Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Dijual
“Cepat bawa Kevia sebelum ayah tirimu pulang,” bisik Rima, matanya menyipit penuh kebencian. “Kalau produser itu puas, kau akan jadi artis terkenal. Dan hidup gadis sialan itu… akan hancur. Ibunya yang penyakitan itu juga ikut hancur.”
Riri tersenyum licik. “Baik, Ibu. Tenang saja.”
Mobil melaju di gelap malam, dengan Kevia duduk kaku di kursi samping. Ia menunduk, jemarinya meremas ujung dress mini ketat yang dipaksakan ke tubuhnya. Pakaian itu asing, memalukan, dan menyiksa. Riasan tebal di wajahnya terasa bagai topeng yang mengurung dirinya.
Ketika mobil berhenti di depan sebuah klub malam, jantung Kevia berdegup kencang.
"Riri, kenapa berhenti di sini?" tanya Kevia gelisah.
Riri tersenyum yang lebih mirip seringai. "Karena di sinilah tempat pestanya."
"Tapi--"
"Cepat keluar!” bentak Riri.
“Ri… aku nggak nyaman pakai baju kayak gini—”
“Turun! Kalau kau menolak, ibuku tak akan membawa ibumu cuci darah.” Tatapan Riri dingin, penuh ancaman.
Hati Kevia seketika menciut. Demi ibunya, ia menelan ketakutan dan melangkah turun.
Lampu neon berkedip-kedip, suara musik berdentum, dan kerumunan orang menatap mereka.
High heels yang baru pertama kali ia kenakan membuat langkahnya goyah, sementara tatapan para pria menusuk setiap lekuk tubuhnya.
Riri menggandeng lengannya dengan kasar, menyeretnya masuk melewati lorong penuh asap rokok dan sorak-sorai tawa.
“Ahh!”
Bugh!
Kevia memekik saat tubuhnya oleng, tumit tinggi yang asing di kakinya membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia menabrak dada seorang pria bertubuh kekar yang kebetulan berpapasan.
“M-maaf…” ucap Kevia gugup, wajahnya memerah.
Pria itu menunduk menatapnya. Sekilas, sorot matanya tampak menilai tubuh Kevia, membuat darahnya membeku. Namun di balik cahaya remang, matanya justru terpaku pada dada Kevia yang memakai dress dengan bagian dada terbuka.
Kevia buru-buru menutup dadanya. Malu dan tak nyaman membuatnya makin gugup.
Riri mendengus, lalu buru-buru menarik Kevia. “Jangan bikin masalah!” ia menyeret Kevia lagi, tak peduli pada sorot tajam pria itu.
Beberapa langkah kemudian, mereka berhenti di depan seorang pria paruh baya berjas mewah.
Namun dari sofa tak jauh di sana, pria bertubuh kekar tadi masih mengawasi. Mata dinginnya mengikuti setiap langkah Kevia Bukan karena tergoda, tapi karena ia mungkin tahu siapa gadis itu… dan siapa yang akan tertarik mendengarnya.
Senyum tipis pria paruh baya di depan Riri dan Kevia terukir, pandangannya turun naik, menelanjangi dengan tatapan yang membuat perut Kevia mual.
"Tempat ini... pria itu...Apa—apa Riri dan ibunya benar-benar menjualku?"
Jantung Kevia berdegup tak karuan. Seharusnya ia hanya menemani Riri ke pesta, tapi kenapa langkah mereka berakhir di sebuah klub malam dengan cahaya lampu temaram yang terasa asing?
“Selamat malam, Om,” sapa Riri ramah, seolah sudah akrab.
Pria paruh baya itu tersenyum tipis, lalu bangkit dari sofa kulit hitam. Matanya hanya melirik Kevia sekilas, cukup untuk membuat bulu kuduk Kevia berdiri.
“Barangnya bagus… aku suka.” Senyumnya mengandung arti yang tak Kevia mengerti, tapi perutnya benar-benar mual.
“Tentu saja, Om,” sahut Riri dengan tatapan penuh kemenangan.
Kevia semakin gelisah. Batinnya menjerit, "Kenapa Riri bicara seperti itu? Aku beneran akan dijual?"
“Ayo kita bicarakan kontraknya di tempat yang lebih tenang,” ucap si pria, suaranya berat tapi berlapis niat.
Tanpa ragu, Riri mengangguk. “Baik, Om.”
Tangannya menarik lengan Kevia, menyeretnya mengikuti pria itu menuju salah satu kamar hotel.
