Dara sebagai pelatih Taekwondo yang hidupnya sial karena selalu diteror rentenir ulah Ayahnya yang selalu ngutang. Tiba-tiba Dara Akan berpindah jiwa raga ke Tubuh Gadis Remaja yang menjatuhkan dirinya di Atas Jembatan Jalan Raya dan menimpa Dara yang berusaha menyelamatkan Gadis itu dari bawah.
Bagaimana Kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amanda Ricarlo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Guru Privat Teakwondo
.Suasana di dalam Dojang Teakwondo Girls tampak muram sore itu. Cahaya matahari yang menerobos celah ventilasi tak mampu menepis rasa pengap yang menggantung di udara. Dara duduk bersandar pada dinding usai sesi latihan tunggal yang ia jalani sendiri. Tubuhnya berkeringat, napasnya memburu, namun bukan karena intensitas latihan melainkan emosi yang terus menekan dadanya sejak pagi.
Setiap kali ia melangkah ke luar rumah, seakan dunia menyorotinya dengan tatapan tudingan. Rentenir datang silih berganti, menyapanya bukan dengan salam, melainkan tagihan dan ancaman. Hutang judi sang ayah telah merusak semua sisi hidupnya. Bisnis kecil warisan neneknya yang dulu sempat harum, kini seperti tak bernyawa.
Dengan tubuh yang masih lelah, Dara berjalan ke arah pintu depan. Di sana, seperti biasa Amar ayahnya bersandar di kusen pintu dengan sebatang rokok di tangan kiri dan secangkir kopi hitam di tangan kanan. Wajahnya terlihat jauh, kosong, seperti tak lagi memikirkan masa depan, seolah hidup hanya serangkaian hari tanpa makna.
"Kau...." Dara memulai dengan suara masih tersengal, "Mau sampai kapan kau hidup seperti ini?"
Amar mengalihkan pandangannya ke arah putrinya sejenak, lalu kembali menatap kosong ke jalanan.
"Kau memperlakukanku di hadapan semua orang karena sifat burukmu itu, Apa Kau sadar?" lanjut Dara, mencoba menahan getar di suaranya.
Amar mengisap rokoknya dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab datar, "Nanti Ayah akan bayar, Dar. Kau fokus saja urus tempat ini. Itu warisan ibuku."
Kalimat itu seperti percikan api ke dalam genangan bensin di dalam dada Dara. Ia menoleh tajam, lalu melangkah mendekat dan berdiri tepat di hadapan ayahnya.
"Kapan? Kapan kau akan membayarnya, hah?" suaranya meninggi, nadanya tak lagi bisa dibendung. "Setiap aku keluar, mereka datang! Mereka mendekatiku dan menagih hutang-hutang yang bahkan bukan aku yang pakai! Apa kau pikir aku tidak capek? Kau pikir aku tidak malu dilihat orang-orang? Apa setelah berjudi setiap malam kau menang banyak? Tidak, kan? kau pulang hanya membawa bau Busukmu itu"
Wajah Dara merah padam, tangannya mengepal. “Kau bahkan tidak sadar tempat ini tempat yang dibangun oleh nenek dengan hasil kerja kerasnya, dua bulan lagi Kita akan diusir dari bangunan ini kalau kita tidak bayar sewa! Dari mana uangnya, hah? Dari mana?”
Ia menarik napas berat, lalu menatap ayahnya dengan tatapan yang dipenuhi kepedihan. “Kau tidak pernah sadar. Kau hanya menyusahkan hidupku. Cukup! cukup dengan semua penderitaan ini! Hidupku sudah cukup sengsara. Dan kau... kau hanya menambah beban setiap harinya. Aku muak! Aku muak melihat wajahmu! Bahkan kau tidak pantas disebut Ayah"
Sarung tangan tinju yang sejak tadi ia genggam dilempar begitu saja ke arah dinding. Suaranya memantul ke seluruh ruangan sebelum Dara berbalik dan berjalan cepat, meninggalkan sang ayah dalam diam yang menyiksa.
