Ketika seorang jenderal militer yang legendaris menghembuskan napas terakhirnya di medan perang, takdir membawanya ke dalam tubuh seorang wanita polos yang dikhianati. Citra sang jenderal, kini menjadi Leticia, seorang gadis yang tenggelam di kolam renang berkat rencana jahat kembarannya. Dengan ingatan yang mulai terkuak dan seorang tunangan setia di sisinya.
Pertempuran sesungguhnya dimulai, bukan dengan senjata, melainkan dengan strategi, intrik, dan perjuangan untuk memperjuangkan keadilan untuk dirinya...
apakah Citra akan berhasil?
selamat datang di karya pertamaku, kalau penasaran ikuti terus ceritanyaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Pernikahan telah usai. Meskipun sempat diwarnai sedikit insiden yang berhasil ditangani dengan cekatan oleh Max dan tim keamanannya, janji suci telah terucap dan Leticia (Citra) kini resmi menjadi Nyonya Maximilian Bailey. Kebahagiaan semu menyelimuti mansion, dengan para tamu yang masih membicarakan kemegahan pesta dan 'pemulihan ajaib' Nona Leticia. Namun, di balik senyum dan tawa, Max tahu ini hanyalah awal dari pertempuran sesungguhnya. Tekadnya untuk mengungkap kebenaran di balik insiden kolam renang Leticia, dan untuk membuktikan bahaya Petricia, kini semakin membara. Ia harus memastikan Leticia benar-benar aman, jauh dari jangkauan Petricia.
Untuk itu, orang tua Max, Tuan Richard dan Nyonya Emily, bersama Tuan William dan Nyonya Clara, menyarankan hal yang sama: bulan madu. Mereka berpendapat bahwa suasana baru, jauh dari intrik rumah, akan sangat baik untuk pemulihan ingatan Leticia dan juga untuk membangun fondasi pernikahan Max.
"Max, Leticia, kalian harus pergi bulan madu" Nyonya Emily menyarankan dengan senyum hangat saat sarapan pagi setelah pernikahan. "Leticia butuh suasana baru yang tenang, dan kalian pantas merayakan awal baru ini dengan kebahagiaan sejati." Ia melirik Leticia (Citra) dengan penuh kasih sayang, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Nyonya Clara mengangguk setuju, matanya memancarkan harapan. "Iya sayang, Kalian bisa pergi ke mana pun yang kalian mau. Anggap saja ini kesempatan untuk Leticia sedikit berlibur dari semua tekanan, dan siapa tahu, ingatanmu bisa kembali lebih cepat di tempat yang tenang dan indah."
Max menatap Leticia (Citra), sorot matanya penuh harap dan keinginan untuk melindungi. Ia mengingat percakapan lama dengan Leticia yang asli, yang pernah bermimpi tentang bulan madu romantis di Maladewa, jauh dari keramaian dan tekanan. "Bagaimana menurutmu, Tia? Kita pergi ke Maladewa? Kupikir kamu pernah bilang ingin ke sana dulu," tanyanya lembut, sebuah upaya kecil untuk memancing ingatan Leticia yang asli. Leticia (Citra) menatap Max, lalu mengangguk dengan senyum polos yang sedikit malu-malu, seperti reaksi seorang pengantin baru. "Maladewa? Kedengarannya indah sekali," jawabnya, mencoba membayangkan mimpi Leticia yang sebenarnya dan menyesuaikan reaksinya. Dalam hati, Citra melihat ini sebagai kesempatan ganda: memuaskan harapan Max, mendapatkan jeda dari intrik di mansion, dan yang terpenting, bisa mengamati Max lebih dekat di lingkungan yang lebih santai.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di Maladewa. Birunya laut yang jernih seolah menyatu dengan langit tanpa batas, pasir putih lembut membentang luas di bawah terik matahari tropis, dan deretan bungalow mewah di atas air menyambut mereka dengan kemewahan yang tak terlukiskan. Udara hangat dan semilir angin laut yang membawa aroma garam dan bunga-bunga eksotis, membawa kedamaian yang mendalam, sebuah kontras tajam dengan kekacauan yang mereka tinggalkan. Max sengaja memilih resort yang terpencil, dengan privasi maksimal dan penjagaan keamanan yang tetap ketat meskipun tersembunyi untuk memastikan Leticia benar-benar aman dan merasa nyaman tanpa beban.
