NovelToon NovelToon
Sang Pianis Hujan

Sang Pianis Hujan

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Enemy to Lovers / Rebirth For Love / Idola sekolah / Tamat
Popularitas:600
Nilai: 5
Nama Author: Miss Anonimity

Namanya Freyanashifa Arunika, gadis SMA yang cerdas namun rapuh secara emosional. Ia sering duduk di dekat jendela kafe tua, mendengarkan seorang pianis jalanan bermain sambil hujan turun. Di setiap senja yang basah, Freya akan duduk sendirian di pojok kafe, menatap ke luar jendela. Di seberang jalan, seorang pianis tua bermain di bawah payung. Jemari hujan menari di kaca, menekan window seolah ikut bermain dalam melodi.

Freya jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Shani-seseorang yang tampak dewasa, tenang, dan selalu penuh pengertian. Namun, perasaan itu tak berjalan mulus. Shani tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan mereka.

Freya mengalami momen emosional saat kembali ke kafe itu. Hujan kembali turun, dan pianis tua memainkan lagu yang pelan, seperti Chopin-sebuah lagu perpisahan yang seolah menelanjangi luka hatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 2 : Ketika Angin Menyimpan Nama

Lorong sekolah siang itu dipenuhi suara langkah kaki, tawa, dan obrolan ringan para siswa yang baru saja keluar dari kelas. Cahaya matahari menembus jendela panjang di sisi kanan lorong, memantul di lantai keramik dan menciptakan kilau hangat yang kontras dengan udara dingin dari pendingin ruangan yang samar terdengar di langit-langit. Freya dan Zee berjalan berdampingan, menyusuri lorong itu dengan langkah pelan, seolah enggan terlalu cepat sampai ke kelas.

"Aku tuh pernah mikir, kalau semua orang di dunia ini punya satu rahasia kecil yang nggak bakal pernah bisa diceritain ke siapa pun," kata Zee, tiba-tiba saja, sembari memperhatikan seorang anak laki-laki berlari sambil tertawa bersama temannya. Mereka lewat di depan dua gadis itu, meninggalkan gema kebahagiaan yang menggantung di udara.

Freya tersenyum, ringan, lalu melirik temannya dari sudut mata. "Kalau begitu dunia ini isinya kumpulan rahasia yang saling jalan berdampingan?"

Zee mengangguk. "Dan kita cuma bisa nebak-nebak... kayak, siapa yang diam-diam suka siapa. Siapa yang suka menangis sebelum tidur. Atau... siapa yang lagi berusaha keras untuk kelihatan baik-baik saja."

Tawa pelan keluar dari mulut Freya, tulus tapi getir. "Kau sangat filosofis, Zee."

"Ya kali nggak. Masa hidup di SMA cuma buat mikirin PR sama ujian doang?"

Mereka tertawa bersama. Tawa yang tidak lepas, tapi cukup hangat untuk mengisi ruang kosong di antara mereka. Di sekitar mereka, anak-anak lain juga tertawa. Ada yang bercanda sambil bersandar di loker, ada yang sibuk mengobrol tentang rencana jalan-jalan akhir pekan. Suasana seperti itu seringkali dianggap biasa saja oleh kebanyakan orang. Tapi bagi Freya, suasana seperti ini-di mana waktu seakan berjalan pelan, dan semua orang tampak hidup dalam kebahagiaan singkat-adalah momen langka yang layak disimpan dalam ingatan. Seperti potongan film yang diam-diam ia simpan dalam folder kenangan.

Zee, masih dengan gaya santainya, menatap sekeliling lalu berbisik, "Kadang aku mikir, orang-orang yang ketawa keras di lorong ini, mungkin sebenarnya lagi berusaha nutupin sesuatu juga, ya?"

Freya menoleh perlahan, menatap wajah Zee yang kini tidak lagi bercanda. Ada kedewasaan kecil di balik matanya-matang oleh perasaan yang tidak banyak orang sadar.

"Mungkin," balas Freya pelan, "tapi aku senang mereka masih bisa tertawa."

Lorong terus mereka susuri. Bunyi langkah kaki mereka menyatu dengan suara sepatu anak-anak lain, saling bertaut. Sebuah kelompok siswa duduk di lantai dekat tangga, tertawa keras saat salah satu dari mereka mencoba menirukan gaya guru olahraga yang galak. Ada dua siswa perempuan yang sedang selfie dengan gaya lebay, sambil tertawa ngakak hingga terguling di dinding. Dan ada sepasang kekasih yang duduk tenang di ujung lorong, berbicara pelan dan sesekali saling pandang dengan mata yang berbinar.

"Kadang aku iri dengan mereka," gumam Freya, suaranya nyaris tenggelam di antara hiruk pikuk.

Zee melirik. "Pada siapa?"

"Pada mereka yang bisa tertawa tanpa takut... mencintai tanpa ragu..."

Zee tidak langsung menjawab. Ia hanya menggenggam lengan Freya, ringan tapi hangat. "Kalau waktunya udah pas, kamu juga bakal tertawa kayak mereka. Mungkin malah lebih keras dari siapa pun." Freya menatap sahabatnya itu dengan senyum kecil. Langkah Freya melambat saat mendekati lapangan sekolah.

