Seorang perempuan cantik dan manis bernama Airi Miru, memiliki ide gila demi menyelamatkan hidupnya sendiri, ditengah tajamnya pisau dunia yang terus menghunusnya. Ide gila itu, bisa membawanya pada jalur kehancuran, namun juga bisa membawakan cahaya penerang impian. Kisah hidupnya yang gelap, berubah ketika ia menemui pria bernama Kuyan Yakuma. Pria yang membawanya pada hidup yang jauh lebih diluar dugaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherry_15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Bisikan Angin Senja
“Karena kelihatannya kita sudah rapi, mau cari makan siang keluar?” ajak Ryuka yang nama aslinya adalah Rakuyan dengan ramah namun terkesan riang, setelah suasana hati Airi sudah lebih baik.
Ia sudah tampak rapi dengan kaus hitam yang dibalut kemeja hitam, juga celana panjang hitam sobek-sobek. Ya, sangat rapi hingga rambutnya pun ia biarkan tanpa disisir. Jangan lupa masker hitam yang selalu ia kenakan setiap kali keluar rumah.
“Dari tadi kau belum menjawabku, bagaimana kita bisa keluar dari sini?” tanya Airi dengan wajah masam, bosan terus dibuat penasaran oleh pria yang baginya menyebalkan.
“Lewat jendela.” jawab Ryuka singkat, polos, dan tidak jelas.
“Kau lupa, ini lantai dua!?” Airi terkejut mendengar jawaban asal itu, matanya terbelalak ke arah Ryuka.
“Aku kan lagi mengasingkan diri di sini. Lupa?” tanya Ryuka dengan tenang, semakin tidak jelas.
“Hubungannya apa!?” kesal Airi.
“Coba kau pikirkan. Jika pengasinganku ini terbongkar dan rumah ini terkepung, lewat mana aku bisa melarikan diri?” Ryuka memberikan teka-teki.
Airi sempat memikirkan apa yang harus ia jawab. “Jendela?” tanyanya menerka.
Ryuka menganggukkan kepala dengan cepat.
“Tapi, bagaimana caranya?”
“Lihat saja, apa yang ada dibalik jendela.” perintah Ryuka dengan santai, tanpa beban.
Spontan Airi menurutinya tanpa banyak bicara. Ia membuka jendela dan melihat apa yang ada di baliknya. Retinanya menangkap sebuah tangga kayu yang menjulur hingga halaman belakang rumah Ryuka.
“Tangga?” gumamnya.
“Jika sudah mengerti, silahkan turun lebih dulu. Kau sudah bosan terkurung disini, kan?” ujar Ryuka, masih dengan nada bicaranya yang santai.
“Tapi, Ryuka. Tangga ini labil dan cukup rapuh, aku tak berani jika harus menuruninya.” Airi mulai meragukan kemampuannya sendiri.
“Kau phobia ketinggian?” Ryuka menerka.
“Mungkin? Aku hanya takut salah ambil pijakan, atau tangganya jatuh.” jawab Airi dengan jujur dan polos.
Ryuka sempat terkejut mendengar jawaban tersebut, tak menyangka jika Airi adalah perempuan yang sepenakut itu. Ia memperhatikan kembali penampilan gadis dihadapannya dari atas hingga bawah, lalu menyembunyikan senyuman nakal dibalik maskernya.
“Jika dalam kondisi seperti ini, tak apa kan?” pikirnya, entah sedang merencanakan apa.
“Apa aku perlu turun lebih dulu, agar bisa membantumu turun?” tawarnya, sedikit memancing agar Airi masuk dalam jebakan nakalnya.
“Jika kau tidak keberatan,” jawab Airi ragu.
“Sama sekali tidak keberatan. Kau percayakan saja padaku! Kau aman di tanganku.” riang Ryuka, membanggakan dirinya sendiri. Sedikit senang karena rencananya hampir berhasil.
Ryuka pun menuruni beberapa anak tangga lebih dulu, lalu melihat ke arah atas, tepatnya kearah gadis yang sedang menatapnya resah.
“Tak perlu takut, turunlah sembari menghadap ke belakang! Aku akan menjagamu.” ucap Rakuyan dengan yakin, memberi arahan.
Airi pun dengan hati-hati mengikuti arahan tersebut, perlahan menuruni tangga menghadap belakang bersama sedikit rasa takut. Matanya bahkan terpejam rapat saking takutnya.
