Nyai. Sebelum Johan, kamu, dan semua penjajah kami musnahkan.' Kartika mengulas senyum kembali ketika tatapan matanya dan mata Sekar tersirobok.
Sekar membalas senyuman Kartika, sebelum memilih menenggelamkan dirinya sendiri pada pemikiran yang berkecamuk.
...***...
Sekar menyeka sudut bibirnya dari remah-remah cemilan, keduanya duduk di teras belakang rumah menghadap ke arah taman luas. Johan dan Hendrick tengah berbincang di ruangan kerja Johan, tidak tahu apa yang ingin mereka bahas. Sekar menemani Kartika, selesai makan malam mereka berdua bersantai di kursi menikmati pemandangan malam, dengan pemikiran masing-masing.
"Kudengar Nyai baru saja datang ke Batavia dibawa oleh Jendral, pasti Nyai tidak kenal siapa-siapa di sini. Bagaimana kalau Nyai, aku temani berkeliling di Batavia. Menghabiskan waktu berbelanja bersama," kata Kartika memecah keheningan di antara mereka berdua.
Sekar melirik Kartika dari ekor matanya, mengeluh dalam hati. Sekar sungguh tak ingin dekat-dekat dengan Kartika, tokoh protagonis wanita ini terlalu banyak ide untuk melakukan hal-hal yang akan membahayakan Sekar. Berada di sini saja sudah membuat Sekar dilanda kekhawatiran tak berujung, niat hatinya bisa lepas dari Johan. Serta bisa menjauh dari alur cerita yang berakhir tragis, tampaknya alur cerita yang berubah malah menyeret Sekar lebih awal bertemu dengan para tokoh penting di novel.
"Sebelumnya terima kasih banyak atas perhatian Nona Kartika, aku senang karena ajakan Nona Kartika untuk berkeliling. Hanya saja, ini tidak akan mudah untuk dilakukan. Jendral sangat protektif, apalagi keadaanku yang baru saja terluka. Sangat sulit untuk bergerak ke mana-mana," tolak Sekar, ia menunduk menyentuh perutnya yang terluka.
Tatapan mata Kartika beralih ke arah perut Sekar, manik mata coklat beningnya tampak berkilat. Kilatan ketidaksukaan yang tampak rumit, Kartika mendengar apa yang terjadi dari mulut Raden—sahabat sekaligus orang kepercayaan Samudra. Wanita di sebelahnya ini yang menyelamatkan Samudra di malam misi pembunuh dilakukan, Kartika khawatir dengan Samudra.
Pria yang sudah sedari lama ia inginkan, perjuangan Kartika saat ini tak luput dari keinginannya agar bisa sejalan dengan Samudra. Pria itu memimpin negara yang bebas dari penjajahan, Kartika ingin menjadi bagian dari orang yang berdiri di samping Samudra. Kartika ingin Samudra melihatnya, menikahinya saat mereka berhasil memberantas penjajahan.
"Oh, Nyai terluka? Apakah karena pemberontakan yang terjadi di pesta tadi malam?" tanya Kartika berpura-pura terkejut, dan memasang ekspresi khawatir. "Aku sungguh beruntung, meskipun diundang ke pesta tadi malam. Karena ada acara mendadak, aku tidak bisa ikut memeriahkan pesta. Pagi harinya aku mendengar dari Gubernur Jendral jika pestanya sangat kacau."
Sekar mengerut alis matanya, melirik Kartika dari ekor matanya. Ekspresi di wajah Kartika benar-benar menipu, jika ia tidak membaca novelnya sudah pasti Sekar akan tertipu dengan wajah naif Kartika. Wanita di sampingnya ini tidak selembut dan sebodoh yang terlihat, ia penuh dengan kepalsuan. Sebagai mata-mata, Kartika sangat fasih berpura-pura.
"Ini terjadi bukan di tempat pesta, saat para pemberontak menyerang di pesta. Aku berada di taman belakang gedung, aku sama sekali tidak terluka. Ini terjadi di rumah, saat Jendral berada di luar mengejar sisa-sisa pemberontak. Siapa sangka mereka malah datang ke sini, anggap saja aku yang sedang sial," balas Sekar terkekeh pelan.
Kartika mengangguk paham, mengulas senyum cerah kembali saat mata mereka bertemu.
Bersambung...