Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Deva baru saja pulang setelah menyelesaikan tugasnya sebagai bodyguard. Dengan langkah santai, dia melangkah menuju apartemen sambil memegang novel best seller yang baru dibelinya.
Dia merasa puas setelah penantian yang panjang, akhirnya dia berhasil mendapatkan buku itu, Deva terbenam dalam cerita yang menarik dan menunggu saat-saat untuk menikmati setiap halaman dengan santai, sambil menyesap kopi.
Bayangan itu membuat sudut bibirnya melengkung ke atas, dia benar-benar tidak sabar untuk membacanya di rumah.
"Akhirnya gue bisa dapatin nih novel! gila banget gue sampai ngabisin duit jajan gue selama dua hari." Gerutu Deva seraya mengangkat buku novel itu seperti boneka.
Novel berjudul mawar beracun, menjadi novel terlaris tahun ini. Deva sampai harus menunggu satu bulan lamanya, sejak novel itu terbit demi mendapatkannya.
Dari banyaknya spoiler di internet, banyak yang menyukai alurnya. Deva yang menyukai hal-hal berbau kriminal dan psikopat langsung ikut mengantri untuk mendapatkan novel itu.
"Gue baca sambil jalan kayanya seru deh?" pikirnya menimbang-nimbang.
Dia merobek bungkus novel itu, dan mencium buku tersebut dengan antusias.
"Woah wangi kertas baru di cetak."
Deva di kenal sebagai maniak novel, dari berbagai genre dia hanya mengoleksi novel bergenre thriller dan angst. Konflik berat dari setiap novelnya, mampu membuat Deva merasa menjadi salah satu tokoh tersebut yang di buat gila mendadak.
"Oke, ayo kita buka..." Deva membuka sampul buku tersebut, dia di suguhi cover seorang pria dan wanita di halaman pertama.
"Anjay, keren banget! pasti penulisnya sering halu punya cowo spek manhwa." Racau Deva cengengesan.
Entah dia memuji atau justru mengejek penulisnya, tidak ada yang tahu isi hati gadis itu.
Deva mulai membaca bagian prolognya, raut wajah gadis itu berubah-ubah. Dari senyum, seringai, lalu melotot, ekspresi itu terus berlanjut setiap kali kalimat di buku itu masuk ke dalam otaknya.
"Lah, tolol banget! pake ngemis-ngemis segala! baru prolog aja udah bikin kesel."
Meski bibirnya terus meracau dan mengolok-ngolok karakter yang memiliki nama sama sepertinya, namun dia tetap melanjutkan membaca.
Hingga dia tak menyadari jika ada seseorang di belakangnya yang bersiap menarik pelatuk, orang itu memakai masker dan juga topi berwarna hitam. Dan membuat wajahnya tidak bisa di kenali.
Saat Deva sedang asik membaca, dalam sekejap suara tembakan memecah kesunyian malam, dan peluru itu menghujam tepat di belakang kepalanya.
Deva terjatuh dan hidupnya melayang hanya dalam hitungan detik, tanpa pernah tau siapa orang yang membunuhnya.
***
Deva membuka matanya perlahan, merasakan cahaya lembut yang masuk melalui tirai tipis di jendela. Kepalanya terasa berat, seolah terjebak dalam kabut mimpi yang tak kunjung pergi.
Saat dia berusaha bangkit dari ranjang yang empuk, rasa bingung menyergapnya. Kamar yang mengelilinginya begitu asing, dinding berwarna pastel yang elegan, lampu gantung berkilauan, dan furnitur mewah yang seolah di ambil dari halaman sebuah majalah.
Dia duduk di tepi ranjang, meraba permukaan beludru yang lembut. Sebuah cermin besar menggantung di dinding, memantulkan sosoknya yang tampak bingung dan sedikit terkejut.
"Hah? siapa tuh?" ujarnya menunjuk cermin.
Gaun tidur yang dia kenakan tampak seperti sesuatu yang berasal dari dunia lain halus dan berkilau, seolah dirancang khusus untuk momen-momen istimewa.
Deva mengedarkan pandangannya, mencoba memahami situasi yang di hadapinya. Di sudut kamar, ada meja rias dengan cermin berbingkai emas, di hiasi dengan berbagai produk kecantikan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Di dinding sebelahnya sebuah lukisan indah menggambarkan pemandangan yang memukau, dan di sampingnya, sebuah kursi berlapis kain sutra menambah kesan mewah ruangan itu.
"Gue di mana nih?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.
Dengan perlahan, dia bangkit dan melangkah menuju jendela, ingin melihat dunia di luar kamar yang misterius ini.
