 
                            Alia adalah gadis sederhana yang hidup bersama ibu kandungnya. Ia terjebak dalam kondisi putus asa saat ibunya jatuh koma dan membutuhkan operasi seharga 140 juta rupiah.
Di tengah keputusasaan itu, Mery, sang kakak tiri, menawarkan jalan keluar:
"Kalau kamu nggak ada uang buat operasi ibu, dia bakal mati di jalanan... Gantikan aku tidur dengan pria kaya itu. Aku kasih kamu 140 juta. Deal?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alesha Aqira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 MSUM
Diego berlari menyusuri lorong hotel, napasnya berat tapi langkahnya tak melambat sedikit pun. Tangannya menggenggam earpiece di telinganya, berharap suara Leonardo kembali terdengar. Tapi yang ia dapatkan hanya sunyi... dan statik.
"Tuan... Tuan Leonard, jawab saya. Di mana Anda sekarang?"
Tidak ada balasan.
Matanya bergerak cepat menelusuri sekitar. Lorong itu remang, dan hanya lampu darurat yang menyala. Ia menemukan sesuatu di dekat dinding—sepotong sapu tangan dengan inisial "L.D." dan satu kancing jas yang terlepas.
"Ini milik Tuan..." gumamnya, semakin cemas.
Ia segera menuju ke arah deretan kamar terdekat. Semua tampak tertutup.
"Tapi... di mana, Tuan?" tanya Diego dengan suara yang mulai bergetar, mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi kemungkinan terburuk.
Ia berdiri di depan kamar 1703, tatapannya tak lepas dari celah kecil di pintu. Tak ada suara dari dalam. Tak ada gerakan. Tapi sistem pelacak menunjukkan—Leonard ada di dalam sana.
Diego mengangkat tangan, hendak mengetuk, tapi ragu. Akhirnya Diego memutuskan untuk menunggu kabar dari tuannya dan meninggalkan hotel itu.
Sementara itu Leonardo jatuh tertidur tak lama setelah malam itu berakhir. Nafasnya mulai teratur, keringat dingin membasahi pelipisnya, dan efek obat perlahan-lahan memudar. Ia tak tahu apa yang baru saja terjadi sepenuhnya—semuanya seperti mimpi kabur yang bercampur antara kenyataan dan ilusi. Dalam tidurnya, tubuhnya tenang, tapi pikirannya masih terperangkap dalam kekosongan gelap.
Alia duduk di sisi ranjang, mengenakan kembali gaun sutranya yang sedikit kusut. Matanya menatap kosong ke tubuh lelaki asing yang tertidur di hadapannya—lelaki yang tidak ia kenal, namun kini menyimpan bagian dari dirinya.
Tangannya gemetar saat meraih tas kecil di meja. Ia menghela napas panjang, mencoba menahan air mata. Ini bukan pertama kalinya ia merasa hancur, tapi ini... berbeda. Kali ini, ia menyerahkan dirinya bukan karena cinta, melainkan karena terpaksa.
Namun ia tak bisa berhenti memikirkan satu hal: Ibu.
"Ibu harus hidup..." bisiknya pelan, sebagai mantra penguat.
Alia meninggalkan kamar 1703 dengan langkah cepat namun hati-hati. Ia tak ingin bertemu siapa pun. Ia menyusuri lorong sepi hotel dengan dada sesak, menahan air mata agar tak tumpah sebelum waktunya.
Di lobi hotel, seorang wanita sudah menunggunya. dengan senyum datar yang penuh sinis. Mery, kakak tirinya.
"Sudah selesai?" tanyanya, datar dan tanpa empati.
Alia hanya mengangguk pelan, tak sanggup bicara. Mery mengangguk, lalu menyodorkan amplop besar.
"Seratus lima puluh juta. Seperti yang dijanjikan. Aku udah transfer sisanya ke rekeningmu."
Aliaa menerima amplop itu dengan tangan gemetar.
Alia menunduk. Dadanya sakit bukan karena lelah, tapi karena merasa dirinya baru saja mengkhianati dirinya sendiri. Tapi satu hal ia tahu pasti: ia harus menyelamatkan ibunya. Apa pun harganya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia pergi, meninggalkan hotel, membawa rasa hampa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Dia benar-benar bukan level-ku... tidur dengan pria yang nyaris enam puluh lima tahun bikin mual saja," ucap Mery dengan nada sinis sambil melirik ke arah lift yang baru saja menutup.
"Cuma orang seperti Alia yang pantas tidur dengannya," lanjutnya, matanya menyipit penuh ejekan.
Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada staf hotel yang memperhatikan, lalu dengan cepat menaiki lift dan menuju lantai delapan belas—tempat kamar 1703 berada.