Setiap hari di Maladewa adalah perwujudan mimpi yang nyata. Max berusaha keras untuk membuat Leticia (Citra) bahagia, berharap setiap momen manis akan menjadi kunci untuk membuka gembok ingatannya. Mereka menyelam bersama, mengagumi keindahan terumbu karang yang berwarna-warni dan ikan-ikan tropis yang berenang bebas, tangan Max tak pernah lepas dari genggaman Leticia (Citra), seolah takut ia akan menghilang lagi. Max tak henti-hentinya menceritakan kenangan lama mereka: kencan pertama, lelucon pribadi mereka, atau momen-momen kecil yang tak terlupakan, berharap Leticia (Citra) bisa mengingat sedikit demi sedikit. "Dulu kamu suka sekali menghabiskan waktu di bawah bintang-bintang, Tia" bisik Max suatu malam, saat mereka berdua berbaring di hammock di atas air, menatap jutaan bintang yang bertaburan di angkasa gelap. "Kamu bilang bintang-bintang itu seperti janji abadi, tak akan pernah pudar." Ia memejamkan mata, memeluk Leticia lebih erat, seolah ingin menyalurkan seluruh kenangan itu melalui sentuhan.
Leticia (Citra) mendengarkan dengan seksama, otaknya mencatat setiap detail, setiap ekspresi wajah Max, setiap desahan harapan yang keluar dari bibirnya. Ia melihat ketulusan di mata Max, harapan yang begitu besar. Kadang, ada rasa bersalah yang menusuk saat ia harus terus berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirinya, menerima semua kasih sayang yang sebenarnya ditujukan untuk Leticia yang asli.
Namun, ada juga kehangatan yang tak terduga, perasaan asing namun nyaman yang mulai tumbuh di hatinya. Max tidak hanya mencintai Leticia yang asli, ia juga sangat peduli pada Leticia yang "baru" ini, sang amnesia yang polos. Citra menemukan dirinya merespons sentuhan Max, menikmati momen manis yang tak pernah ia bayangkan akan ia rasakan dalam hidupnya sebagai seorang jenderal. Rasa aman yang Max berikan, meskipun ia tidak tahu identitas aslinya, adalah sesuatu yang berharga dan menenangkan di tengah badai intrik yang mengintai. Ia membalas pelukan Max, membiarkan dirinya sejenak tenggelam dalam ilusi kebahagiaan ini, berharap... entah apa yang sebenarnya ia harapkan. Ia tahu ini adalah istirahat singkat sebelum badai yang lebih besar.
Namun, di sisi lain dunia, kebahagiaan adalah barang langka bagi Petricia. Kegagalan demi kegagalan yang ia lakukan, terutama upaya penculikan di hari pernikahan, telah membawanya ke jurang keputusasaan yang dalam. Mansion Anderson, yang kini terasa begitu kosong tanpa kehadiran Leticia dan Max, seolah mengolok-olok kegagalannya. Dan di tengah kegalauannya, ponselnya berdering, merobek kesunyian malam. Nomor tak dikenal. Sebuah firasat buruk melanda. Ia mengangkatnya dengan tangan gemetar.
"Kau gagal total!" Suara itu menggelegar dari ujung telepon, dingin dan penuh amarah yang menakutkan, seperti petir yang menyambar di ruangan sunyi itu. Itu adalah suara seorang pria, asing di telinganya secara personal, namun Petricia tahu pria ini adalah 'koneksi' dari Arka seorang perantara yang bertindak atas nama dalang yang lebih besar dan kejam. "Aku sudah memberimu banyak kesempatan Petricia. Mencemarkan nama baiknya, menjebaknya dalam insiden kolam renang itu, dan sekarang, penculikan di hari H. Semuanya kacau! Apa kau tidak bisa melakukan apa-apa dengan benar?! Kau mengecewakanku!"
