Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Untaian Senyum Sekilas
Aroma kaldu yang gurih menggoda hidungnya lebih dulu sebelum kesadaran utuh kembali. Mata Yu Zhen terbuka perlahan. Di luar jendela kecil, cahaya senja sudah berubah menjadi bias malam. Ruangan sunyi, hanya diterangi lentera di sudut rak.
Ia menggeliat kecil. Tapi suara dari sisi ranjang membuatnya terdiam.
“Hidup lagi, ya?”
Qin’er bersandar di pinggir tempat tidur dengan tangan menyilang. Di sampingnya, dua baki berisi makanan hangat dan sebotol tonik tembaga yang masih mengepul tipis.
Yu Zhen memandang semua itu, lalu menatap Qin’er yang kini sedang... memandangnya dengan cara yang agak berbeda.
Bukan sekadar temannya di kamar.
Tapi seperti... seorang pelayan memandang majikan barunya.
Yu Zhen mengerutkan kening. “Apa?”
Qin’er membungkuk kecil, menyeringai jahil. “Selamat datang kembali ke dunia para rakyat biasa, Nona Yu Zhen. Semoga hari-hari Anda bersama Yang Mulia Pangeran Keempat menyenangkan.”
Yu Zhen nyaris memutar bola mata. Tapi kepalanya masih berat. “Berhenti bercanda.”
“Aku nggak bercanda. Liat ini semua! Makanan hangat, buah rebus, tonik khusus pemulihan darah dari tabib pribadi. Kamu pikir siapa yang dikasih beginian? Bahkan waktu kakak selir Fei Lian sakit, dia cuma dapat teh pahit!”
Ia menunjuk ke arah botol tembaga.
“Dan ini—ini bukan tonik biasa, Zhen. Aku pernah bantu bersih-bersih dekat gudang tabib. Tonik ini disimpan di peti besi. PETI BESI! Buat keluarga inti kerajaan!”
Yu Zhen menelan ludah. Ia menunduk, menatap kedua tangannya yang kini terasa lebih hangat. Pelan-pelan, ia duduk.
“...Aku nggak minta semua ini.”
Qin’er duduk di lantai, tapi posturnya tetap tegak. Ia menatap Yu Zhen lama.
“Kamu pikir ini... cuma perhatian karena kamu saksi?” bisiknya. “Mungkin. Tapi... istana ini nggak pernah ngasih lebih dari yang diperlukan. Apalagi ke dayang baru tanpa marga.”
Yu Zhen menggeleng lemah. “Tapi aku bukan siapa-siapa. Kalau perhatian sekecil ini bikin semua orang heboh...”
“Zhen,” potong Qin’er, suaranya lebih serius, “yang heboh itu bukan perhatian kecil. Ini... bukan perhatian kecil. Ini bisa jadi awal keberuntungan luar biasa—atau awal petaka. Di istana, perhatian bisa berubah jadi peluru.”
Ia menatap Yu Zhen dengan mata teduh, tapi sarat kecemasan.
“Kalau kamu nanti menikah sama Pangeran Keempat—yang jelas nggak akan terjadi, tapi kalau kalau ya—aku akan tetap jadi pelayanmu, ngerti?”
Yu Zhen tersedak kecil. “Qin’er!”
“Apa? Aku harus mulai biasain dari sekarang kan?”
Mereka terdiam, tapi suasana menghangat. Yu Zhen akhirnya tertawa kecil, padahal matanya masih terasa berat.
“Kalau aku nggak keburu mati dibunuh dulu oleh semua orang yang iri, ya mungkin itu bisa jadi bahan mimpi,” gumamnya.
Qin’er ikut tertawa, walau cepat meredamnya.
Lalu setelah keheningan beberapa saat, ia menyandarkan dagu ke lutut.
“Kamu tahu nggak... Pangeran Keempat itu satu dari tiga pangeran yang belum menikah?”
Yu Zhen mengangkat alis. “Oh?”
“Iya. Ada tujuh pangeran. Yang paling muda itu bahkan udah nikah dan dikasih wilayah. Katanya, kalau udah punya istri dan jaminan penerus, baru Kaisar berani kasih kekuasaan.”
Yu Zhen menatap kosong. “Jadi yang belum nikah tinggal...?”
“Pangeran Pertama, Ketiga, dan Keempat,” jawab Qin’er. “Tapi dari ketiganya, yang paling... ‘bersih’ rekam jejaknya itu Pangeran Keempat. Nggak pernah gosip, nggak pernah dijodohin. Kayak... nggak tertarik.”
Ia memiringkan kepala. “Dan sekarang, tiba-tiba perhatian khusus ke seorang dayang? Kamu yakin kamu bukan bunga terlarang yang tumbuh di tempat tak semestinya?”
Yu Zhen tak menjawab. Ia tetap fokus menikmati supnya tanpa ekspresi.
Setelah supnya habis, Yu Zhen mengangkat botol tonik tembaga itu pelan. Hangatnya masih terasa di genggaman, seolah menyimpan sisa napas seseorang yang peduli.
Ia meneguk perlahan.
Rasanya... pahit. Tapi ada sedikit aroma rempah yang samar, menyisakan kehangatan yang menjalar dari kerongkongan sampai ke dada.
Yu Zhen meneguk lagi. Kali ini lebih banyak. Lalu kembali menunduk, menatap botol itu lama.
Pelan-pelan, senyum kecil muncul di sudut bibirnya—nyaris tak terlihat.
