Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
"Tuan Cedric, ini sulit dipercaya. Berdasarkan catatan medis sebulan lalu, Nona Elira mengalami cedera parah pada kepala, dengan kemungkinan kerusakan pada jaringan otak."
"Namun hari ini, hasil pemindaian menunjukkan tidak ada jejak cedera sama sekali. Bahkan tulang, jaringan, dan pembuluh darahnya berada dalam kondisi sempurna. Seolah ia tidak pernah mengalami kecelakaan itu."
Di dalam bathtub yang penuh dengan buih sabun, Elira menenggelamkan tubuhnya hingga dagu. Percakapan Cedric dengan tim medis terus terngiang di kepalanya.
Elira menegakkan duduk. "Sebenarnya apa yang terjadi denganku sampai bisa ke sini?" lirihnya saat teringat kembali. Ekspresi wajahnya begitu serius.
Ia cukup lama terdiam berpikir, sampai akhirnya berdecak. "Hah! Aku tak dapat mengingat apa pun selain terakhir kali aku menamatkan novel sialan ini."
Tok tok!
Elira tersentak.
"Ini sudah tiga jam, apakah di dalam kau baik-baik saja, Nona?" tanya Ann dengan nada gelisah.
"Ya! Aku ketiduran, Bibi!" dusta Elira, yang kini berdiri dan lekas membersihkan badannya.
......................
Di depan meja kerja dalam kamar, Elira duduk bersampingan dengan pelayan setianya. Di depan mereka ada buku catatan milik Elira yang terbuka, hingga foto yang berserakan.
"Nona, ini sudah hampir pukul sepuluh." Ann menguap kelelahan. Pekerjaannya hari ini cukup menguras tenaga dan pikiran.
"Sebentar lagi," kata Elira yang kini memiringkan kepala mengamati sebuah foto. "Bibi. Yang ini siapa?" tanyanya lagi seraya memperlihatkan potret itu pada Ann.
Pelayan itu menegakkan duduk. "Itu Tuan Axel--"
"Ah!" sentak Elira antusias. "Dia pria baik hati yang cintanya pernah kutolak?" gumamnya pelan. "Bodohnya memang keterlaluan perempuan ini."
Bukan sekali dua kali Ann mendapati nona mudanya bergumam hardikan. Ingatan Elira bermasalah dalam mengenal visual orang-orang. Namun selain itu tak ada yang dirinya lewatkan.
"Sepertinya dia begitu baik. Kenapa aku menolaknya?"
Ucapan itu mengundang kekehan kecil Ann di tengah rasa kantuknya. "Sekarang Nona baru sadar akan hal itu?" Ia berusaha mengusir kantuk demi mnyahuti rasa penasaran sang nona.
"Di mana dia sekarang?" Elira membuka halaman lain tentang Axel. Mata lelaki itu terlihat meneduhkan dengan senyuman menawan.
"Bibi tak terlalu tahu banyak tentangnya. Tapi dia cukup sering ke sini untuk membawakanmu sesuatu." Ann memindahkan rambut halus Elira ke belakang bahu. "Seperti camilan favoritmu, atau bingkisan bunga."
"Di dalam novel, pria ini adalah manusia jujur dan baik hati yang nasibnya tidak beruntung. Dia tak seperti Arsen yang pandai mencari muka, dan kebaikannya selalu dimanfaatkan orang-orang."
Elira memicing sambil terus berpikir. "Aku sudah mengenal beberapa orang yang cocok menjadi sekutuku di sini. Tapi aku belum tahu, apa yang harus kulakukan agar bisa kembali ke dunia nyataku."
Ann mulai tertidur saat Elira masih menyipit tajam.
"Ah! Sepertinya pikiranku yang satu ini sedikit masuk akal," batin Elira sambil bersandar ke kursinya. "Apa aku harus membuat happy ending untuk Elira? Namun aku tak tahu di mana letak ujungnya."
Elira terus menggilir beberapa foto di tangannya.
"Elira?"
Ann maupun Elira sama-sama tersentak. Cedric memergoki mereka yang belum istirahat di jam malam.
"Kau memanfaatkan waktu sibuk Ayah untuk bergadang?" sindirnya dengan nada jenaka. Ini sudah sudah pukul sepuluh lebih. Biasanya, putrinya itu tidur di pukul sembilan.
"Mungkin," sahut Elira seadanya. Ia lekas merapikan foto-foto tersebut dan memasukkannya kembali ke dalam kotak. Di sisi lain, Ann mengangguk dan lekas berdiri dari kursi kala Cedric mendekat.
"Ayah masih tidak mengerti," ujarnya seraya memperhatikan gerak-gerik Elira. "Kau terlihat kesulitan mengenal orang-orang yang seharusnya sudah kau kenal. Tapi orang-orang medis berkata, jika tak ada masalah apa pun dengan kondisimu."
"Ayah tak perlu khawatir. Aku baik-baik saja, selama Bibi Ann selalu ada di sampingku," kata Elira seraya melirik Ann yang kini merasa tersanjung.
"Kenapa aku menjadi lemah lembut begini," resah Elira, saat teringat tekadnya untuk mengubah sifat wanita lemah ini menjadi ganas.
"Bibi beristirahatlah." Ann mengangguk saat Cedric mempersilakannya keluar meninggalkan keduanya. "Kau juga tidur."
Elira teringat sesuatu. "Ayah. Apakah aku memiliki ponsel?"
Cedric diam sebentar, hingga akhirnya mengangguk. "Kenapa? Besok saja." Tangan besar Cedric mengusap kepalanya dengan lembut. "Besok Ayah akan meluangkan waktu untukmu. Kita lanjutkan besok mencari hal-hal yang membuatmu penasaran."
Cup
Cedric mengecup pucuk kepala Elira. "Tidurlah."
"Sial. Dia Ayah yang begitu perhatian. Membuatku merasa jauh lebih baik ada di sini."