Ketika Deva membuka tirai, pemandangan di luar membuatnya terkesima. Taman yang luas dan terawat dengan baik, di kelilingi oleh pepohonan rindang dan bunga-bunga berwarna-warni, semua terlihat menakjubkan di bawah sinar matahari pagi. Seolah-olah ia terbangun di dalam sebuah buku dongeng.
"Tunggu, bukannya tadi gue kena tembakan?" gumamnya heran.
Deva menyentuh belakang kepalanya, namun dia tidak mendapati bahwa kepalanya berlubang. Dia masih ingat dengan jelas rasa sakit yang luar biasa hebat, dan kegelapan langsung mengelilinginya.
Tapi sekarang, dia merasakan permukaan kulitnya yang halus dan tidak ada rasa sakit yang menyengat. Perasaan bingung semakin menyelimuti pikirannya.
Dengan hati-hati dia berbalik, meneliti ruangan di sekelilingnya lagi. Jelas itu bukan neraka, suasana di ruangan itu lebih pantas di sebut kamar yang mewah.
"Siapa yang bawa gue ke sini?" tanya Deva pada dirinya sendiri, dia jelas tak merasa memiliki kamar sebagus itu.
Dia berjalan menuju pintu, perlahan mendorongnya. Pintu itu terbuka dengan mudah, membiarkan sinar matahari mengalir masuk, menerangi lorong yang panjang dan sepi.
"Apa gue di culik? tapi masa iya sih, ada penculik yang rumahnya sebagus ini?"
"Apakah ini semua mimpi?" pikirnya, bingung.
Namun, saat matanya bertemu dengan seseorang yang baru saja tiba di depan kamarnya dia sedikit tertegun, rasa familiar menghampirinya. Seorang pria dengan rambut gelap dan mata tajam, tersenyum hangat padanya seolah dia sudah menunggu lama gadis itu keluar kamar.
"Deva! akhirnya kamu bangun juga!" teriak pria itu, dan langsung memeluknya dengan cepat.
Gema suaranya mengusir keheningan di sekitarnya, Deva merasa jantungnya berdebar kencang. Dia mendorong paksa pria itu agar menjauh darinya.
"Siapa Anda?" tanya Deva, menunjukan kewaspadaannya.
Pria itu tersenyum lebih lebar. "Deva, ada apa denganmu? ini Daddy kamu, Dev."
"D-Daddy? serius?"
Deva merasa jantungnya berdebar kencang, kata-kata pria itu berputar-putar di kepalanya. Sudah lama dia jadi yatim piatu, tapi sekarang dia memiliki ayah?
Apa gue beneran gila? Pikir Deva merasa konyol.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia berbalik arah dan berlari kembali ke dalam kamar meninggalkan pria itu sendirian.
Sesampainya di dalam, dia langsung menuju cermin besar di sudut ruangan. Nafasnya tersengal-sengal, matanya memperhatikan refleksi dirinya.
Apa yang terjadi? rambutnya tampak lebih panjang dan berwarna merah menyala seperti kobaran api, wajahnya tampak lebih halus, seolah-olah dia baru saja mengalami transformasi yang tidak bisa di jelaskan. Namun, ada sesuatu yang lebih mencolok di sudut cermin, tertulis dengan huruf yang jelas 'Deva Claudia.'
Nama itu menghantamnya seperti petir. "Deva Claudia?" gumamnya.
Nama itu sangat familiar bagi dirinya. Deva teringat dengan nama yang baru saja dia baca dari novel, nama itu milik tokoh antagonis yang memiliki akhir tragis. Seorang wanita kuat, penuh tipu daya, dan manipulatif.
"Ini nggak mungkin," pikirnya lagi. "Gue bukan dia, kan?"
Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menghilangkan rasa bingung yang terus menyelimuti pikirannya. Kenapa namanya bisa terukir di sini? apakah ini semua hanya ilusi? apa yang sebenarnya terjadi padanya?
Berbagai pertanyaan terus berkeliaran dalam kepalanya, entah bagaimana dia harus menanggapi kejadian konyol tersebut.
Dia bukan hanya seorang karakter dalam cerita, ia adalah seseorang yang terjebak dalam sebuah kisah yang tidak bisa dia pahami dengan logika.
"Apa gue terjebak dalam novel ini? atau gue udah sinting tingkat akut?" tanyanya pada diri sendiri.
Deva mendekatkan wajahnya ke cermin, menatap dalam-dalam ke matanya sendiri.
"Kalau gue memang Deva Claudia, apa yang harus gue lakukan?"
Dia merasakan pertarungan batin yang kuat, antara menerima kenyataan dan berjuang untuk menemukan kebenaran yang lebih dalam.
"Gue bahkan belum baca novelnya sampai selesai, baru juga prolog masa iya gue malah masuk ke bukunya sih? kalo gue mati lagi gimana?"