Rakuyan Yakuma atau yang sekarang dipanggil Ryuka, menyembunyikan senyumannya dibalik masker. Sedikit lagi, ia bisa berhasil menjalankan rencananya.
Sempat ia melihat gadis di atasnya, menikmati pemandangan yang bisa ia lihat. Airi, perempuan polos itu tak menyadari betapa bahagianya Ryuka, dapat melihat dirinya dari bawah, yang hanya mengenakan rok pendek.
Rok hitam megar yang cukup pendek itu berkibar, terbelai oleh angin. Membuat Ryuka jauh lebih mudah mendapatkan akses, untuk melihat bagian dalamnya.
“Maaf lancang, sebelumnya. Tapi, bolehkah aku menyentuhmu?” tanya Ryuka dengan santun, meminta izin.
“Apapun demi keselamatan!” jawab Airi yang masih terpejam ketakutan.
Bertambah senanglah pria yang sejak awal memang sedang merencanakan hal itu. Tanpa ragu lagi, segera ia memegang area bokong Airi dengan cukup erat. Tak peduli dengan rok yang tidak menetap pada pemiliknya.
“Sekarang, turunlah pelan-pelan. Aku akan menahanmu.” Ryuka kembali memberi arahan.
Begitulah cara mereka bisa menuruni tangga untuk keluar dari ruang yang membosankan. Sungguh, Ryuka menikmati momen ini. Bangga pada dirinya sendiri yang telah berhasil menjalankan rencana nakalnya.
Semakin lama bersama Airi, semakin ia tak mampu menyangkal fakta akan rasa kagumnya terhadap segala aspek dari gadis itu. Tak ada kekurangan, pikirnya.
Sempat juga ia bertanya dalam hati, mengapa Tuhan memberikan takdir semenyedihkan ini pada gadis seindah Airi. Apa kesalahan yang pernah ia lakukan hingga mendapat hukuman seperti itu?
Lamunan Ryuka terputus setelah kakinya menjejak tanah, namun tangannya masih tertahan di tempat yang tak seharusnya.
“Hmmm… Kuyan?” panggil Airi ragu.
“Mengapa kau memanggilku begitu lagi?!” sentak pria yang kini lebih suka dipanggil Ryuka, tanpa melepaskan tangannya.
“Maaf, tapi… kita sudah berada dibawah, kan? Bisa tolong lepaskan itu?”
“Ah!? Apa!?” Rakuyan masih belum menyadarinya. Sontak pandangannya menjalar ke area sekitar.
“Ah, maaf! Bukan maksudku untuk..” lanjutnya panik, sembari melepaskan tangannya.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Airi, menyadari bahwa Ryuka sedang tidak fokus.
“Ah? Tidak ada! Bukan! Maksudku, ada! Eh, hhmmm… maksudku, aku belum bisa menyampaikannya padamu, maaf. Kau lebih suka kejujuran yang tertunda ketimbang kebohongan, kan?” jawab Ryuka gugup.
Airi menghela napas pasrah, sedikit gemas dengan pria yang sedang gugup. “Sudahlah, aku lapar. Mau makan siang apa?”
Ryuka tersenyum lega mendengarnya. “Ikuti saja aku, nanti kau juga akan lihat sendiri.” jawabnya dengan santai, lalu mulai melangkah lebih dulu keluar pagar rumahnya.
Airi yang belum mengerti apapun, hanya menurutinya mengikuti setiap langkahnya dari belakang. Jika sedang berjalan bersama, ia hanya berani melihat punggung pria dihadapannya.
Mereka berdua melangkah dalam keheningan, menyusuri kota yang ramai akan kesibukan. Melewati berbagai gedung, kafe, dan toko roti yang aromanya khas yang menggoda.
Sesekali hembusan udara mengusap lembut rambut keduanya, seolah mengiringi kesunyian yang membekukan hangat agar tetap bertahan dalam dada.
Selang beberapa menit melangkah dibawah langit cerah, tibalah juga mereka pada kedai bakmie yang cukup terkenal di kota itu. Ryuka memasuki kedai tersebut tanpa basa-basi, sedangkan Airi enggan untuk mengikuti.
Rakuyan menghentikan langkahnya sejenak, menoleh kebelakang. “Mengapa diam saja di situ? Ayo masuk! Kau suka mie, kan?” ajaknya dengan santai.
