Tumbuh dewasa di bawah asuhan sebuah panti sosial, membuat Vanila berinisiatif untuk pergi keluar kota. Dengan bekal secarik kertas pengumuman lowongan kerja di salah satu usaha, yang bergerak di bidang cuci & gosok (Laundry).
Nahas, biaya di Kota yang cukup tinggi. Membuat Vanila mencari peruntungan di bidang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2 (Jambret)
Vanila menggeser mangkuk mie ayamnya yang sudah kosong lalu meneguk es teh yang masih tersisa banyak hingga tandas. Kemudian ia meraih selembar tisu, setelahnya bangkit dan berjalan mendekati seorang pria tua penjual mie ayam gerobakan pinggir jalan.
"Jadi berapa, Pak?" Gadis itu bertanya sambil merogoh tas kecilnya dan menarik selembar uang berwarna biru dari sana.
"Mie ayamnya satu, dua belas. Es teh tiga ribu, sama apa lagi?" Dengan ramah pria tua itu bertanya.
Dia bahkan terus tersenyum meskipun raut wajah lelah terlihat sangat jelas. Tak jarang handuk yang melingkar di lehernya ia gunakan untuk mengusap keringat yang terus bercucuran.
"Tadi saya ambil kerupuk pangsitnya dua, Pak." Vanila menjawab.
"Kerupuk pangsitnya satu bungkus dua ribu lima ratus. Jadi semuanya dua puluh ribu, Neng."
Vanila mengangguk seraya mengeluarkan selembar uang pecahan 50 ribu itu yang kemudian ia berikan pada sang penjual mie.
Segumpal daging yang terkurung di dalam tulang rusuknya terasa dicengkram kuat, sehingga menimbulkan rasa sesak yang teramat sangat. Apalagi saat ingatan Vanila tertuju pada seorang pria yang akrab dirinya sapa dengan sebutan Bapak.
Dimana ayahnya saat ini? Apa ia juga merindukannya seperti dirinya yang selalu merindukan kehadiran pria itu?
Apa dia sehat? Atau mungkin sakit? Vanila menunggu dalam kurun waktu yang tidak sebentar, tapi pada kenyataannya pria itu tak kunjung datang untuk menjemput seperti janjinya 16 tahun silam.
Atau bahkan pria itu sudah tiada? Tapi di mana jasadnya? Vanila tidak pernah mendengar kabar buruk itu, setidaknya pihak panti akan memberitahu jika saja ayahnya memang telah tiada.
"Neng!?" Si penjual mi ayam terus memegangi uang kembalian yang tak kunjung Vanila terima.
"Kembaliannya!" ucapnya sambil menyodorkan uang tersebut.
"Ah, i-iya Pak." Vanila tersenyum canggung, namun kemudian ia meraih lembaran uang receh yang diberikan sang penjual mie.
"Terimakasih, Pak. Mari?" Vanila berpamitan.
Dia berjalan sambil memasukan uang receh itu ke dalam saku celananya. Kemudian mengamankan dompet ke dalam tas, dan tak lupa menutup resleting untuk memastikan semuanya terjaga di dalam sana dengan aman. Dan setelah itu Vanila beranjak pergi, kembali menyusuri trotoar untuk menempuh perjalanan pulang yang sedikit memakan waktu.
Suasana jalanan ramai seperti biasa, mobil dan motor berlalu lalang dengan kecepatan yang berbeda-beda.
Lalu pandangan Vanila menengadah, menatap lampu-lampu jalanan yang berjajar rapi memenuhi area sana. Sehingga dirinya tidak perlu merasa ketakutan karena jalanan yang dilalui mempunyai penerangan yang cukup.
"Coba kalo Bapak nggak pergi, aku nggak bakalan ada disini. Hidup di tengah-tengah kota besar yang sangat melelahkan!" gumam Vanila.
Suara bising yang berasal dari mesin motor terdengar, dan dengan sekejap mata Vanila merasakan seseorang menarik tas selempangnya dengan paksa.
Beberapa orang yang berada di area sana terdengar berteriak, apalagi saat melihat tubuh Vanila yang sedikit terseret ketika mempertahankan tas miliknya.
Gadis itu tersungkur dengan tubuhnya yang menelungkup di atas aspal. Sementara motor RX king yang di kendarai dua penjambret itu pergi dengan kecepatan tinggi membawa sisa barang-barang berharga yang dia miliki.
"Jambret!!" Setelah mengalami keterkejutan dan tidak tahu apa yang sedang terjadi kepada dirinya Vanila pun berteriak hanya sekedar untuk meminta bantuan orang-orang sekitar.
"Tolong! Tas saya!" Dia berusaha untuk berdiri dan mencoba mengejar dengan langkah tertatih-tatih.
Suara Vanila bergetar, dan dia benar-benar ingin menangis. Bukan karena rasa perih karena luka di tangannya akibat bergesekan dengan aspal, melainkan karena uang sisa gaji yang akan dirinya serahkan kepada sang pemilik kost.
"Eh tolongin, tolongin!"
Semua orang mulai mendekat membantu Vanila untuk bangkit dan membawanya pada sebuah warung kecil yang ada di dekat sana.
"Tas saya, tolong!" Vanila mulai menangis histeris.
"Sudah dikejar, sekarang minum dulu Neng!" Seorang wanita pemilik warung memberikan air minum kemasan yang sudah terbuka.
