Saraswati Anjani, gadis dua puluh dua tahun itu hidupnya mendadak berubah setelah menemukan bayi di semak-semak sekitar indekosnya.
bayi yang dia beri nama Langit itu perlahan tapi pasti merubah hidupnya yang semula selalu sial menjadi sangat beruntung.
mulai dari pekeejaan baru, lingkungan baru bahkan kisah cinta yang baru. temukan kisah lucu dan serunya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erin FY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan
Tanpa terasa aku pun menyeka air mata melihat pertemuan mengharukan antara ayah dan anak itu. Dini yang sedari tadi ngoceh dengan banyak pertanyaan pun langsung terdiam melihat adegan yang tak kalah haru dari sinetron ikan terbang.
"Pantes Langit cakep bener, Bibitnya bukan cuma unggul, tapi sudah masuk kualitas super," celoteh Dini tanpa aku pedulikan. "Mendadak pingin jadi emaknya Langit," lanjutnya lagi yang membuatku spontan menoleh ke arahnya.
"Jangan macam-macam! Aku sudah daftar duluan buat itu," ancamku sembari memberi pelototan tajam pada Dini.
"Iish ... maruk bener, katanya kamu cinta mati sama Alvin? Sudah sama Alvin aja, yang ini buat aku!" protesnya lagi.
"Tergantung keadaan dulu, kalau yang ini kagak mau sama aku, baru balik ke Alvin," jawabku yang langsung mendapatkan gerutuan dari Dini. Belum sempat gadis itu melanjutkan ngocehnya, Damar sudah datang mendekat.
"Terima kasih, Ras. Terima kasih. Aku gak tau apa jadinya anakku jika tidak bertemu denganmu," ucap Damar seraya menundukkan kepala berkali-kali.
"Sama-sama, Mas. Langit juga anak pinter, dia jarang sekali rewel. Eh, maaf, aku harus memanggilnya apa?" tanyaku sembari memegang tangan Langit.
"Namanya Bintang. Tapi kamu boleh memanggil dengan sebutan apapun yang kamu suka. Bila perlu, aku akan mengganti namanya sesuai dengan pemberianmu, sebagai bentuk rasa terima kasih untukmu," jawabnya dengan mendekap sekali lagi Langit dalam pelukannya. Lelaki itu seolah ingin melepaskan semua rasa rindunya pada putra kesayangannya itu.
"Ah, jangan, Mas. Kemarin kuberi dia nama Langit karena aku merasa memang langit sengaja mengirimkannya untukku."
"Tak apa, Bintang atau Langit bukankah sama-sama benda angkasa? Mulai sekarang namanya adalah Langit," jelas Mas Damar yang hanya bisa kuangguki.
"Sebenarnya tak perlu seperti ini, tapi jika itu maumu, terima kasih sudah menyukai nama pemberianku," jawabku yang lagi-lagi sok bijak.
Dini yang sedari tadi menyenggolku sengaja tak kupedulikan. Dia begitu agar aku mau mengenalkannya pada Mas Damar. Pura-pura cuek saja, ah, biar makin keki itu bocah.
"Masalah orang-orang yang sedang mengawasi kalian, aku sudah menghubungi polisi. Akan kupastikan kamu aman dan tak akan ada sangkut pautnya dengan ini. Aku tahu bagaimana sifat Darwin, jadi datamu tetap aku sembunyikan," ujar Mas Damar panjang lebar. Mungkin memang begini kinerja orang kaya, satu kali telepon, semua aman terkendali. Gusti ... aku pingin jadi nyonya muda, kabulin dong.
"Tapi sebenarnya apa hubungan kalian? Kenapa sampai nyawa Langit jadi taruhan?" tanyaku yang masih penasaran.
"Sejak dulu kami bersaing dalam bisnis. Saat istriku meninggal, aku ikut hancur. Perusahaan tak berjalan sebagaimana mestinya. Beberapa tender yang kami perebutkan akhirnya bisa dia menangkan dengan mudah." Terlihat Damar menghela napas sejenak.
"Namun akhirnya aku sadar, tak mungkin selamanya seperti ini. Aku punya anak yang harus kuhidupi. Aku kembali bangkit dan memenangkan beberapa tender lain, mungkin itulah yang membuat Darwin marah sehingga berpikiran menculik anakku dan membuatku hancur untuk yang kedua kali," urai Mas Damar yang diakhiri dengan hembusan napas panjang.
Apakah semua orang kaya memang seperti ini? Mengabaikan nyawa demi kekuasaan dan materi? Bahkan anak seusia Langit yang duduk sendiri aja belum bisa sudah harus terseret di dalammya.
