7 Jiwa yang dipertemukan dan bahkan tinggal di satu atap yang sama, Asrama Dreamer.
Namun, siapa sangka jika pertemuan itu justru membuat mereka mengetahui fakta yang tak pernah ketujuhnya sangka sebelumnya?.
hal apa itu? ikuti cerita mereka di What Dorm Is This
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raaquenzyy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11 (Tetap tinggal)
Kini ketujuhnya tengah berkumpul di ruang tamu, dengan berbagai camilan dan minuman yang tergeletak di atas meja makan. Ketujuhnya berusaha untuk kembali menenangkan diri.
"Bang, gue denger dari Nando kalau kalian ketemu sama yang punya asrama? Kenapa kita nggak kesana terus pinjam handphone nya gitu? Atau engga pasti dia punya telepon rumah kan?" Marvel menggeleng mendengar ucapan Hanif.
"Dia ga punya handphone sama sekali, kalau telepon rumah katanya rusak. Tapi kayaknya ga buruk kalau kita turun ke sana buat cari sinyal? Siapa tau emang sinyal di asrama jelek aja." usul Marvel diberi anggukan yang lain.
"Tapi kayaknya jangan semua deh kesana bang, gue ngerasa bakal susah lari kalau banyak yang turun." ujar Reihan, keenamnya mengernyit.
"Kenapa harus lari bang? Emangnya bakal ada apa?" tanya Aji kebingungan.
"Enggak, maksud gue tuh siapa tau di bawah kita ngelihat makhluk lagi terus kalau lari pasti bakal ada yang ketinggalan jadi mending yang turun dua sampai tiga anak aja gitu." jawabnya.
"Yaudah, gue turun sama Hanif. Deal? Di antara yang turun asrama sama yang ada di asrama harus ada yang punya tenaga gede. Kita nggak tau bakal kejadian apa nantinya." semuanya mengangguk, ucapan Noah ada benarnya juga.
"Kalian hati - hati. Jangan sampe luka waktu kembali, ya?" lirih Cakra.
Noah tersenyum tulis lalu memberikan pelukan pada teman sekaligus adiknya ini. "Janji, tenang aja ya? Gue juga janji bakal selidiki Kematian kakak lo, jangan khawatir ya?" Cakra mengangguk, dengan air mata menetes dari pelupuk matanya.
"Cak, emang susah ngelupain orang yang kita cari ternyata udah meninggal. Gue paham kok, tapi tenang aja ya? Kita akan ungkap kematian kakak lo." tambah Hanif.
Setelahnya Noah maupun Hanif pun turun dengan berbekal harapan jika di sana mereka akan mendapatkan sinyal agar mereka dapat menelepon orang tua jika mereka ingin pulang.
Saat turun perasaan keduanya tak begitu takut, karena ternyata masih ada beberapa orang di lantai dasar. Namun perasaan was-was masih ada karena beberapa orang ada yang menatap mereka nyalang, ada yang memelototi mereka, ada yang menatap dengan mata melotot dan mulut tersenyum. Itu semua nampak menyeramkan bagi mereka, bahkan karena tidak terlalu fokus Hanif hampir saja jatuh terpeleset.
"Nif, fokus. Jangan diliatin kalau emang takut, kita fokus ke tujuan utama kita, oke?" Pria berkulit Tan itu mengangguk, berusaha menghindari kontak mata dengan beberapa orang disana.
Begitu sampai di gerbang depan, di sinilah perasaan takut mulai menghampiri diri mereka. Sekeliling mereka benar - benar sepi bahkan suara jangkrik saya terdengar begitu jelas memasuki indera pendengaran mereka. Atensi mereka terfokus pada salah satu rumah di dekat asrama, lampunya menyala. Mungkin itu adalah rumah pak Danu.
Lantas keduanya mendekat dengan sesekali berusaha memberikan pesan pada teman mereka yang di rumah untuk sekedar mengecek apakah di sini ada sinyal.
"Sialan!" umpat Noah saat tetap tak mendapatkan sinyal di sini, pemuda itu hampir saja membanting handphone nya sendiri jika saja Hanif tak mengingatkan untuk tidak berbuat gegabah.
"No, kita balik asrama aja gimana? Percuma juga kalau harus dateng ke rumah orang yang punya asrama, orang dia aja ga punya handphone. Segala telepon rumahnya juga rusak lagi." Noah mengangguk, menghampiri pak Danu mungkin sebuah ide buruk.
Langkah keduanya terhenti saat mendengar suara barang berjatuhan dan teriakan seorang pria, tubuh keduanya bergetar takut jika yang mereka dengar adalah makhluk.
"Nif, suaranya dari rumah itu. kita. liat ada apa di sana."
"Ngapain anjir? Jangan dah bahaya, mending langsung balik aja." Hanif sungguh ingin sekali memukul kepala pria di sampingnya ini. Pria itu begitu bebal dengan memutuskan untuk pergi.
