Teror mencekam menyelimuti sebuah desa kecil di kaki gunung Jawa Barat. Sosok pocong berbalut susuk hitam terus menghantui malam-malam, meninggalkan jejak luka mengerikan pada siapa saja yang terkena ludahnya — kulit melepuh dan nyeri tak tertahankan. Semua bermula dari kematian seorang PSK yang mengenakan susuk, menghadapi sakaratul maut dengan penderitaan luar biasa.
Tak lama kemudian, warga desa menjadi korban. Rasa takut dan kepanikan mulai merasuk, membuat kehidupan sehari-hari terasa mencekam. Di tengah kekacauan itu, Kapten Satria Arjuna Rejaya, seorang TNI tangguh dari batalyon Siliwangi, tiba bersama adiknya, Dania Anindita Rejaya, yang baru berusia 16 tahun dan belum lama menetap di desa tersebut. Bersama-sama, mereka bertekad mencari solusi untuk menghentikan teror pocong susuk dan menyelamatkan warganya dari kutukan mematikan yang menghantui desa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisikan Pocong dan Peringatan Gaib
Malam Senin itu, langit desa tampak kelabu, lampu jalan redup memantulkan cahaya samar di aspal basah. Atna baru saja menyelesaikan ritualnya—mandi kembang tujuh rupa, lilin dupa masih beraroma tajam di pikirannya—dan kini ia melangkah keluar rumah menuju jalan raya, bersiap menempuh perjalanan ke club tempatnya bekerja.
Sepatu haknya beradu pelan di jalanan berkerikil ketika sebuah suara mesin motor memecah kesunyian. Dari kejauhan, lampu depan menyorot ke arahnya.
Semakin dekat, Atna bisa melihat Satria, masih mengenakan seragam TNI lengkap, membonceng seorang gadis.
Gadis itu… berbeda. Rambut hitam panjangnya terurai di bawah kardi kotak-kotak yang melapisi kaus putih sederhana.
Celana jeans biru pudar membingkai kakinya, dan kulitnya putih bersih, pipi tembamnya memerah terkena angin malam. Saat motor melintas tepat di hadapan Atna, mata mereka bertemu.
Tatapan itu—lembut, tapi dalam—menusuk jauh ke dalam diri Atna, seolah menggoyahkan lapisan aura gelap yang selama ini melindunginya. Senyum gadis itu begitu tulus, namun justru menimbulkan rasa tak nyaman, seperti cahaya yang mengusir bayangan.
Mendadak, bisikan dingin menyelinap di telinga Atna, suara pocong yang mendiami susuknya.
“Jauhi gadis itu!”
Bulu kuduk Atna meremang. Jantungnya berdetak cepat, tak tahu kenapa kata-kata itu terasa seperti peringatan sekaligus ancaman. Ia mengalihkan pandangan, mempercepat langkah, dan tanpa menoleh lagi, langsung menuju club.
Di belakangnya, motor Satria menghilang di tikungan, tapi tatapan mata dan senyum gadis itu terus membekas, mengusik pikirannya sepanjang malam.
Atna baru saja duduk di ruang tengah, mencoba menenangkan diri setelah perjalanan ke club yang aneh tadi. Namun hawa dingin tiba-tiba merayap dari sudut ruangan. Aroma anyir bercampur bau tanah basah memenuhi udara. Dari kegelapan, pocong bersusuk itu muncul, kain kafannya berkedut pelan.
“Mbah…” bisik Atna, suaranya nyaris hilang. “Kenapa tadi Mbah nyuruh aku jauhi gadis itu?”
Pocong itu berdiri tak bergerak, namun matanya—dua lubang hitam kosong—menatap langsung ke jiwa Atna. Suaranya merayap di kepala, lebih dingin daripada biasanya.
“Gadis itu… bukan orang biasa,” katanya pelan. “Ia dilindungi oleh altar gaib keluarganya. Sebuah altar yang telah berdiri ratusan tahun… dan aku tak bisa menembusnya.”