"Maafkan saya, Tuan. Saya... saya sudah berusaha sekuat tenaga! Max terlalu kuat! Penjagaannya sangat ketat. Saya tidak menyangka dia akan bertindak sejauh itu!" Petricia mencoba menjelaskan, suaranya tercekat dan gemetar. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, mengalir dari pelipis hingga leher. Ia merasa terpojok, seperti hewan buruan yang terperangkap.
"Alasan! Kau hanya mencari alasan! Rencanaku untuk Leticia tidak bisa gagal begitu saja karena kecerobohanmu! Kau tahu konsekuensinya jika kau terus mengecewakanku, bukan?! Bukan hanya kau yang akan menanggungnya!" nada suara itu semakin mengancam, penuh desisan yang mematikan.
Petricia terdiam, nyaris tak bisa bernapas. Ancamannya bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk keluarganya jika ia sampai berani mengkhianati atau gagal total. Jantungnya berdebar kencang, nyaris melompat keluar dari dadanya, menimbulkan sensasi mual. Ia bisa merasakan air mata menggenang di matanya, bercampur dengan rasa takut dan amarah. "Saya... saya akan mencari cara lain, Tuan! Saya bersumpah! Saya akan menghancurkan kebahagiaan mereka! Saya akan pastikan Leticia menyesal telah hidup!"
Panggilan terputus, meninggalkan Petricia dalam kegelapan dan kepanikan yang luar biasa. Ia melemparkan ponselnya ke dinding, lalu menjambak rambutnya sendiri dengan histeris. Air mata mengalir deras di pipinya, membasahi wajahnya yang keriput karena rasa frustrasi. Ia bingung harus melakukan apa lagi. Semua rencananya, semua upaya jahatnya, selalu gagal di tangan Max atau keberuntungan Leticia. Ia sudah mempertaruhkan segalanya, bahkan nyawanya sendiri dan orang-orang yang ia suruh, demi menghancurkan kembarannya, namun selalu saja gagal. Rasa sakit karena dipermalukan oleh dalang misterius itu bercampur dengan kebencian tak terbatas pada Leticia.
Kebahagiaan Leticia dan Max yang ia lihat di media sosial dan laporan berita pernikahan itu, foto-foto bulan madu mereka di Maladewa yang terus-menerus muncul di feed berita, Max yang tersenyum tulus, Leticia yang tampak begitu bahagia dalam pelukan Max... itu semua terasa seperti pisau yang mengoyak-ngoyak jiwanya berkeping-keping. Max, yang seharusnya ia miliki, kini sepenuhnya milik Leticia, dan itu tak tertahankan.
Petricia berjalan mondar-mandir di kamarnya yang mewah, seperti singa betina yang terperangkap dalam sangkar, memancarkan aura kegilaan. Ia harus menemukan cara. Cara apa pun yang bisa ia lakukan untuk membuat kebahagiaan mereka hancur berkeping-keping. Dendam dan keputusasaan bercampur menjadi koktail mematikan di benaknya. Ia tidak peduli lagi apakah itu berbahaya atau tidak, apakah itu akan menyeretnya ke dalam jurang yang lebih dalam. Yang ia inginkan hanyalah melihat Leticia menderita, lebih menderita dari dirinya, menderita sampai mati. Dan jika dalang di balik semua ini menginginkan Leticia hancur, ia akan memenuhi keinginan itu, meskipun ia harus bermain dengan api yang akan membakar dirinya sendiri. Ia akan menemukan celah, seberapa pun kecilnya. Ia bersumpah akan hal itu.
semangat dan sehat selalu kak thor