“Anu, tapi… menu di kedai ini mahal, kan?” tanya Airi, ragu.
“Kau meragukan kekayaanku? Ayo masuk! Tak perlu memikirkan tentang harga!” tanpa menunggu jawaban, pria bermarga Yakuma kembali melanjutkan langkahnya.
Airi hanya mengangguk ragu, sebelum akhirnya mengikuti langkah Ryuka juga. Rasa gugup menyelimuti hatinya, ingin berterimakasih namun suara tertahan ditengah kerongkongannya.
Mereka menikmati bakmie pada kedai dalam keheningan, enggan untuk bersuara. Namun tanpa bahasa pun, kehangatan mengaliri hati mereka.
Setelah makan siang, mereka melangkah tanpa tujuan. Namun setiap langkahnya mengaliri kenikmatan, menikmati suasana kota dengan anak-anak yang riang berlari di seberang jalan.
Udara menyelusup perlahan membawa jingga dari belahan dunia yang berbeda, menenggelamkan kedua insan dalam rasa samar yang belum mereka ketahui pasti apa namanya.
Hingga langkah mereka tanpa sadar memijak pada pasir, juga indera penciuman mendeteksi adanya aroma laut yang khas. Retina menangkap pemandangan langit biru yang berpadu dengan laut.
“Wah, pantai!” seru Airi dengan riangnya, berlari mendekati laut.
Ia melepas alas kakinya, lalu membiarkan air laut bermain dengan kakinya. Kepalanya menengadah ke atas dengan mata yang terpejam, menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang meresapi kulit wajahnya.
Ryuka hanya mengikutinya perlahan dari belakang, lalu berdiri disampingnya sembari diam-diam memperhatikan Airi. Entah apa yang membuat pikirannya lebih tenang dari kegelapan yang pernah bersarang.Ia menyembunyikan senyuman dibalik masker hitam.
“Apa yang bisa kau lihat, dengan mata terpejam seperti itu?” tanyanya dengan lembut.
“Terkadang, sebuah keindahan tidak selamanya harus dilihat oleh mata. Mereka akan lebih nyaman jika diresapi oleh rasa.” jawab Airi, tak kalah lembut.
Ryuka mencoba memahami makna dari kalimat itu, lalu mengikutinya melepas alas kaki untuk menikmati air yang menyentuh sel kulitnya, matanya terpejam, merasakan hembusan angin yang bahkan mampu menembus maskernya.
Tanpa sadar, air matanya mengalir, meresapi setiap suara alam yang berbisik, memberikan berbagai kisah tentang mereka.
Ombak bercerita akan ketenangan yang indah, jauh dari kedalaman laut. Sementara atmosfer bersenandung riang, melantunkan syair petualangannya menari bersama awan.
“Bagaimana? Sudah terasa?” tanya Airi tiba-tiba masih dalam mata terpejam.
Ryuka mengangguk, juga tanpa membuka matanya. “Hmmm..! Kisah mereka, menarik ya?” jawabnya singkat.
Tak ada lagi yang bersuara, mereka menikmati suasana dengan tenang hingga senja menjelang. Hanya terduduk di pasir, sembari menikmati indahnya penghujung hari.
Larut dalam lamunan masing-masing. Airi fokus memikirkan konsep karya yang akan ia lukis, sedangkan Ryuka secara tidak sadar kembali merancang lirik meski ia ingin keluar dari dunia musik.
Ryuka.. pria itu tidak benar-benar ingin meninggalkan musik. Sejujurnya, dia sangat mencintai musik. Namun bayang-bayang akan insiden itu, terus menghantui dan mengunci pintu hati.
Ia tersadar dan sedikit berharap, meski tak mudah dan membutuhkan waktu lama, Airi mampu menariknya kembali pada musik yang ia cintai.
Disisinya, Airi menggenggam pasir, membiarkan ia mengalir diantara jemarinya. Ada sesuatu yang juga mengalir dalam dirinya, sesuatu yang jauh lebih besar dari rasa takutnya kehilangan Ryuka dan tempat untuk tinggal.
Sesuatu yang juga lebih besar dari tanggung jawabnya menepati janji untuk terus bersama bintangnya yang sedang redup. Namun bisikan angin yang mendorong ketulusan hatinya, untuk mengembalikan sinar sang bintang.