"Tapi kalau mereka menculik Langit, lantas kenapa mereka meninggalkannya begitu saja di semak-semak sana?" tanyaku lagi. Entah kenapa aku penasaran untuk mengetahui lebih detail.
"Itu yang tidak aku tahu. Setelah mereka tertangkap aku akan cari tahu jawabannya." Aku mengangguk mendengar penjelasannya.
"Jadi, apa yang bisa kuberikan sebagai ucapan terima kasih?" tanyanya lagi yang membuat mataku berbinar. Terlihat Dini juga tersenyum melihat ke arahku.
Jadikan aku ibunya Langit, Mas. Aku janji akan selalu menyayangimu dan Langit tentunya. Aku akan menjadi istri dan ibu yang baik. Aah ... andai saja aku bisa berkata seperti itu.
"Sebelumnya kenalkan dulu ini Dini, Mas. Teman yang selama ini membantuku merawat Langit." Damar mengangguk sembari tersenyum melihat Dini, dan tentu saja Dini tak buang-buang waktu membalas senyumannya.
"Aku sudah terlanjur menyayangi Langit, Mas. Aku hanya minta ijin agar bisa menjenguknya," ucapku berlagak sok alim.
"Tentu saja. Kamu bisa mengunjunginya kapan pun kamu mau," jawab Damar sembari mengeluarkan sesuatu dalam dompetnya.
"Ini kartu namaku. Kamu dan Dini datanglah ke kantorku besok," katanya dengan memberikan selembar kartu nama.
"Tapi buat apa, Mas?" tanya Dini mendahuluiku.
"Datang saja, aku ingin memberikan ucapan terima kasih."
Mas Damar pun berdiri dan hendak pamit. Aku sendiri harus kembali ke toko karena berjanji pada Heru akan kembali. Sebelum Damar pergi, aku sempatkan sebentar mencium bayi lucu itu. Tanpa terasa air mataku menetes lagi, aah ... ternyata aku benar-benar telah jatuh cinta pada Langit.
Dini memegang erat bahuku mencoba menenangkan saat Mas Damar tak lagi terlihat di luar gerbang. Walaupun hanya sebentar, tapi banyak kenangan yang telah kami lalui bersama.
"Jangan lebay sampai nangis-nangis begitu. Kamu nangisin Langit apa bapaknya?" ledek Dini sembari pergi kembali ke kamarnya. Dasar bocah semprul!
Sebelum kembali ke toko, aku lebih dulu menambah make up di wajah. Jangan sampai Heru tahu aku baru saja menangis, bisa jadi bulan-bulanannya aku.
Aku kembali ke toko dengan perasaan berbeda. Biasanya jika aku mengajak Langit, kami akan bercanda sepanjang perjalanan. Menggendongnya hingga ia tertidur pulas. Belum sehari saja, aku sudah teramat merindukannya.
Entah kenapa waktu terasa begitu lama. Toko yang sepi membuatku makin mengingat Langit. Kubuka galeri foto pada handphone, beberapa foto selfiku bersama Langit tertampang di sana. Ada saat dia tertidur, ada pula saat dia tersenyum menghadap kamera. Kami benar-benar seperti ibu dan anak dalam foto itu. Andai saja bareng bapaknya pula, pasti lebih sempurna fotonya.
"Ehem ... melamun aja, sampai gak tau ada customer," sapa seseorang yang membuatku melonjak kaget.
"Alvin? Ngapain di sini? Sudah lama?" tanyaku bertubi-tubi.
"Cukup lama untuk melihatmu melamun."
"Maaf. Ada yang bisa dibantu?" tanyaku gugup.
"Aku cuma mau menawari pulang bareng. Kebetulan tadi aku melihatmu belum pulang, jadi aku mampir." Wow ... Alvin sengaja mampir buat nawarin pulang bareng? Keberuntungan macam apa ini, Gusti?
"Ah, benarkah? Memang ini sudah waktunya pulang?" tanyaku seperti orang ****.
"Lihatlah, kamu bahkan tak sadar ini jam berapa?" ucap Alvin yang spontan membuatku melihat jam dinding. Benar, ternyata ini sudah jam empat lebih. Padahal Ratna juga sudah datang. Langit, kamu benar-benar memecahkan konsentrasiku, Nak.
Tak enak jika Alvin menunggu lama, aku bergegas siap-siap untuk pulang. Kesempatan emas seperti ini tak boleh disia-siakan begitu saja. Entah Damar atau Alvin yang menjadi tempat berlabuhku nanti, terseralah asalkan salah satu diantara mereka. Serakah? Bodo amat. Emangnya salah jika aku ingin merubah bentuk keturunan menjadi lebih baik?