Masih saling sayang, masih saling cinta, namun terpaksa harus berpisah karena ego dan desakan dari orang tua. Ternyata, kata cinta yang sering terucap menjadi sia-sia, tak mampu menahan badai perceraian yang menghantam keras.
Apalagi kehadiran Elana, buah hati mereka seolah menjadi pengikat hati yang kuat, membuat mereka tidak bisa saling melepaskan.
Dan di tengah badai itu, Elvano harus menghadapi perjodohan yang diatur oleh orang tuanya, ancaman bagi cinta mereka yang masih membara.
Akankah cinta Lavanya dan Elvano bersatu kembali? Ataukah ego dan desakan orang tua akan memisahkan mereka dan merelakan perasaan cinta mereka terkubur selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jesslyn Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Life After Divorce
Vanya memilih membuka lembaran baru, hidup di tempat yang baru bersama putri kecilnya. Menyusun kepingan-kepingan hati yang hancur, memulai semua dari awal. Terkadang ia merasa rindu, merasa kehilangan. Terlebih lagi Elana sejak semalam selalu menanyakan ayahnya. Terbesit sedikit penyesalan, apa benar jika ia bisa sedikit lebih bersabar lagi Vanya akan mendapatkan hasil yang indah? Bukan tak ingin bertahan. Hanya saja Vanya sudah cukup lelah, mentalnya hancur, dia bahkan hampir gila dan sering kali konsultasi ke psikolog dan itu cukup membuatnya menderita.
"Mami, papi mana?" tanya Elana saat terbangun. Gadis cilik itu memindai seluruh ruangan mencari sosok sang ayah.
Vanya mengulas senyum sambil mengelus rambut putri kecilnya, tak menyangka bahwa putri kecilnya itu akan menjadi korban perceraian dan keegoisan orangtuanya. Senyum putri kecilnya masih terpatri di benak Vanya, sementara realita pahit perceraian mulai menghantui mereka. "Nak.. Papi sedang tugas di luar kota, kemungkinan akan lama," jawab Vanya ragu.
"Elana mau telpon papi boleh?" tanya gadis kecil itu penuh harap.
"Nanti ya sayang. Papi pasti sekarang sedang sibuk meeting," kilah Vanya memalingkan wajahnya, tak sanggup menatap mata Elana yang penuh harap.
Seketika raut wajah Elana berubah kecewa. Elana di usianya yang masih sangat dini memang sangat ekspresif dan juga pandai berbicara.
"Kita sarapan dulu ya sayang, oma sudah masak makanan kesukaan Elana." Vanya mengalihkan pembicaraan agar Elana tidak lagi menanyakan tentang Vano.
"Iya mami." Jawab Elana patuh.
Memang benar cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Sosok ayah memberikan pelukan hangat, memberikan rasa aman, serta cinta yang tak tergantikan. Mengingat hal itu Vanya menjadi rindu pada ayahnya yang telah kembali pada sang pencipta.
Setelah selesai sarapan tak lupa Vanya mencuci piring. Sekelebat kenangan tentang Vano muncul, biasanya Vano selalu memeluknya dari belakang ketika ia mencuci piring maupun memasak. Tak jarang Vano selalu menggoda dan mengajak bercinta di manapun dalam keadaan apapun. Mereka memang sengaja tak memakai jasa ART agar lebih leluasa, hanya ada pengasuh Elana itupun tidak menginap dan hanya menjaga Elana dari pagi hingga sore saja.
"Vanya apa gak sebaiknya kamu tinggal di sini saja? Kamu kan harus kerja. Mama bisa bantu jaga Elana." ucap mama Herlina membuyarkan lamunan Vanya.
"Tidak apa-apa Ma, Vanya gak enak sama pak Hartono dan anak-anaknya kalau harus tinggal di sini. Lagian Vanya sudah siap menanggung semua konsekuensi dan memikirkan matang-matang sebelum Vanya menggugat cerai Vano." Vanya meyakinkan mama Herlina.
Pak Hartono memanglah ayah tiri dari Vanya, Sehingga Vanya merasa sungkan jika harus merepotkan terlebih ada dua anak pak Hartono lainnya yang juga tinggal di rumah ini. Walaupun mereka bersikap baik pada Vanya maupun Elana.
Mama Herlina mengelus lengan Vanya sambil menguatkan putri tunggalnya itu. "Ya sudah, kalau itu sudah jadi keputusan kamu. Mama cuma bisa dukung,"
"Makasih ya ma," memegang tangan mama Herlina, meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja.
-
-
Sementara itu suasana di rumah Vano cukup riuh, Semua itu karena ulah Vano semalam. Vano mabuk sampai tak sadarkan diri, beruntung semalam Kirana adik bungsunya menyusul ke rumah untuk mengecek keadaan Vano. Karena khawatir Vano tak ada kabar setelah sidang perceraiannya usai.