Langkahnya ringan, licik. Ia tahu persis bahwa Alia sudah keluar kamar tak lama sebelumnya.
Sesampainya di kamar, ia membuka pintu yang belum terkunci, masuk pelan, dan melihat pria itu masih tertidur di ranjang. Wajahnya tenang dalam tidur, dada naik-turun perlahan.
Mery tersenyum kecil dan berbisik, "Lelaki tua kaya... kau milikku sekarang."
Ia pun merebahkan diri di samping pria itu, memperbaiki posisi selimut, dan menyandarkan kepala di lengan lelaki itu seolah mereka baru saja berbagi malam penuh gairah. Ia tak peduli siapa dia sebenarnya—yang penting, ia akan mengaku sebagai perempuan yang tidur dengannya semalam.
Namun saat pria itu mulai menggeliat dan menghadap kearahnya... senyuman puas Mery langsung memudar.
Pria itu... Dewasa. Tampan. Karismatik.
Matanya tajam, rahangnya tegas, dan sorot tatapannya—meski masih lelah—penuh wibawa. Ini bukan pria tua yang berjanji bertemu dengannya. Bukan pria pengusaha uzur yang katanya pengin "memanjakan wanita muda".
Ini... jauh dari yang ia duga.
"Siapa kamu?" tanya pria itu, suaranya serak namun penuh kendali.
Mery tercekat. Tapi refleks aktingnya bekerja cepat.
"Aku... wanita yang bersamamu semalam," jawabnya dengan suara manja dan senyum terpaksa.
Leonardo menyipitkan mata, mencoba mengingat. Tapi wajah ini… tidak familiar. Tidak ada koneksi, tidak ada getaran seperti saat ia menyentuh gadis semalam.
"Aku rasa... bukan kamu," ucap Leonardo tajam, sambil bangkit duduk.
Mery mulai panik. "Apa maksudmu? Kita habiskan malam bersama, kamu lupa ya? Mungkin kamu... terlalu mabuk semalam?"
Namun Leonardo menatapnya dalam-dalam, lalu berdiri dan mengambil jasnya. Ia tak mengatakan sepatah kata pun. Gerakannya tenang, tapi penuh tekanan—seperti badai yang menahan diri untuk tidak meledak.
Sebelum melangkah keluar dari kamar, ia merogoh saku dalam jasnya, mengambil selembar kartu nama berwarna hitam dengan tinta timbul keperakan.
Tanpa memandang lagi, Leonardo melemparkan kartu nama itu ke atas meja kecil di sisi tempat tidur. Kartu itu melayang sebentar sebelum jatuh dengan bunyi tap yang nyaris tak terdengar—namun cukup untuk membuat Mery membeku.
Tanpa sepatah kata, Leonardo membuka pintu dan melangkah keluar.
Mery segera bangkit, meraih kartu itu dengan cepat. Matanya membesar saat membaca nama yang tertera:
Leonardo Dirgantara
CEO Dirgantara Global Holdings
Nomor pribadi dan email tertera di bawah dengan kode keamanan eksklusif.
Mulut Mery menganga pelan.
“CEO? Astaga... Jadi Alia ngga sengaja tidur sama dia ,” gumamnya. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut—tapi karena keserakahan yang tiba-tiba meningkat.
Namun dalam waktu yang sama... ia sadar, ia telah salah langkah. Bukan ia yang tidur dengan Leonardo.
Dan jika pria seperti itu ingin tahu siapa gadis sebenarnya… maka cepat atau lambat, kebohongannya akan terbongkar.
Sementara itu, Leonardo berdiri di depan lift, wajahnya muram, pikirannya kalut.
Siapa kamu sebenarnya? pikirnya, teringat pada wangi rambut, suara napas, dan kehangatan malam itu. Gadis itu bukan yang bersandiwara tadi. Dia ingat betul walaupun dalam keadaan mabuk tapi ada sedikit bayangan samar tentang gadis itu telah meninggalkan jejak terlalu dalam.
Akhirnya, Leonardo pergi meninggalkan hotel dengan hati yang berkecamuk.
Langkahnya berat, tapi tegas. Di balik jas mahal dan sepatu mengilap, dadanya berdebar tak beraturan. Ia bukan pria yang mudah goyah, namun malam itu... ada yang mengusik dirinya lebih dari sekadar jebakan atau reputasi.
Di dalam mobil hitam yang menjemputnya, Leonardo duduk diam. Jari-jarinya menggenggam ponsel, menatap layar kosong tanpa tujuan. Ingatannya melayang pada malam yang samar—siluet gadis dalam gelap, sentuhan lembut, dan suara napas yang gugup namun jujur.
Itu bukan wanita tadi. Ia yakin.
"Aku harus tahu siapa dia," gumamnya pelan.
 
                     
                     
                    