Amar tak mengucap sepatah kata pun. Tatapannya kosong menatap lantai, bibirnya kaku, seolah menyadari bahwa seluruh kehidupan yang pernah ia miliki kini perlahan-lahan hancur karena kesalahan yang ia pelihara sendiri. Sekali lagi, ia menyesap kopinya yang kini terasa lebih pahit dari biasanya, pahit seperti kenyataan.
°°°
Setelah mandi dan berganti pakaian, Dara keluar rumah dengan mengenakan jaket hitam polos dan jeans pudar. Ia menaiki sedan tua miliknya, mobil warisan lama yang sudah beberapa kali mogok di tengah jalan, namun masih setia menemaninya ke mana pun ia pergi.
Dara tahu mobil itu sudah seharusnya diganti, tapi untuk saat ini, selama masih bisa menyala dan membawanya keluar dari beban rumah, itu sudah cukup.
Ia memarkirkan mobilnya di sisi jalan dekat sebuah kedai makan sederhana yang ramai pengunjung. Dari kejauhan, seorang pria bertubuh kurus dengan wajah ramah melambaikan tangan, Itu Kai... sahabatnya sejak SMA.
"Hei, tumben lama banget!" seru Kai ketika Dara mendekat.
"Aku harus mencuci rambutku dua kali. Keringatku seperti habis lari maraton" jawab Dara sambil duduk di kursi berseberangan dengan Kai.
"Sudah makan?" tanya Kai.
"Sedikit. Aku sudah lelah sejak siang," jawab Dara pelan.
"Bagus. Aku pesan porsi jumbo untukmu." Kai menunjuk mangkuk sop buntut sapi yang mengepul dan sepiring nasi goreng udang yang aromanya menggoda.
Percakapan mereka mengalir ringan, hingga akhirnya Kai bertanya, "Bagaimana dengan bisnis taekwondomu?"
Dara mengangkat bahu, memasukkan sesendok nasi ke mulutnya sebelum menjawab dengan mulut penuh, "Sepi. Orang-orang tak mau masukkan anak mereka, karena kabar tentang pria yang suka berjudi itu makin liar. Sekarang semua orang takut reputasi buruknya ikut menular ke tempat latihan."
Kai menatapnya iba. "Lalu, tempat itu belum dibayar sewa dua bulan lagi, ya?"
Dara hanya mengangguk.
“Mau kubantu bayarkan?” tawar Kai dengan tulus.
Namun, Dara menggeleng tegas. “Tidak usah. Kau sudah terlalu banyak membantuku, Kai. Traktiranmu setiap kali kita bertemu saja sudah cukup. Masalah sewa itu urusanku. Aku tidak mau menyusahkanmu.”
Kai terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku bantu dengan caraku? Kebetulan aku dengar dari sepupu temanku, ada anak SMP yang sedang mencari pelatih privat taekwondo. Katanya tiga bulan lagi dia akan ikut perlombaan tingkat kota di Jakarta Utara. Aku sudah mengajukan namamu. Gajinya 10 juta per bulan. Lumayan, kan?”
Dara menghentikan sendoknya, menatap Kai penuh minat. “Serius? 10 juta?”
Kai mengangguk mantap. “Kalau kau tertarik, kuberi nomornya sekarang.”
"Berikan. Aku akan hubungi dia malam ini juga" ucap Dara cepat.
Kai langsung mengirimkan nomor tersebut lewat ponsel. Namun sebelum Dara bisa mengucapkan terima kasih, Kai mencondongkan tubuhnya sedikit, lalu berbisik, “Tapi... yang harus kau tahu, anak ini katanya punya temperamen buruk. Agak sulit dikendalikan. Kau harus siap mental.”
Dara mendelik, menatap Kai dengan ekspresi geli yang ditahan. “Astaga, kenapa kau bisik-bisik seperti itu? Bicara biasa saja.”
"Heheh... aku takut ada orang yang kenal si anak ini," ucap Kai sambil tertawa kecil, cengengesan.
>>>
Pagi itu langit tampak mendung seperti menyimpan sesuatu yang berat, persis seperti perasaan Dara ketika berdiri di depan pagar sebuah rumah mewah di kawasan Jakarta Utara. Tangan kanannya menggenggam tas kecil berisi naskah kurikulum latihan yang ia susun semalam, dan tangan kirinya bersiap menekan bel rumah.
