Hari itu, senja turun perlahan seperti napas panjang dunia yang letih.
Langit berwarna oranye keemasan, tapi entah kenapa suasana di istana terasa gelap. Hujan belum turun, tapi udara mengandung aroma khas yang menandakan badai akan segera datang.
Dan aku tahu — setiap kali hujan datang, bayangan masa lalu juga ikut turun.
Sejak latihan pedang beberapa hari lalu, hubungan aku dan Akira sedikit berubah.
Dia tak lagi terlalu dingin, tapi juga belum bisa dibilang hangat. Kami sering bertukar kata, kadang bercanda kecil, tapi masih ada jarak yang tak kasat mata di antara kami.
Sesuatu di matanya selalu mengatakan ada hal yang belum selesai.
Dan hari itu, aku tahu aku akan mengetahuinya.
Aku sedang menata perban dan ramuan ketika Yuna datang dengan wajah cemas.
“Nona Mika, cepat! Pangeran terluka lagi!”
Aku berdiri spontan. “Apa? Di mana dia?”
“Di taman belakang, sendirian!”
Aku berlari secepat mungkin.
Langit mulai gelap, angin membawa daun-daun kering beterbangan.
Di tengah taman, di bawah pohon plum yang sedang gugur, aku melihatnya — Akira, duduk di tanah, tangan kirinya berdarah, dan pedang di sampingnya tergores dalam.
“Akira!” Aku berjongkok di depannya. “Apa yang terjadi?”
Dia tak menjawab. Tatapannya kosong, seperti tidak benar-benar melihatku.
“Akira!” aku menepuk pipinya pelan. “Hei!”
Dia akhirnya berkedip, menatapku dengan mata sayu.
“Hanya… luka kecil.”
“Luka kecil apanya, darahnya segini!” Aku meraih tangannya, membuka kain penutupnya. Luka sayatan di sana panjang dan dalam.
“Apa kau berkelahi?”
Dia diam.
“Dengan siapa?”
“Diriku sendiri.”
Aku menatapnya tak percaya. “Kau serius?”
Dia menunduk, suaranya pelan. “Kadang, hanya dengan rasa sakit aku bisa merasa hidup.”
Kalimat itu membuat dadaku mencubit aneh.
Aku menatapnya dalam diam, lalu mulai membersihkan lukanya.
“Kalau kau mau merasa hidup,” kataku lembut, “ada banyak cara lain selain menyakiti diri.”
Dia tersenyum kecil, tapi pahit. “Kau bicara seperti tahu rasanya kehilangan segalanya.”
“Aku mungkin tidak kehilangan kerajaan,” jawabku. “Tapi aku kehilangan waktu. Dunia. Orang-orang yang bahkan mungkin sekarang mengira aku sudah mati.”
Dia menatapku lama. “Kau rindu dunia asalmu?”
Aku menarik napas. “Setiap malam. Tapi setiap pagi aku juga takut… kalau suatu hari aku benar-benar kembali dan harus meninggalkan tempat ini.”
Hening.
Hanya suara daun plum yang jatuh di antara kami.
“Kenapa kau benci hujan, Akira?” tanyaku akhirnya.
Dia menatap langit yang mulai abu-abu.
“Hujan… adalah saksi dari segalanya yang kotor dan menyakitkan.”
“Maksudmu?”
“Semua yang aku cintai… mati di bawah hujan.”
Dia berdiri perlahan, menatap jauh ke arah istana utama.
“Kau ingin tahu rahasiaku, Mika?” katanya pelan, tapi nada suaranya tajam.
“Aku tidak ingin tahu kalau itu menyakitkan untukmu.”
“Kadang, rasa sakit perlu dibagi, agar tidak membusuk di dalam.”
Dia berjalan pelan ke arah taman batu di sisi barat. Aku mengikutinya.
Di sana, di balik pagar kayu, ada bangunan kecil — seperti kuil pribadi.
“Tempat apa ini?”
“Makam keluarga.”
Kami melangkah masuk. Di dalamnya ada tiga batu besar dengan nama-nama tertulis dalam huruf kuno.
Akira berhenti di depan batu yang paling tengah.
“Di sini ayahku, Kaisar Hayato. Di sebelahnya, ibuku yang pertama. Dan di kanan, adik perempuanku, Ayame.”
Aku menatapnya diam-diam.
“Kau bilang ibumu masih hidup.”
“Permaisuri Mei adalah ibu tiriku,” katanya pelan. “Dia naik tahta setelah ibu kandungku mati… juga saat hujan turun.”