Vanila sempat menolak sambil terus menatap ke arah jalanan. Dimana gadis itu sempat melihat sebuah motor yang melaju kencang, menarik tas miliknya dengan paksa. Yang di dalamnya ada sisa uang gaji, dompet, juga handphone miliknya raib begitu saja dengan rentang waktu yang sangat cepat.
Terus apa setelah ini? Harus bagaimana dirinya? Uang tidak punya, tempat tinggal apalagi!
"Oh astaga aku harus bagaimana setelah ini?"
"Mudah-mudahan tasnya bisa balik lagi, ya? Sekarang sabar dulu!"
"Saya harus bayar kost, Bu. Uang sama barang-barang saya juga ada disana semuanya."
Vanila terus menangis, apalagi saat seseorang meneteskan obat merah pada lukanya yang membuat teriakan gadis itu terdengar semakin kencang.
***
"Makasih ya, Bu. Sudah antar saya sampai sini, maaf udah bikin repot!" Kata Vanila saat dirinya turun dari atas motor matic yang di kendarai sang pemilik warung tadi.
"Sama-sama Neng. Yang sabar ya, semoga rezekinya semakin lancar."
Vanila menghela nafasnya kemudian mengangguk. Dia berusaha memperlihatkan senyuman agar sedikit meringankan perasaan sedih di hati meski itu tidak berpengaruh banyak baginya.
"Saya yang ceroboh, Bu. Sekali lagi maaf udah ngerepotin."
"Namanya juga musibah Neng, tidak usah menyalahkan diri sendiri karena semua sudah jalannya. Kalau begitu Ibu pamit ya?"
Vanila menjawab dengan anggukan, sementara wanita itu kembali menyalakan mesin motornya, dan segera pergi dari sana.
Dia berbalik badan, menatap sebuah gerbang masuk yang terbuka dengan lebar sehingga Vanila mampu melihat pintu-pintu kost yang ada di dalam sana. Tiba-tiba saja dirinya merasa takut, apalagi untuk menghadap kepada sang pemilik.
Pembayaran sudah jatuh tempo, sementara sisa gajinya saja sudah hilang di ambil orang bersama barang-barang yang lain. Tidak terkecuali kunci kamar kost yang dirinya tempati.
"Hanya jelaskan apa yang sudah terjadi, Van. Siapa tahu Bu Tika akan memberikan keringanan." Vanila bermonolog.
Kakinya mulai melangkah perlahan, masuk melewati pintu gerbang sana, dengan tatapan yang tertuju pada sebuah warung. Dan disanalah wanita itu, duduk di atas kursi rotan sambil menatap ke arahnya dengan raut wajah berbinar.
"Selamat malam, Bu Tika." Dia menyapa sang pemilik kost.
"Malam, Van." Wanita itu tersenyum.
Sudah jelas, dalam pikirannya dia akan menerima sejumlah uang dari Vanila yang sebelumnya sudah di janjikan.
"Gimana? Kerjanya lancar hari ini?"
Vanila terlihat gugup dan wajahnya tampak sedikit memerah, bahkan gadis itu terus mempermainkan jari-jari tangannya.
"Begini, Bu. Maaf sebelumnya, saya baru saja kena musibah. Tas saya dijambret. Uang, dompet dan hape saya di dalam tas semua, jadi maaf kalau belum bisa bayar kost hari ini." Vanila segera menjelaskan.
Tika hanya diam dan menatap Vanila dengan ekspresi wajah yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Entah marah, kesal atau mungkin iba.
"Kamu ceroboh sekali, Van!" Wanita itu bangkit dari duduknya.
"Maaf, Bu. Tapi secepatnya akan saya lunasi, saya janji. Besok saya ambil kasbon dulu, biar saya bisa bayar kamar kostnya ke Ibu." Kata Vanila.
Tika memejamkan mata, kemudian menghela napasnya. "Ya sudah, besok ya? Soalnya saya juga butuh."
Vanila mengangguk, dan perasaannya sedikit lebih lega. Namun, dia tetap berdiri disana.
"Apa lagi?" Tika menatap Vanila yang masih berdiri di hadapannya.
"Boleh minta kunci cadangan nggak, Bu? Kunci kamarnya hilang juga."
Tika memutar kedua bola matanya, lalu masuk ke dalam warung sana tanpa banyak berbicara.
Vanila memindai keadaan sekitar. Beruntung suasana tidak seramai biasanya, sehingga ia tidak harus menahan malu jika saja sang pemilik kost mengomel dan mengatakan banyak hal.
"Besok yah! Kalo besok nggak bisa bayar, mending di kosongin aja. Soalnya yang mau isi banyak, nggak cuma kamu doang." Nada bicaranya terdengar sedikit ketus, sedangkan Vanila hanya bisa mengangguk.
"Nih, awas jangan sampai hilang lagi!" Dia memberikan kunci yang Vanila minta.
"Terimakasih, Bu. Saya usahakan secepatnya."
"Saya nggak mau secepatnya, saya kasih kamu waktu sampe besok sore. Kalo nggak bisa bayar saya minta kamarnya di kosongin aja!" ulangnya, dan dia menatap Vanila dengan raut penuh amarah.
Dan setelah memberikan kuncinya, Tika pun masuk ke dalam warung dan meninggalkan gadis itu yang masih diam mematung dengan mata berkaca-kaca.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Yaampun Vanila🥲
Jangan lupa dukungannya! Like, komen, gift, vote dan subrekkk😘🥰