Belum sempat disentuh, pintu pagar sudah terbuka otomatis. Seorang perempuan paruh baya berkemeja biru rapi berdiri di ambang pintu dengan tatapan sigap.
"Kau Dara?" tanya perempuan itu cepat.
"Ya, saya Dara Revalinda. Pelatih yang direkomendasikan oleh Kai."
Perempuan itu tersenyum samar. "Saya Nyonya Silvia. Silakan masuk, Anak saya ada di dalam."
Dara melangkah masuk. Rumah itu luas, bergaya minimalis, namun terasa dingin. Aroma antiseptik tipis menyelimuti udara dalam ruangan. Dara menebak ini bukan rumah yang ramai canda tawa. Mungkin, hanya diisi rutinitas, jadwal, dan tekanan.
Silvia mempersilakan Dara duduk, namun langsung memanggil seseorang dengan nada keras.
“Mika! Turun sekarang, Pelatihnya sudah datang”
Suasana rumah yang tenang seketika diserbu suara langkah kaki yang terburu-buru dari lantai dua. Dara menoleh dan melihat seorang anak laki-laki bertubuh kurus tinggi dengan wajah tertutup poni panjang turun dengan malas.
“Ingat ya, Mika. Pelatih ini bukan main-main. Jangan coba-coba buat drama hari ini!” tegur Silvia.
Anak itu hanya melirik ibunya dengan ekspresi datar, lalu menatap Dara dari ujung kepala hingga kaki. Pandangan yang sinis, seperti sedang menilai apakah Dara pantas berada di rumah ini.
“Latih saja, cepat. Aku gak punya waktu banyak,” gumam Mika sambil berjalan keluar, menunggu di halaman belakang.
Dara mengangkat alis, sedikit kesal, namun menahannya. Ia sudah terbiasa menghadapi murid yang keras kepala. Ini bukan hal baru. Namun satu hal yang langsung terasa, anak ini bukan sekadar temperamental, tapi juga penuh kemarahan yang tidak terucap.
___
Halaman belakang rumah sudah dipersiapkan. Ada matras tipis yang dilapisi karpet olahraga dan punching bag digantung di salah satu tiang baja. Mika berdiri di tengah dengan tangan bersilang, menatap Dara seperti menantang.
“Dengar, Mika" ucap Dara membuka suara dengan tenang, “Aku bukan babysittermu, Kalau kau ingin bermain-main, aku akan pergi sekarang juga. Tapi kalau kau benar-benar ingin mengikuti lomba tiga bulan lagi, maka kau harus siap dilatih, bukan dimanja.”
Mika mencibir. “Semua pelatih juga sama bilang begitu. Tapi ujung-ujungnya mereka pergi setelah aku buat marah.”
Dara menatap tajam ke arah anak itu, lalu melepas jaketnya, memperlihatkan dobok putih yang sudah mulai pudar warnanya. Ia berdiri di hadapan Mika, tegap, seperti hendak memasuki gelanggang.
"Ayo, Serang aku"
Mika sempat terdiam. “Apa?”
“Kau dengar? Serang aku, Kau ingin mengukur pelatihmu, kan?”
Mika mengangkat alisnya, lalu menghela napas. Ia melangkah maju, mengayunkan kaki dengan teknik yang kasar, tak terarah, dan penuh emosi. Dara dengan mudah menghindar dan menangkap gerakan lawannya dengan kontrol yang presisi. Dalam tiga gerakan, ia sudah memutar posisi dan menjatuhkan Mika ke matras dengan teknik jatuhan bersih.
Mika terdiam. Ia tidak terluka, tapi jelas terkejut. Baru kali ini ada orang yang mampu melumpuhkannya tanpa bersusah payah.
Dara meraih tangan Mika dan membantunya bangkit. Ia tak mengatakan apa pun, hanya menatap lurus.
