Rayyan kini telah sampai di taman konservasi Ar Reem. Dibantu oleh penjaga, ia segera mempersiapkan peralatan untuk berburu. Rayyan ingin agar hewan buruannya tidak mati seketika ketika ditembak, jadi ia memakai
peluru bius. Sebelum melakukan perburuan sebenarnya, ia berlatih terlebih dahulu dalam lapangan simulasi.
Meskipun Rayyan tergolong orang yang terlatih tapi tetap para pemburu harus mengikuti prosedur dari taman konservasi. Menjadi pangeran ataupun keluarga keraajaan tak menghilangkan kewajiban mereka untuk menaati
peraturan. Para pemburu harus mengetahui pengetahuan dasar tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, peralatan keselamatan, pengetahuan jika ada bahaya tak terduga, juga latihan menembak papan sasaran. Sehingga para pemburu tidak sembarangan melepaskan peluru dan taman konservasi tetap terjaga kelestariannya.
Setelah melalui semua itu, Rayyan dan Imran diantarkan oleh pemandu ke titik perburuan. Rayyan melepas sepatu agar bisa menapak lebih leluasa di hamparan pasir nan lembut. Matahari mulai naik sampai mendekati
tengah langit, tapi suhu udara tidak terlalu dingin maupun panas. Sangat cocok untuk berolahraga dan melatih konsentrasi. Rayyan mengintai sekawanan Ar Reem yang sedang bersantai. Minggu itu memang sudah lewat masa kawin, sehingga sekumpulan jantan itu terlihat akur. Kalau sebelum musim kawin, mereka saling bersaing
sehingga jarang terlihat berkumpul di satu lokasi. Hal itu membuat perburuan jadi lebih sulit.
Sang pangeran nampak senang karena dia tak mendapatkan kesulitan yang berarti. Sudah cukup dia merasa stres memikirkan masalah kerajaannya dan yang ia butuhkan kali ini adalah melepas penat. Setelah mengamati sekawanan Ar Reem, Rayyan telah memutuskan yang mana targetnya. Ia memosisikan senapannya dengan gerakan pelan agar tak menimbulkan suara karena pendengaran Ar Reem cukup sensitif, Rayyan tak mau mereka lari berpencar karena ketakutan. Rayyan memicingkan matanya agar lebih fokus kepada hewan buruan. Jarinya mulai bergerak untuk menarik pelatuk. Namun, tepat pada waktu itu, ponsel yang berada di kantong kemeja Imran bergetar.
Imran berusaha mengabaikannya agar tak membuat gerakan yang mengganggu konsentrasi Rayyan yang berada tak jauh darinya. Saat Rayyan menarik pelatuk, terdengar suara yang keras, membuat semua Ar Reem kabur ke segala arah. Tersisa seekor saja yang menunduk dan akhirnya tumbang.
Seorang pemandu memberikan tepuk tangan dan memuji Rayyan. “Tembakan yang bagus.” Dia segera mengambil mobil lalu Rayyan masuk dan mereka menuju ke tempat hewan itu terbaring. Imran yang memutuskan untuk tinggal dan melihat dari kejauhan Rayyan tampak senang melihat Ar Reem yang berhasil ia taklukkan. Hewan
itu hanya tertidur oleh peluru bius. Beberapa jam lagi dia bisa berada di klinik konservasi sampai luka tembaknya sembuh, atau berakhir di meja makan jika pangeran Rayyan memutuskan untuk menyembelih dan menikmati hasil
buruannya.
Imran masih tetap berdiri di tempat dan menarik keluar ponselnya. Kerutan tampak di dahi pengawal berumur empat puluh tahun itu selama mendengarkan laporan dari komandan pasukan khusus. “Dia tidak ingin melepaskan
pisaunya. Wanita itu bersikeras melanjutkan tugasnya sampai selesai. Dan dia berani menerima resikonya setelah ini. Apa yang harus kami lakukan?” lapor si penelepon.
“Apa kamu sudah menanyakan hal ini kepada Jendral Thariq?”
“Tidak, Jendral Thariq belum sampai di sini. Dan saya yakin kalau Jendral Thariq di sini dia tak akan ragu-ragu. Sesegera mungkin dia akan memerintahkan kami menghabisi semua orang yang ada di ruangan ini.”
Ya, Imran sangat menyadari bagaimana sepak terjang Jendral Thariq. Dia tak akan segan-segan menghabisi nyawa siapa pun yang menentang perintahnya atau menghalangi keinginannya.
“Bagaimana? Kami membutuhkan keputusan Raja atau Pangeran,” kata si penelepon yang terdengar buru-buru.