Angin siang itu seolah menciptakan suasana melankolis, selayaknya dalam novel telenovela. Ada aroma sunyi yang berhembus. Pandangan Freya terpaku, ketika sosok Shani berjalan di pinggir lapangan. Satu dari jutaan manusia yang bisa menyihirnya-bukan dengan mantra, tapi dengan pesonanya.

Shani merupakan seorang pemuda perfeksionis. Dia tenang, pintar, elegan, dan juga terkadang filosofis. Cara bicaranya sering membuat orang terdiam, bukan karena bingung, tapi karena tiba-tiba ingin memahami hidup lebih dalam. Pemuda itu berjalan santai di sisi lapangan, langkah-langkahnya seolah tidak menyentuh tanah, namun mengalun seperti alur lagu yang lembut. Matanya mendongak ke atas, tapi bukan untuk menatap langit yang biru berawan, melainkan memperhatikan pepohonan rimbun yang tumbuh di sekitar lapangan. Dedaunan yang melambai ditiup angin. Ketika daun-daun berguguran satu per satu, suasana seolah menjadi sebuah film yang diberi efek slow motion-indah, melankolis, dan sinematik. Sebuah momen yang tak ingin dipercepat, bahkan jika waktu memaksanya.

Freya menyembunyikan dirinya di balik tanaman yang sengaja dibiarkan tumbuh di lorong. Daunnya menjuntai seperti tirai lembut yang memberi celah untuk mengintip. Rambut hitam panjang Freya ikut bergoyang pelan tertiup angin, berbaur dengan aroma tanah dan dedaunan kering. Ia hanya berdiri di sana, diam, membiarkan perasaannya mengalir-tanpa perlu kata, tanpa perlu penjelasan. Shani tidak tahu ia sedang diperhatikan. Tapi bagi Freya, melihatnya seperti ini saja sudah cukup membuat dadanya penuh. Karena kadang, cinta tidak butuh panggung untuk diucapkan. Cukup dengan satu sosok, satu langkah, dan satu senyum yang datang tanpa tahu ia sedang membuat seseorang jatuh.

Sedikit senyum tipis terangkat dari bibir gadis itu-senyum yang lahir dari sesuatu yang jauh lebih dalam, harapan kecil yang tumbuh di antara keraguan. Zee, yang sejak tadi memperhatikan arah pandang Freya, mendekat perlahan. Tanpa berkata apa-apa, ia menyandarkan dagunya pada bahu sahabatnya itu.

"Mau sampai kapan, Fre? Nanti diambil orang, loh..." bisiknya pelan, seperti rahasia yang dititipkan angin.

Freya tidak langsung menjawab. Matanya masih terpaku ke arah lapangan yang kini sepi, menyisakan bayangan langkah Shani yang telah menjauh. "Entah... aku masih bingung..." jawabnya akhirnya.

Zee menarik napas, lalu berbicara dengan nada yang tak lagi bercanda. "Dia juga sama sepertimu. Sudah menolak banyak gadis cantik. Harusnya kamu bisa mengerti, gadis seperti apa yang menjadi keinginannya. Sama seperti kamu juga sudah banyak menolak para siswa di sekolah ini."

Freya terdiam. Karena dalam hati, ia tahu, Zee benar. Ada pola di dunia ini yang sering tak terlihat kecuali oleh mereka yang diam. Shani dan dirinya seperti dua garis sejajar-tak saling memotong, tapi berjalan beriringan dalam kesendirian yang tak pernah dijelaskan. Mungkin bukan karena tidak ada yang pantas untuk mereka cintai, tapi karena mereka terlalu selektif untuk menyerahkan hatinya pada yang tak mampu mengerti kedalaman.

Zee menatapnya dengan pandangan yang dalam. Ia mengenal Freya bukan sebagai gadis centil yang sok kecantikan, bukan pula sosok yang haus perhatian. Ia mengenalnya sebagai gadis lembut dengan senyum semanis karamel-senyum yang tidak datang setiap hari, tapi ketika muncul, bisa menghangatkan seluruh ruang. Freya adalah gadis yang tampak rapuh dari luar, namun menyimpan kekuatan yang tak bisa dilihat sembarangan orang. Ia bisa menangis dalam diam, lalu kembali tersenyum seolah tak pernah ada air mata. Ia bisa menyukai seseorang dengan begitu dalam, tapi memilih menyembunyikan perasaannya agar tidak mengganggu kehidupan orang itu. Dan Zee tahu itu.

Dalam hati kecilnya, Zee mengakui Freya sebagai gadis termanis yang ada di sekolah ini. Bukan karena wajahnya, tapi karena cara ia memperlakukan orang lain. Jika saja ia terlahir sebagai laki-laki, mungkin ia pun akan jatuh cinta padanya. Dan bukan cinta yang main-main-tapi cinta yang penuh hormat, cinta yang ingin menjaga, bukan memiliki.

Namun kenyataannya, Zee adalah dirinya sekarang. Seorang sahabat. Seorang pengamat diam dari balik tirai tawa. Ia tidak bisa menggenggam tangan Freya seperti yang ia bayangkan, tapi setidaknya, ia bisa memastikan gadis itu tidak berjalan sendirian-meski hanya sebagai bayangan di sampingnya. Karena cinta tidak selalu harus menjadi milik. Kadang, cinta hanya perlu menjadi saksi-bahwa seseorang seindah Freya pernah ada dalam kehidupan ini.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!