"Kau cepat tapi tidak fokus. Kau kuat tapi tidak disiplin. Kau bukan petarung, kau hanya anak yang sedang marah pada hidupmu sendiri"
Mika menggertakkan giginya, ingin membalas, tapi urung.
“Kalau kau siap belajar sungguh-sungguh, aku akan tinggal. Tapi kalau tidak, kau bisa panggil pelatih lain. Yang hanya akan memberimu pujian kosong.”
Mika menunduk sejenak. Napasnya berat. "Oke..." gumamnya akhirnya. "Ajari aku. Tapi jangan bicara seperti kau tahu semuanya tentangku."
Dara tersenyum tipis. "Aku tidak tahu apa-apa tentangmu, Mika. Tapi aku pernah menjadi orang yang Pemarah. Dan aku tahu bagaimana caranya mengubah amarah menjadi sebuah kekuatan."
Hari-hari berikutnya, latihan berlangsung tiga kali seminggu. Mika mulai menunjukkan perubahan. Ia masih sering melempar komentar sarkastik, masih cepat tersulut, tapi tiap sesi ia mulai mendengarkan instruksi, mulai belajar teknik dengan lebih hati-hati.
Sementara itu, Dara juga mulai merasakan sesuatu yang ia rindukan sejak lama, perasaan memiliki makna.
Latihan demi latihan menjadi ruang pelampiasan bukan hanya bagi Mika, tapi juga bagi Dara. Ia tidak hanya melatih murid, tapi juga menghadapi dirinya sendiri. Luka masa lalu, tekanan dari ayahnya, beban bisnis yang terus mengempis. Semuanya ia salurkan dalam setiap pukulan, setiap aba-aba yang ia berikan.
Malamnya, setelah sesi latihan selesai, Dara menyalakan ponsel dan membuka rekening banknya. Upah bulan pertama telah ditransfer.
10 juta rupiah
Uangnya cukup untuk membayar satu bulan sewa tempat. Dara menatap angka itu sambil tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia merasa tidak berada di ujung jurang.
Kai kemudian mengirim pesan singkat.
“Gimana muridmu? Apa dia masih keras Kepala?”
Dara membalas cepat.
“Lumayan... Tapi aku lebih keras daripada dia. Anak itu hanya butuh satu hal, orang yang tidak menyerah padanya.”
Kai membalas dengan emoji tertawa, lalu menambahkan:
“Itu karena Dia bertemu kau, sama-sama keras kepala”
Dara hanya menghela napas sambil menatap ke luar jendela. Angin malam membawa suara gaduh Jakarta yang tak pernah tidur. Tapi dalam hati kecilnya, Dara tahu hidupnya belum selesai. Ia hanya baru memulai kembali.
Setahun sebelum Dara menjadi pelatih tetap, sebelum semua urusan hutang dan rentenir menggantung di atas kepalanya, dunia sempat menyodorkan sebuah harapan, sebuah undangan yang selama ini hanya hadir dalam mimpi-mimpi malam.
Kompetisi Nasional Taekwondo Antarprovinsi
Undangan itu datang dengan cara yang mengejutkan. Setelah menang sebagai Juara 1 di Kejuaraan Kota Bekasi dan Juara 2 di Bandung, namanya masuk radar federasi daerah. Saat itu, Dara masih punya waktu untuk bermimpi, masih bisa tidur nyenyak tanpa bayangan pria-pria bertato datang ke rumahnya. Ia masih menjadi Dara yang polos, disiplin, dan penuh harapan.
Pelatih waktu itu memanggilnya ke ruang latihan, menyodorkan selembar kertas.
“Selamat Dara, Kau dipanggil untuk mewakili provinsi ke ajang nasional di Surabaya bulan depan. Ini kesempatan besar, Jarang sekali atlet muda bisa masuk daftar utama.”
Dara sempat tercekat. Jantungnya berdegup kencang. “Aku?” gumamnya lirih, tidak percaya.
“Ya, kau. Kau memang layak, teknikmu sangat tajam dan disiplinmu juga kuat. Sekarang tinggal satu hal yaitu mentalmu. Di panggung besar, semua hal kecil bisa jadi pemicu keruntuhan. Tapi kalau kau bertahan, kau bisa sampai keb Babak final.”