Imran tak mungkin mengganggu sang raja dengan berita ini, Rayyan benar-benar ingin ayahnya beristirahat sehingga bisa sembuh dan sehat. Sedangkan Rayyan tampak baru saja mendapatkan sedikit kebahagiaan. Apakah ia tega akan menghapusnya dengan beban tugas ini?
Imran ingin melihat langsung situasi di medan, jadi bisa membuat keputusan yang lebih baik. Sa'id tidak mungkin ragu-ragu jika masalah ini sangat mudah. Dia bisa saja langsung menarik pelatuk dan semuanya selesai. Imran segera mengalihkan panggilan telepon ke panggilan video. “Aku ingin lihat situasinya, Sersan Sa’id.”
Si penelepon segera mengarahkan kamera ponselnya ke depan sehingga wanita si pemegang pisau terlihat. “Dia tidak bisa berbahasa Julunda,” lapornya.
“Inggris?” tanya Imran memastikan.
“Ya."
“Bisakah kamu mengarahkannya lebih dekat?” tanya Imran.
Dan ketika komandan pasukan yang mendapatkan misi penumpasan keluarga penghianat itu menekan beberapa tombol agar bisa mendapatkan gambar yang lebih dekat.
“Masyaa Allah!” ucap Imran seketika. Sa'id si komandan pasukan melempar pandangan kepada anak buahnya. Mereka terlihat tetap siaga dengan senapan yang mengarah ke depan. Siap untuk menarik pelatuk sewaktu-waktu. Tinggal menunggu aba-aba dari raja ataupun Rayyan dan peluru-peluru mereka akan melesat menumbangkan semua yang ada di ruangan itu.
Imran sangat bersyukur Sa’id tidak langsung menghabisinya. Ya, meskipun dia tentara yang tak diragukan lagi ketajaman pikiran dan kemampuannya memimpin pasukan, tapi hatinya sempat meragu. Imran sangat bersyukur Sa’id masih mengikuti kata hatinya untuk menahan diri.
“Sersan Sa’id,” panggil Imran.
Komandan pasukan khusus itu menghadap kembali kepada Imran. “Siap!”
“Tunggu hingga wanita itu selesai, lalu bawa dia ke base terdekat. Kami akan segera ke sana secepat mungkin.”
“Siap!”
“Jangan sampai dia terluka sedikit pun.” Imran mengatakan kalimat itu dengan tegas dan penuh penekanan.
“Siap!”
“Jaga dia dengan nyawamu.”
Sa’id memang manusia biasa yang bisa merasakan kalau perintah Imran sedikit aneh. Sempat terbesit di dalam benaknya pertanyaan, “Siapa wanita ini sebenarnya?” Tapi tubuh dan pikirannya telah terlatih untuk menaati perintah. Tangan kirinya masih mengepal di udara sedari tadi, sebagai aba-aba agar timnya menahan serangan.
“Siap!” adalah kata terakhir Sa’id sebelum menutup panggilannya. Said menurunkan tangannya yang mengepal dan memberi tanda agar pasukannya mengambil sikap istirahat di tempat. Mereka bisa mendengar perintah Imran melalui ponsel Sa’id jadi mereka tahu apa yang dilakukan selanjutnya.
Tepat saat Imran mengakhiri panggilannya, mobil fasilitas konservasi mendekat lalu berhenti di hadapannya. Rayyan turun dari bagian belakang mobil dengan senyum yang mengembang. Memperlihatkan gigi-giginya yang putih dan terawat.
“Saya telah menemukannya,”adalah kata Imran yang membuat senyum Rayyan menghilang.
Rayyan tahu bahwa suatu saat dia akan bertemu dengan wanita itu. Dia yang dimaksud oleh Imran tidak lain dan tidak bukan adalah si pemilik mata indah yang sekaligus menakutkan. Dia yang selalu menghantui mimpi-mimpinya.
“Di mana dia?”
“Di kamp perbatasan Julunda dan Nu’mani,” jawab Imran, “dan kita harus segera ke sana secepat mungkin, sebelum Jendral Thariq mengambil alih.”
Si pemandu melihat kedua pria di hadapannya, lalu pada Ar
Reem yang tergeletak di bagian belakang mobil jeep-nya. Dia berpikir, Ar Reem
itu tak akan berakhir di meja makan Pangeran Rayyan malam ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Ndhe Nii
the next
2021-07-12
1
Chybie Abi MoetZiy
💞💞💞💞💞
2021-06-27
0
Juan Sastra
mata itu dr putri sang pemberontak
2021-04-16
2