"KENAPA KALIAN TERUS MENGGANGGU SAYA? KENAPA?!! SAYA MEMANG BERSALAH DENGAN TIDAK MENELEPON POLISI HARI ITU, TAPI ITU KARENA SAYA KETAKUTAN! TOLONG ... JANGAN GANGGU MEREKA SEMUA DAN TOLONG MENGHILANG DARI PIKIRAN SAYA. KALAU SAJA SAYA TAU ALASAN KEMATIAN KALIAN ADA PADA ANAK - ANAK ITU PASTI SAYA TIDAK AKAN MENERIMA MEREKA DI ASRAMA INI. TOLONG HENTIKAN SEMUA INI." Teriakan itu terdengar begitu lantang dari bibir pak Danu, keduanya mengernyit. Anak - Anak? Siapa maksudnya? Apakah mereka, atau ada anak lain di asrama itu.
"DAN JUGA KAU, CHANDRA. ADA ADIKMU DI SANA, CAKRA ALBARA NANDARA, APA KAU TEGA UNTUK MELUKAI TEMAN - TEMAN ADIKMU?" Teriakan itu berhasil membuat keduanya melotot, itu berarti benar adanya jika yang dimaksud pak Danu adalah mereka.
Kini hanya suara tangis yang dapat mereka dengar dari lelaki paruh baya itu, keduanya saling tatap. Jujur keduanya masih merasa bingung tentang kenapa pak Danu bicara seperti itu.
"Kita balik asrama sekarang, bilang sama yang lain jangan temuin pak Danu. Beliau kayaknya lagi kacau, bisa bahaya kalau kita deketin dia." Hanif mengangguk.
Dengan langkah perlahan keduanya memasuki asrama, mereka sama sekali tidak mempedulikan beberapa orang yang menatap mereka dengan tatapan yang sama saat mereka turun.
Begitu sampai, pandangan mereka tertuju ada kelima teman yang kini juga menatap ke arah pintu tepat mereka berdiri. Tatapan mereka penuh harap, membuat hati keduanya kelu.
"Gimana? Dapet sinyal?" tanya Nando antusias.
Tatapan antusias mereka hilang begitu mendapat gelengan dari Noah dan Hanif. Helaan nafas terdengar membuat keduanya merasa bersalah meskipun sebenarnya bukan salah mereka karena tidak mendapatkan sinyal.
"Nggak pa-pa, kita coba cara lain ya?" usul Marvel dengan senyum hangat yang sengaja ia tampilkan.
"Cak, nama abang lo Chandra, kan ya?" Pertanyaan tiba - tiba dari Hanif membuat kening Cakra mengernyit namun pria itu tetap membalas dengan anggukan.
"Tadi kita liat pak Danu, bang. Dia teriak - teriak bilang kalau memang dia salah karena nggak telepon polisi pada saat itu. Terus dia juga bilang alasan kematian 'mereka' ada di anak - anak itu. Segitu doang yang gue inget." ucap Noah.
"Anak - anak itu? Siapa maksudnya?" tanya yang lebih tua kebingungan.
"Awalnya kita emang mikir mungkin anak di lantai lain tapi begitu dia nyebut nama Chandra gue jadi mikir kalau kayaknya yang dia maksud itu kita. Soalnya dia juga bilang 'Apa kamu tega melukai teman adikmu sendiri' begitu lah kurang lebih" lanjut Hanif sembari mempraktikkan apa yang dilakukannya oleh pan Danu tadi.
"Kalau itu berarti emang jelas mengarah ke kita nggak sih? Tapi kenapa dia bilang kalau alasan kematian 'mereka' karena kita? Terus 'mereka' itu siapa?" tanya Nando.
"Kayaknya makhluk, soalnya waktu kita liat pak Danu begitu nggak ada siapa - siapa di sana." jawab Noah, kelima temannya yang lain kembali mengernyit.
"Jadi, pak Danu juga diganggu gitu? Terus kita sekarang mau minta tolong sama siapa? Kalau orang yang nolongin kita tadi aja ternyata juga kena ganggu." lirih Aji.
"Hei, ayo jangan putus asa dulu. Kayaknya masalah makhluk ini nggak akan selesai kalau kunci masalahnya nggak di temuin. Dan kalian pasti paham kuncinya ada di siapa, jelas dari semua cerita Noah sama Hanif kalau ada sesuatu yang buat mereka marah sama kita. Entah itu karena keluarga kita atau emang karena perbuatan kita sendiri, gue nggak mau kalau ada orang yang juga ngalamin hal yang sama kayak kita setelah kita lolos dari sini." tutur Marvel.
"Jadi ... Ayo tetap bertahan beberapa minggu untuk kita buktiin ke 'makhluk' kalau kita nggak salah, dan beberapa orang nggak seharusnya diganggu sama mereka." lanjutnya.
Keenamnya mengangguk, ada benarnya juga. Mungkin memang mereka harus menetap di sini selama beberapa saat, ya. hanya beberapa saat.