Dara mengangguk. Mulutnya tersenyum, tapi jauh di dalam dadanya, muncul satu kegelisahan yang tidak bisa ia abaikan.
Waktu berlalu cepat. Satu bulan pelatihan intensif, tes stamina, uji teknik, dan latihan simulasi berlangsung tanpa henti. Dara berangkat ke Surabaya dengan hati berdebar dan semangat penuh.
Namun, yang tidak bisa ia latih adalah bisikan-bisikan yang terus menghantui telinganya.
Beberapa hari menjelang keberangkatan, ia mulai mendengar kabar dari temannya sendiri.
“Eh, katanya ayah Dara ditagih rentenir lagi, ya? Rumahnya hampir disita, loh.”
“Wah, kasihan banget. Anaknya pelatih juara tapi bapaknya… ya gitu.”
“Aku sih gak heran kalau dia kalah. Mentalnya pasti goyah.”
Kalimat-kalimat itu, meski hanya selentingan, menghantam Dara seperti tendangan ke ulu hati. Ia mencoba menutup telinga, memusatkan pikiran pada pelatihannya, tapi percuma. Setiap malam menjelang tidur, ia teringat wajah sang ayah, Amar. Yang tertidur di kursi dengan puntung rokok berserakan dan amplop kosong tagihan di meja.
Suatu malam di penginapan menjelang pertandingan, Dara menerima panggilan dari tetangganya.
“Dara, maaf ya kami telepon. Tapi ayahmu barusan hampir ribut sama warga karena maksa pinjam uang ke pihak Bank. Kalau bisa cepat pulang setelah lomba, ya. Takutnya makin Ricuh.”
Tangannya gemetar saat memutus panggilan. Ia terduduk di lantai kamar hotel, menggenggam sabuk hitam yang tergantung di lehernya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia ingin menyerah.
Tapi hari perlombaan tetap datang.
Di atas matras biru, lampu sorot menyala terang. Para juri duduk rapi. Penonton menyemut di tribun. Dara berdiri di hadapan lawannya, gadis tangguh dari Jawa Timur dengan teknik tinggi dan gerakan cepat. Dara seharusnya bisa melawan. Ia tahu itu. Tapi pikirannya tidak berada di sana.
Ia melihat ayahnya. Wajahnya kusut. Suaranya mabuk. Bayangan rentenir. Teriakan warga. Hutang yang tak terbayar. Malu yang menumpuk.
Ketika peluit berbunyi, tubuhnya bergerak. Tapi jiwanya tertinggal.
Dalam tiga ronde, Dara kalah telak. Skor terpaut jauh. Tidak ada semangat dalam gerakannya, hanya tubuh yang mencoba menyelesaikan pertandingan.
Pelatihnya menepuk pundaknya usai pertandingan. “Kau bisa lebih baik dari ini, Dara. Tapi hari ini... kau kalah dalam pertandingan ini, tidak apa-apa. Kau sudah melakukan yang terbaik ”
Dara menunduk. Matanya merah, tapi ia menahan air matanya.
“Saya minta maaf, Coach.”
Pelatih hanya mengangguk. “Istirahatlah. Dan ketika kau siap, kembali lagi.”
Tapi Dara tak pernah kembali.
Setelah kekalahan itu, Dara tidak muncul lagi di kejuaraan mana pun. Ia menolak semua undangan seleksi. Ia menutup semua piala dan medali dalam kardus besar dan menyimpannya di gudang. Ia tidak kuat menghadapi sorot mata orang-orang yang memandangnya dengan kasihan.
"Kasihan ya, anak jagoan tapi kalah di panggung besar."
"Sayang banget, padahal potensinya tinggi. Tapi ya, kalau keluarga kayak gitu sih percuma ya"
Ia tidak sanggup. Dunia terlalu berat, dan ia merasa terlalu sendirian menahannya.
Namun waktu berjalan. Luka yang semula membara perlahan-lahan berubah menjadi bekas. Dan bekas itu yang kini memimpin langkahnya ke masa sekarang, sebagai pelatih bagi anak-anak lain. Ia mungkin tidak pernah mencapai podium nasional, tapi ia bisa membantu orang lain berdiri di sana.