"Vano, kali ini kamu harus nurut apa kata mama! Ini alasan mama tidak pernah merestui kamu dan Vanya. Vanya Itu bukan wanita baik-baik. Dia itu egois dan angkuh. Bahkan setelah menikah dan menjadi ibu dia tidak mau meninggalkan pekerjaan nya. Dia pikir kamu gak mampu apa nafkahi dia? Mama mau menantu yang penurut bukan pembangkang seperti Vanya, pokoknya mama mau kamu nikah sama Bella."
"Maa.. Kak Vano bahkan baru sehari bercerai, mama sudah membicarakan pernikahan saja," selah Kirana, menurutnya kali ini mama nya nya memang sudah keterlaluan.
"Diam kamu! Mama gak bicara sama kamu," bentak mama Erika mengacungkan telunjuknya tepat di wajah Kirana.
Vano tak tahan dengan perdebatan dua wanita di hadapannya yang membuatnya semakin pusing. "Vano masih pusing, kalau mama kesini hanya untuk marah, maaf lebih baik mama pulang saja." secara tidak langsung Vano mengusir ibunya.
"Jangan kurang ajar ya kamu Vano!" bentak mama Erika tidak terima atas sikap Vano yang dianggapnya tidak sopan.
"Ma.. Kondisi Kak Vano masih belum stabil, jadi percuma mama bicara pasti kak Vano gak mau dengar. Setidaknya tunggu beberapa hari lagi baru mama bicara. Sekarang biarkan Kak Vano menenangkan diri." Kirana mengalah, nada bicaranya pun kini melemah, dia berusaha membujuk sang mama. Kirana tahu Vano sangat mencintai Vanya terlebih mereka terpaksa harus bercerai pastilah keputusan ini cukup membuat Vano terluka.
"Kamu sama saja seperti kakak-kakakmu yang lain Kirana. Punya anak tiga, semua pembangkang." mama Erika pergi Dengan menghentakkan kakinya sambil terus mengomel karena kesal kepada anak-anaknya yang sering membuatnya pusing itu.
"Ya sudah kakak istirahat saja. Biar Kirana yang bujuk mama." ucap Kirana menyusul mama Erika.
Keheningan setelah kepergian Kirana dan juga mama Erika seakan menenggelamkan Vano pada kerinduannya terhadap Vanya dan Elana. Kamar yang biasanya di penuhi suara dan tawa kini menjadi sunyi senyap.
"Vanya, Elana... Aku rindu kalian" Gumamnya dengan tatapan kosong.
-
-
Vanya Hari ini berencana akan langsung pindah ke apartemen peninggalan almarhum ayahnya. Vanya memiliki beberapa aset seperti beberapa bidang tanah, sebuah rumah dan satu unit apartemen peninggalan sang Ayah. lama setelah kepergian sang ayah, akhirnya mama Herlina memutuskan untuk menikah lagi dengan pak Hartono. Namun, ia tak mengambil sedikitpun harta peninggalan Almarhum suaminya dan ia menyerahkan semua harta itu kepada putri tunggal mereka.
"Mami, kenapa kita pindah rumah sih? papi nanti bakal tinggal di sini juga kan?" tanya Elana polos saat memasuki pintu apartemen.
Vanya berjongkok di hadapan putrinya, menatap mata Elana dalam-dalam. "Sayang... Elana kan sebentar lagi sekolah, dan apartemen ini dekat dengan sekolah El nantinya. Jadi kita tinggal di sini memudahkan Elana berangkat ke sekolah. Sus Tari kan tidak bisa nyetir mobil sayang," Vanya sebisa mungkin memberi pengertian pada Elana.
Elana masih terus merengek, ia merasa tidak puas dengan jawaban yang Vanya berikan. "Tapi papi ikut pindah juga kan?"
Vanya hanya terdiam, entah ia harus menjawab apa. dalam hatinya Vanya juga tak tega jika harus terus-menerus membohongi putri kesayangannya itu. Sekali berbohong pasti akan di tutupi dengan kebohongan yang lainnnya.
"Nanti kita bicarakan lagi ya sayang, sekarang kita susun barang-barang kesayangan Elana ini dikamar baru," Vanya mengajak Elana untuk melihat kamar yang akan di tempati Elana nantinya.
"Waah.. Kamarnya bagus sekali mami, Elana suka," Elana cukup terkesan dengan dekorasi kamar barunya yang di dominasi warna pink dan putih itu. Meski kamar itu di renovasi mendadak, hanya dalam waktu kurang dari seminggu tapi pengerjaannya sudah selesai. Bahkan Vanya sendiri pun belum sempat melihatnya.
"Syukurlah kalau Elana suka,"
"Terimakasih ya mami," Elana memeluk erat Vanya.
***
Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komen...
lari vanya.. lari.... larilah yg jauh dr vano n org2 di sekitaran vano pd gila semua mereka