Atna menelan ludah. “Altar?”
“Altar itu dibuat oleh darah Belanda yang menguasai tanah ini di masa lampau. Gadis itu… adalah reinkarnasi salah satunya,” lanjut pocong, nadanya berat.
“Roh penjaganya berlapis-lapis, diwariskan dari generasi ke generasi. Kekuatan itu bertolak belakang dengan susuk yang kau bawa.”
Atna mulai merasa dadanya sesak. “Terus… kalau aku dekat?”
“Susukmu akan goyah. Auramu akan retak. Dan saat itu terjadi… aku juga akan ikut melemah. Altar itu akan mengenalimu, Atna. Mereka akan tahu bahwa kau terikat pada kegelapan, dan mereka… akan mengusirmu. Dengan cara yang tak akan kau sukai.”
Hening sejenak. Satu-satunya suara adalah detak jam di dinding.
Pocong itu mendekat sedikit, kain kafannya berdesir. “Ingat kata-kataku… jangan tatap matanya terlalu lama, jangan hirup aromanya, dan jangan biarkan ia menyentuhmu. Cahaya dari altar itu akan membakar kita berdua.”
Atna hanya mengangguk, jantungnya berdebar cepat. Peringatan itu bukan sekadar larangan—ia bisa merasakannya, ini adalah garis batas antara hidup dan mati… atau antara kekuatan dan kehancuran.
Pocong itu menunduk sedikit, kain kafannya berderak pelan.
“Gadis yang kau lihat tadi… bukan sembarangan manusia, Atna.”
Ia menarik napas panjang—suara itu terdengar seperti angin yang menyusup di sela nisan.
“Dia adalah reinkarnasi dari Victoria Alexandra Van Buthjer… putri Jenderal Hanson Van Buthjer. Ayahnya memimpin pasukan Belanda di tanah ini, keras seperti baja, namun licik seperti ular.”
Bayangan itu merasuk ke pikiran Atna: seorang gadis berambut pirang gelap duduk di balkon rumah besar bergaya kolonial, mengenakan gaun renda putih, sambil memandang pekarangan luas yang dipenuhi tentara.
Pocong melanjutkan, “Mendiang ibunya, Nadia Sabrina, menjalin ikatan gaib dengan arwah Belanda yang terkutuk. Ikatan itu tidak pernah putus—ia mengikat roh tersebut pada sebuah altar dan meski Mendiang Nadia sudah memutuskan hubungan ikatan gaib itu anak-anaknya akan lahir.”
“Dan sekarang,” suara pocong itu merendah, “gadis itu lahir kembali, membawa altar itu bersamanya—tak terlihat oleh mata biasa, tapi terus menjaga. Kau, Atna… dengan semua susuk dan kegelapan di tubuhmu… adalah lawan alami cahaya itu.”
Atna menelan ludah, kulitnya terasa panas dingin.
“Kalau aku melawannya?” tanyanya pelan.
Pocong itu mendekat, bisikannya seperti racun dingin di telinga.
“Kau tidak akan sempat melawan. Altar itu akan membakar susukmu dari dalam sebelum mantra-mu sempat terucap. Dan jika itu terjadi… aku pun tak bisa menyelamatkanmu.”
Atna terdiam lama di sudut kamarnya, suara pocong itu masih bergaung di kepalanya.
Reinkarnasi… altar… ikatan arwah Belanda?
Tangannya meremas ujung kain selendang di pangkuannya. “Apa… ada ikatan seperti itu?” gumamnya, setengah bertanya pada dirinya sendiri, setengah menantang logika yang ia tahu.
Pocong itu tetap berdiri di sudut ruangan, matanya kosong, namun tatapannya menusuk.
“Di dunia yang kau pijak sekarang, Atna… ikatan darah dengan arwah itu lebih kuat dari sumpah manusia. Bahkan lebih tua dari susuk yang kau bawa. Darah mereka dilindungi, jiwa mereka dipagari, dan altar itu adalah jantungnya.”