“Riri… kenapa membicarakan kontrak di tempat seperti ini?” bisik Kevia, suaranya gemetar.
“Diam!” geram Riri, matanya tajam.
Di dalam kamar, pria itu mengarahkan mereka duduk di sofa. Tangannya lincah menuangkan minuman ke dalam dua gelas kristal, lalu dengan gerakan nyaris tak terlihat, ia menekan cincin di jarinya. Butiran halus meluncur jatuh ke dalam salah satu gelas.
“Untuk pemula, kau jadi artis figuran dulu,” ujarnya santai, menaruh map kontrak di meja. “Kalau aktingmu bagus, aku bisa beri peran yang lebih besar.” Pandangannya sekilas jatuh ke tubuh Kevia, membuat gadis itu merasa ingin berlari.
“Baik, Om. Terima kasih,” jawab Riri dengan cepat, lalu menandatangani kontrak tanpa banyak membaca.
“Silakan diminum dulu.” Pria itu menyodorkan gelas.
Riri segera meneguk habis tanpa ragu. Kevia hanya memandangi gelasnya. Keningnya berkerut, ada aroma aneh menusuk inderanya, membuat hati kecilnya menolak.
Di sisi lain, di tengah riuh rendah klub, pria bertubuh kekar yang tadi ditabrak Kevia sontak berdiri. Tatapannya menajam ketika seorang pria berkemeja hitam keluar dari ruangan privat. Wajahnya tertutup masker, namun auranya yang dingin dan mendominasi seolah memecah keramaian.
“Bos,” bisiknya cepat, mendekat penuh waspada. “Saya melihat seorang gadis… mungkin dia yang Bos cari.”
Langkah pria itu terhenti. Sorot matanya menusuk. “Di mana?”
“Tadi bersama seorang gadis lain menemui pria paruh baya di sofa sana,” jelas pria kekar itu, menunjuk ke arah sofa. “Tapi tak lama pergi. Kayaknya ke kamar hotel. Dari cara jalannya… dia dipaksa, Bos. Polos, jelas bukan gadis yang biasa ada di sini. Saya rasa dia sedang dijual.”
Rahang pria bermasker itu mengeras. Tatapannya berkilat marah. “Brengsek…!” desisnya. Tangannya menyambar kerah anak buahnya, mengguncang kasar. “Dia atau bukan, gadis itu dalam bahaya! Kalau itu adikmu, apa kau diam saja?!”
Anak buahnya tercekat, wajah pucat. “M-maaf, Bos!”
Ia dilepaskan dengan kasar, hampir terhuyung. Pria bermasker itu menghela napas berat, tangan mengepal. “Cepat cari gadis itu!”
“Siap!”
Sekejap kemudian, pria itu mengusap wajahnya, sorot matanya menyala murka. "Dasar bajingan… Aku akan pastikan dia gadis itu atau bukan."
Di kamar hotel, Riri menaruh gelas kosong dengan puas. “Sudah, Om.”
Kevia masih menatap minumannya, ragu. Rasa tak nyaman makin menguat.
“Kenapa? Gadis cantik tidak minum?” tanya pria berjas itu dengan senyum penuh arti.
“Saya… tidak haus,” jawab Kevia pelan.
Pria itu memasang wajah kecewa. "Minuman ini sudah dituang. Sayang kalau tak diminum."
Riri berbisik di telinganya, nadanya dingin. “Minum. Atau aku tinggalkan kau di sini.”
Ketakutan mencengkeram Kevia. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat gelas itu ke bibir. Cairan asingnya pahit, meninggalkan sensasi aneh di lidah.
“Habiskan,” desis Riri.
Kevia menuruti, meneguk sampai habis meski lidah, tenggorokan dan perutnya terasa berontak.
“Kalau begitu, saya permisi dulu, Om,” ucap Riri bangkit, senyum liciknya terkembang. “Selamat bersenang-senang.”
Kevia ikut berdiri, ingin segera melangkah pergi. Tapi sebelum kakinya menjejak pintu, sebuah tangan kokoh mencekal pergelangannya membuat ia tersentak.
“Mau ke mana, gadis cantik?” suara pria itu dalam, menahan langkahnya.
Bibir Kevia bergetar. Dadanya bergemuruh.
“Lepaskan!” Kevia mencoba melepaskan cekalan tangan pria itu.
“Riri—!” Belum sempat ia melanjutkan, suara dingin saudara tirinya memotong.