Senyum yang hanya bisa muncul ketika tak ada orang memperhatikan.
Senyum seorang gadis yang tidak pernah benar-benar tahu rasanya dipedulikan.
Selama ini, ia bisa mengingat dengan jelas setiap pukulan hidup yang pernah ia terima. Tapi tidak bisa mengingat dengan pasti... kapan terakhir kali ada seseorang, apalagi pria, yang menunjukkan perhatian tulus kepadanya.
Bahkan saat ayahnya sakit, ia-lah yang menjaga. Saat ibunya menangis karena harga diri diinjak-injak tetangga, ia-lah yang diam-diam menahan dendam. Tak ada waktu untuk merasa manja. Tak ada ruang untuk berharap dipeluk.
Dan sekarang... di dunia yang lebih bengis dari kampung halaman, ia justru menerima tonik tembaga dan makanan hangat, dikirim oleh seseorang yang bahkan tidak ia pahami maksudnya.
Kenapa dia begitu peduli?
Apakah karena aku saksi?
Atau... karena aku manusia?
Ia tidak tahu.
Tapi anehnya, untuk sesaat... ia merasa hidupnya berarti.
Walau hanya sebotol tonik.
Walau hanya sesaat.
Tangannya menggenggam botol itu lebih erat. Ia tahu, esok pagi mungkin akan ada tatapan benci. Atau sindiran licik. Bahkan bisa jadi pengkhianatan.
Dan ia tahu... dayang seperti dirinya bisa dihukum mati hanya karena bicara di waktu yang salah. Salah bersikap. Salah tersenyum. Salah memilih siapa yang ingin ia lindungi.
Nyawa dayang... bukan milik mereka sendiri.
Bahkan bukan harga dua koin perak.
Nyawa kami seperti permen murahan.
Seribu dapat lima.
Manisnya hanya sebentar.
Sisanya diludahkan, dilupakan.
Tapi ia tak menyesal.
Sejak memilih untuk masuk istana, Yu Zhen sudah tahu bahwa hidupnya bukan lagi milik sendiri.
Jika tak bisa hidup tenang, maka setidaknya aku akan hidup dengan tujuan.
Jika harus mati, aku akan mati dengan harga diri.
Dan kalau benar ini semua hanya permainan…
...maka ia akan belajar jadi pemain.
Yu Zhen meneguk sisa tonik terakhirnya, lalu meletakkan botolnya perlahan.
Tiba-tiba—
BRAK.
Pintu kamar terbuka kasar dari luar, membuat lentera bergoyang dan api mungilnya menari liar.
Qin’er langsung bangkit berdiri.
Di ambang pintu, berdiri dua dayang asing, wajah mereka kaku seperti patung batu. Di belakang mereka, seorang wanita berbusana hitam gelap—bukan seragam dari barak mana pun yang dikenali Qin’er—menyeringai tipis.
“Yu Zhen,” katanya, nada suara halus tapi beracun. “Ada panggilan untukmu.”
Qin’er maju setengah langkah, suara naik sedikit.
“Tapi dia diperintah istirahat langsung oleh—”
“Ssshh,” wanita itu mengangkat satu jari. “Kau pikir titah pangeran selalu berlaku untuk semua bagian istana?”
Matanya beralih ke Yu Zhen.
“Ayo, manis. Kami hanya disuruh ‘mengajak’. Bukan ‘memaksa’. Tapi kalau kau terlambat datang... yah, aku yakin Pengawas Ning tidak mau jadi kambing hitam.”
Yu Zhen berdiri perlahan.
Tanpa sepatah kata pun.
Qin’er ingin memegang lengannya—ingin berkata jangan pergi—tapi ia tahu... sekali seseorang dipanggil di malam hari oleh pihak misterius, biasanya hanya ada dua kemungkinan: disingkirkan, atau diuji.
Dan Yu Zhen tahu itu juga.
Tapi ia tetap melangkah. Lurus, tenang. Matanya menatap lurus ke depan.
Sebelum keluar pintu, ia berhenti sebentar.
“Qin’er.”
Suara Yu Zhen terdengar jernih, tapi rendah.
“Kalau aku tidak kembali…”
Qin’er menahan napas.
Yu Zhen menoleh sedikit. Senyumnya samar. Bukan pasrah.
Lebih seperti... seseorang yang sudah berdamai dengan takdir.
“...tolong jangan tangisi aku. Tunggu sampai semua cerita selesai.”
Lalu ia melangkah pergi, diapit dua bayangan.
Pintu kamar menutup pelan di belakangnya.
Dan malam pun terasa lebih sunyi dari sebelumnya.
Masih trauma dengan kesalahan diri
Sudah pencet bintang 5 untuk seorang author
Begitu muncul hanya 3.
Dan akhirnya kena block.
Berasa berdosa sama sang author
Vote terimakasih untukmu
Sekalipun cara yg di tempuh salah.
Orang tak bersalahpun menjadi korban
Hingga menjatuhkan menjadi keharusan
Riwayat sebuah propinsi kaya yg rakyatnya menderita
Kesenjangan yg di sengaja
yang memaksakan kehendak lewat cara tetcela.
Demi keamanan dan kenyamanan Yu zhen
Semoga Yu Zhen tetap baik baik
Tolong jangan bermain dengan perasaan dulu..
Sebelum semua baik baik saja
Kalem tapi tegas
Tetaplah tumbuh dengan karaktermu
cerita bagus begini kenapa sedikit sekali peminatnya
Semoga rasa yg ada,tak berbuah petaka kedepannya