Atna menelan ludah, otaknya mencoba membandingkan apa yang ia ketahui tentang ilmu hitam dengan cerita yang baru ia dengar. Kalau susuk bisa membuatku dipuja, berarti altar bisa… memusnahkanku?
Pocong itu bergerak sedikit, kain kafannya bergesek dengan suara serak.
“Jangan pernah menguji batasnya. Sekali saja kau mendekat pada gadis itu dengan niat jahat… kau akan tahu rasanya dibakar tanpa api.”
Atna mengalihkan pandangannya, namun di dadanya ada rasa berdebar—bukan sekadar takut, tapi rasa penasaran yang mulai menggerogoti.
Sejak pertemuan singkat di jalan itu, wajah gadis berkulit putih dengan pipi tembam itu tak mau pergi dari pikiran Atna.
Victoria Alexandra Van Buthjer… putri Jendral Hanson Van Buthjer… nama itu terasa asing, tapi entah kenapa ada rasa berat setiap kali ia mengulangnya dalam hati.
Pocong bersusuk itu sudah jelas-jelas memperingatkan: jangan mendekat, jangan mencari tahu. Tapi larangan itu justru membuat rasa ingin tahunya tumbuh seperti benalu.
Sore itu, dari balik jendela kamarnya, Atna melihat Satria keluar rumah dinas mengenakan kaos dan celana santai, membonceng gadis itu di motor trail dinasnya. Tawa gadis itu terdengar samar, dibawa angin sore.
Atna meraih jaket tipis dan menutup kepalanya dengan hoodie, melangkah cepat ke jalan belakang desa. Ia tahu satu jalur memutar yang mungkin bisa memotong arah motor itu.
“Jangan bodoh, Atna…” suara pocong terdengar di telinganya, seperti hembusan udara dingin. “Sekali kau menyeberang batas, altar itu akan mengenalimu.”
Atna pura-pura tidak mendengar. Kakinya melangkah makin cepat, matanya mencari celah untuk melihat lebih jelas—siapa sebenarnya gadis itu, dan kenapa aura di sekitarnya terasa seperti benteng yang tak bisa ditembus.
Dari balik semak di tepi jalan kecil, Atna akhirnya melihat mereka. Satria menepikan motornya di depan rumah besar bergaya lama yang disulap menjadi rumah dinas tambahan. Gadis itu turun, melepas kardigan kotak-kotaknya, menyisakan kaos putih polos yang kontras dengan kulitnya yang pucat.
Tatapannya sempat berkeliling, lalu… mata mereka bertemu lagi.
Bukan tatapan panjang, hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat dada Atna seolah diremas dari dalam.
Sekejap kemudian, hawa panas menjalar dari ujung jemari Atna ke seluruh tubuh. Pandangannya berkunang-kunang, napasnya tersengal. Ia mundur selangkah, memegang dada—jantungnya berdebar tak beraturan seperti sedang ditarik keluar.
Dari kejauhan, suara tawa gadis itu terdengar, tapi bagi Atna suaranya seperti gema jauh di dalam sumur. Di sela itu, ada bisikan lain—halus, asing, namun jelas bukan suara pocong bersusuknya.
"Aku tahu kau mengintip."
Dingin menggantikan panas, membuat bulu kuduk Atna meremang. Ia buru-buru mundur, tapi kakinya goyah, nyaris terperosok ke parit kecil di belakangnya. Pocong bersusuk muncul sekejap di sudut pandang matanya, wajahnya menegang.
“Aku sudah bilang! Altar itu mengenalimu,” desisnya marah. “Itu altar warisan darah Belanda—altar yang menolak segala kegelapan!”
Atna menelan ludah, keringat dingin bercampur panas yang masih tertinggal di tubuhnya. Ia tak pernah menyangka hanya bertemu mata sebentar bisa membuat susuknya seperti terbakar dari dalam.
*
semoga novelmu sukses, Thor. aku suka tulisanmu. penuh bahasa Sastra. usah aku share di GC ku...
kopi hitam manis mendarat di novelmu