“Diam di sini… dan layani Om ini baik-baik. Atau ibumu—”
“Ahh!” pekik Kevia, matanya membelalak.
Tanpa memberi kesempatan, Riri mendorongnya keras hingga tubuh Kevia membentur dada pria paruh baya. Napasnya tercekat, tubuhnya limbung. Dengan senyum licik, Riri menutup pintu kamar rapat-rapat.
Klik!
Bunyi kunci itu terasa seperti vonis.
"Riri, jangan tinggalkan aku!" teriaknya frustrasi.
Tapi pria itu langsung menarik lengan Kevia, menyeretnya menuju ranjang dengan tatapan penuh hasrat.
“Tidak! Lepaskan aku!” teriak Kevia, tubuh mungilnya meronta.
Namun tiba-tiba kepalanya terasa berat, pandangannya berputar. Obat yang bercampur dalam minuman tadi mulai bekerja. Tubuhnya melemah, napasnya memburu, kulitnya terasa panas dingin.
“T-tidak… jangan…” suaranya parau.
Pria itu mendorongnya hingga terjatuh di ranjang. Kevia menjerit, tangannya menepis, kakinya menendang, tapi kekuatannya terkikis habis.
"Ya Tuhan… tolong aku…" batinnya menangis di antara rasa pusing yang kian menguasai.
Lalu—
BRAK!
Pintu kamar hotel terhempas terbuka, menghantam dinding dengan dentuman keras.
Kevia membeku di tempat, tubuhnya menegang. Pria paruh baya itu sontak menoleh, wajahnya terkejut.
Di ambang pintu, berdiri sosok pria berkemeja hitam. Lampu redup kamar hanya menyorot setengah wajahnya, menyisakan bayangan kelam yang menegaskan sorot matanya. Dingin, tajam, dan penuh rahasia.
...🌸❤️🌸...
Note :
Ingin tahu kisah Kevia sebelum semua ini terjadi? Kamu bisa membacanya di novel “DEBU (Demi Ibu)”, yang mengisahkan perjuangannya menghadapi derita bersama orang tua dan keluarga tirinya
To be continued
ayo semangat kejar cintamu sebelum ia diambil orang lain ntar nyesel Lo...
walaupun kamu belum tau wajahnya tapi kamu kan tau ketulusan cintanya itu benar2 nyata,
dia rela memberikan apapun yang ia miliki kalau kamu mau menikah dengannya,tunggu apalagi kevia...
selama kamu bersama ia terasa nyaman dan terlindungi itu sudah cukup.
semangat lanjut kak Nana sehat selalu 🤲
Takut kehilangan - salah kamu sendiri selalu bicara tidak mengenakkan Sinting. Sinting cinta sama kamu - sepertinya kamupun sudah ada rasa terhadap Sinting. Kamu masih bocah jadi belum bisa berfikir jernih - marah-marah mulu bawaanmu.
knapa kamu gk rela kehilangan pria misterius karena dia sebenarnya yoga orang yang selama ini kamu sukai
kalau cinta yang bilang aja cinta jangan kamu bohongi dirimu sendiri.
Menyuruh Kevia keluar dari Kafe dengan mengirimi foto intim Kevia bersamanya - bikin emosi saja nih orang 😁.
Akhirnya Kevia masuk ke mobil Sinting - terjadi pembicaraan yang bikin Kevia marah. Benar nih Kevia tidak mau menikah sama Sinting - ntar kecewa lho kalau sudah melihat wajahnya.
Kevia menolak menikah - disuruh keluar dari mobil.
Apa benar Sinting mulai hari ini tidak akan menghubungi atau menemui Kevia lagi. Bagaiman Kevia ??? Menyesal tidak ? Hatimu sakit ya...sepertinya kamu sudah ada rasa sama Sinting - nyatanya kamu tidak rela kehilangan dia kan ??
biarkan Yoga menjauhi Kevia dulu biar Kevia sadar bahwa Pria misterius itulah yang selalu melindunginya dan menginginkannya dengan sepenuh hati,,dengan tulus
klo sekarang jadi serba salah kan...
sabar aja dulu,Selami hati mu.ntar juga ayank mu balik lagi kok Via...
setelah itu jangan sering marah marah lagi ya,hati dan tubuh mu butuh dia.
sekarang udah bisa pesan...
hidup seperti roda,dulu dibawah, sekarang diatas...🥰🥰🥰🥰