Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.
Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.
Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Balkon Kamar Naya pukul 22.09 WIB
Angin malam menyapu pelan ujung gaunnya. Di atas langit, bintang bersinar redup namun ramai, dan bulan sabit menggantung seperti luka yang belum sembuh. Tapi tidak ada yang seindah itu di mata Naya.
Gadis itu berdiri diam di balkon kamarnya, mematung di balik pagar besi berukir.
Tangannya menggenggam erat gagang pagar. Kukunya memucat. Napasnya pelan namun berat, seakan ingin meluapkan jeritan… tapi hanya mampu keluar dalam bentuk diam panjang yang menyakitkan.
Dalam hatinya
"Hari ini aku bertunangan... dan minggu depan aku akan menikah dengan dosenku sendiri. Bukan karena cinta. Tapi karena mereka ingin aku tunduk. Karena mereka pikir, ini satu-satunya cara 'menyelamatkanku' dari diriku sendiri."
Tatapannya menembus langit malam, tapi yang dilihat justru bayangannya sendiri masa lalu yang dikekang, dan masa depan yang tidak pernah ia minta.
Sebuah kilas balik terputar dalam kepalanya
Suara lirih di balik pintu ruang kerja ayahnya. Percakapan Pak Firman dan Bu Mita. Keputusan sepihak. Tak ada suara Naya di sana. Tak ada yang bertanya apakah dia rela.
Ia menahan air mata yang hampir jatuh. Tapi sebutir menetes juga.
Lalu dua.
Lalu semakin banyak.
"Aku bahkan belum belajar mencintai diriku sendiri... tapi mereka sudah akan memberiku gelar istri."
Naya bersandar di pagar balkon, memejamkan mata.
Ia bisa saja berteriak. Ia bisa saja kabur malam ini juga.
Tapi ia tahu pintu rumahnya terkunci.
Dan di luar rumah... dunia tidak lebih ramah dari apa yang ada di dalam.
Langkah pelan terdengar dari dalam kamar. Tapi Naya tidak menoleh.
Bik Marni berdiri di ambang pintu, tak ingin mengganggu, hanya berkata pelan, “Nak... kalau kamu capek, tidur saja, ya. Jangan dilawan sendiri.”
Naya tidak menjawab, hanya mengangguk kecil.
___
Gerbang Rumah Keluarga Firman –
Sarah berdiri di balik pepohonan yang teduh, menunduk sambil memegang ponselnya. Ia menatap layar dengan gugup lalu melirik ke dalam pagar rumah Naya.
"Kalau sampai Pak Firman lihat aku di sini, bisa-bisa gue ditanya soal kehidupan masa lalu Naya..." gumamnya pelan.
Tak lama kemudian, Arya muncul dari balik pagar, setelah berbicara singkat dengan penjaga. Ia menghampiri Sarah.
“Aku aja yang masuk. Kamu tunggu di sini, Sar. Aku tahu kamu khawatir, tapi situasinya sensitif.”
Sarah mengangguk, meski masih gelisah.
Arya disambut oleh salah satu pelayan, dan tak lama kemudian dipersilakan duduk di ruang tamu yang megah. Ruangan dipenuhi aroma bunga segar dan kilap perabot mahal, tapi terasa dingin dan berjarak.
Beberapa menit kemudian, Pak Firman dan Bu Mita muncul.
Pak Firman tampak ramah, meski nada bicaranya tetap tegas.
Bu Mita, seperti biasa, tersenyum manis namun menilai setiap gerak-gerik Arya.
“Arya... sudah lama tidak berkunjung,” sapa Pak Firman sambil menjabat tangannya.
“Iya, Om. Maaf mengganggu. Saya ke sini karena... khawatir sama Naya. Dia sudah empat hari tidak masuk kampus.”
Bu Mita menyela, duduk dengan sikap elegan.
“Naya sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya. Fokusnya sedang di rumah, bukan di kampus.”
Dunia terasa berhenti selama beberapa detik.
Arya membeku.
“Menikah...?” suaranya pelan, nyaris bergetar.
“Dengan siapa?”
Bu Mita menjawab dengan tenang.
“Dengan Alvan. Kamu pasti kenal. Dosen barunya Naya.”
Deg. Mendengar nama itu dada Arya seperti dihantam oleh bebatuan besar.
"Ada keperluan apa kamu datang kesini... Ahhh iyaa kamu pasti ingin bertemu Naya ya?"tanya bu Mita dengan tatapan tak suka.
"Kalau diperbolehkan om Tante".
Pak Firman menarik napas, lalu menoleh ke arah tangga.
“Naya sedang istirahat. Persiapan hari-harinya cukup padat. Saya rasa, kalau memang tidak ada hal mendesak, tidak perlu diganggu dulu.”
“Kalau boleh jujur, Om... justru karena itu saya ingin bicara langsung. Sekadar memastikan bahwa dia... benar-benar baik-baik saja.”
Suasana mengeruh sejenak.
Bu Mita tersenyum tipis, lalu berkata,
“Kami menghargai perhatianmu, Arya. Tapi sebagai teman, mungkin kamu bisa lebih bijak memilih waktu. Naya akan baik-baik saja setelah menikah. Lagipula, kamu sendiri tahu, bukan? Dia memang agak... sulit diatur.”
Kalimat itu terdengar sopan, tapi penuh sindiran.
Arya mencoba menahan amarahnya.
“Justru karena dia sulit diatur, dia butuh teman. Bukan tekanan.”
Pak Firman menatap Arya lama, kemudian bangkit dari duduknya.
“Terima kasih atas perhatiannya. Tapi mulai hari ini, saya mohon kamu jaga jarak dulu dari Naya. Fokuslah pada kampus. Biarkan kami yang mengurus sisanya.”
Arya berdiri. Tegak. Tapi matanya tak meninggalkan wajah Pak Firman.
“Baik, Om. Tapi saya cuma ingin Om tahu... Naya bukan proyek yang bisa diselesaikan dengan paksaan.”
Arya membungkuk ringan, lalu pamit keluar.
Sarah yang sejak tadi menunggu, langsung menyusul.
“Arya? Gimana?”
“Dia mau menikah.”
Sarah terdiam.
“Naya. Akan menikah. Sama dosen kita dikampus pak Alvan.”
Arya menghela napas.
“kapan?.”tanya Sarah dan dijawab dengan gelengan kepala oleh Arya.
Lalu mereka berdua berjalan menjauh, meninggalkan rumah besar itu yang dari luar tampak sempurna, tapi dari dalam... menyimpan sesuatu yang nyaris meledak.
Sarah bisa melihat bagaimana tatapan Arya yang tampak kecewa tapi dirinya juga sama diapit oleh dua rasa pertama sahabat nya naya akan menikah dan kedua tentunya Arya.
---