Dan itu cukup... untuk saat ini.
>>>
Pagi itu udara terasa berat, awan-awan menggantung seakan enggan beranjak. Di halaman belakang rumah mewah milik keluarga Mika, Dara sudah berdiri lebih dulu. Ia mengenakan Dobok putihnya seperti biasa, rambutnya diikat tinggi, dan matanya terarah tajam ke punching bag di sisi kanan lapangan.
Tak lama kemudian, Mika muncul dengan langkah malas. Kaos olahraganya sedikit kusut, dan sepasang earphone masih tergantung di lehernya.
“Kau telat sepuluh menit,” ujar Dara tanpa memalingkan wajah.
Mika hanya meringis. “salah Alarm.”
Dara menoleh, menatap anak itu lama. Bukannya marah, ia justru berkata dengan suara lebih rendah, “Waktu bukan hanya soal menit. Tapi soal sikap. Kalau kau ingin jadi petarung, maka waktu harus lebih kau hormati daripada siapa pun.”
Mika menahan kata-kata, lalu mengangguk setengah hati.
Latihan dimulai seperti biasa. Pemanasan, teknik dasar, sparing ringan. Tapi hari itu ada sesuatu yang berbeda. Mika tampak lebih agresif dari biasanya. Tendangannya lebih keras, gerakannya lebih cepat, tapi bukan karena semangat. Ada kemarahan dalam tiap geraknya.
“Berhenti!” seru Dara, menghentikan sesi sparing.
Mika menghentikan gerakan, napasnya memburu. Peluh mengalir deras di pelipisnya.
“Ada apa denganmu hari ini? Kau seperti ingin memukul dunia.”
Mika terdiam. Matanya tidak menatap Dara, tapi ke lantai. Lalu, dengan suara pelan, ia berkata, “Aku bertengkar dengan ibu tadi pagi. Dia bilang, kalau aku tidak menang di lomba nanti, semua uang yang sudah dia keluarkan akan percuma. Dia bilang... aku memalukan.”
Dara tak menjawab langsung. Ia hanya duduk perlahan di atas matras, memberi isyarat agar Mika juga duduk.
"Kemarilah, Duduk disampingku" menepuk lantai, Agar Mika duduk disampingnya.
“Dulu,” kata Dara pelan, “Aku juga pernah berada di posisimu. Tapi bukan ibuku yang bicara seperti itu tetapi Ayahku. Ia tidak pernah bilang aku memalukan. Tapi... Dia mempermalukan hidupku.”
Mika menoleh pelan. “Kau juga punya ayah bermasalah?”
Dara mengangguk, matanya menerawang jauh. “Judi, Mabuk, Utang di mana-mana. Setiap kali aku keluar rumah, aku ditanya oleh orang-orang tentang tagihan yang tidak aku buat. Saat aku bertanding, suara mereka masih terngiang di kepalaku. Dan aku kalah... karena aku tidak benar-benar berada di sana.”
Mika terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia tahan.
“Aku benci dunia ini,” gumamnya akhirnya. “Semua orang ingin aku menjadi orang lain. Ibu ingin aku jadi juara, teman-temanku ingin aku jadi penurut, guruku ingin aku jadi anak Ajaib. Tapi tidak ada yang bertanya padaku, Apa kau Tidak apa-apa?.”
Dara tersenyum tipis. Senyum yang penuh luka lama.
“Dulu... aku juga seperti itu. Merasa tidak dimengerti. Tapi tahukah kau apa yang akhirnya menyelamatkanku? Bukan kemenangan. Tapi keberanian untuk terus berdiri, meski orang-orang tidak peduli.”
Ia menepuk bahu Mika.
“Dengar baik-baik, Mika. Kau boleh marah. Kau boleh kecewa. Tapi jangan jadikan amarahmu sebagai Pelindung. Jadikan itu bahan bakar. Tunjukkan pada mereka siapa dirimu, bukan karena mereka pantas tahu, tapi karena kau berhak dikenali." Mika menatapnya dalam-dalam.