Aku tidak berkata apa-apa. Hanya menunggu.
Akira melanjutkan, suaranya berubah lebih dalam.
“Malam itu, istana terbakar. Aku masih remaja. Ayah sedang sakit parah, dan aku satu-satunya yang bisa memimpin pasukan. Tapi ketika aku kembali dari medan perang… aku hanya menemukan abu.”
Aku bisa melihat tangan kirinya mengepal.
“Ibu dan Ayame terbakar di ruang doa. Tak ada yang tahu siapa yang menyalakan api. Tapi aku tahu… itu bukan kecelakaan.”
“Hujan turun semalaman, tapi tidak memadamkan api itu,” katanya lirih.
“Sejak hari itu, aku membenci hujan. Karena hujan tidak pernah menolongku. Hujan hanya datang untuk mengingatkanku.”
Suara itu pecah di akhir kalimat.
Aku merasa dadaku ikut sesak.
Tanpa berpikir, aku meraih tangannya. “Kau tidak sendirian, Akira.”
Dia menatapku, matanya bergetar. “Kau tidak tahu seperti apa rasanya kehilangan keluarga, Mika.”
Aku menelan ludah. “Kau salah. Aku juga kehilangan keluarga — tapi dengan cara yang berbeda. Aku masih hidup, tapi jauh dari mereka. Mungkin selamanya.”
Kami berdiri di sana dalam diam, di antara batu-batu abu-abu dan langit yang mulai gelap.
Untuk pertama kalinya, aku melihat air mata jatuh dari mata sang pangeran.
Tidak banyak — hanya satu tetes, tapi cukup untuk membuat dunia di sekitarku ikut hening.
“Aku tidak pernah menangis di depan siapa pun,” katanya lirih.
“Kalau begitu, anggap ini pertama dan terakhir.”
Dia menghela napas panjang, lalu menatapku dalam. “Kau benar-benar aneh.”
“Sudah sering dengar itu.”
Kami tertawa kecil, tapi tawa itu cepat hilang saat petir menyambar di kejauhan.
Langit berubah kelabu.
“Badai akan datang,” katanya. “Kita harus kembali.”
Namun sebelum kami sempat melangkah, suara seseorang terdengar dari belakang.
“Yang Mulia!”
Kami menoleh.
Riku berlari tergesa, wajahnya pucat. “Ada kabar buruk. Utusan dari utara dibunuh di perbatasan!”
“Apa?” Akira menegang. “Oleh siapa?”
“Tidak ada yang tahu. Tapi mereka meninggalkan tanda — simbol bangau yang disilang merah.”
Aku menatap lambang di dada Akira — bangau perak.
“Itu lambangmu…” bisikku.
“Ya,” katanya lirih. “Seseorang ingin memancing perang dengan menuduhku sebagai pembunuh.”
Beberapa jam berikutnya, istana berubah seperti sarang lebah.
Prajurit berjaga di setiap pintu, pesan datang dan pergi, dan bisikan mulai menyebar lebih cepat dari api.
“Pangeran ingin menggulingkan Kaisar!”
“Dia membunuh utusan utara!”
“Wanita asing itu yang membawa sial!”
Aku mendengar semuanya dari balik dinding, dan rasanya seperti pisau kecil yang menancap satu per satu.
Tapi aku tidak punya waktu untuk bersedih. Aku harus mencari Akira.
Aku menemukannya di ruang pelatihan, sendirian, menatap pedangnya sendiri.
“Akira,” panggilku pelan.
Dia tidak menoleh. “Kau dengar juga?”
“Ya. Tapi aku tidak percaya.”
Dia tersenyum tipis. “Istana percaya pada apa pun yang membuat mereka merasa aman.”
“Jadi apa rencanamu?”
“Menemukan siapa yang melakukan ini.”
“Bagaimana caranya? Semua orang mencurigaimu.”
“Makanya aku tidak bisa diam.”
Aku melangkah mendekat. “Kalau kau pergi, mereka akan menuduhmu kabur. Biarkan aku bantu.”
Dia menatapku cepat. “Tidak, terlalu berbahaya.”
“Kalau aku bisa menjahit luka di tengah perang, aku bisa bantu menyelidiki gosip.”
“Ini bukan gosip, Mika.”
“Dan aku bukan perempuan lemah, Akira.”
Hening beberapa detik, lalu dia akhirnya menghela napas.
“Baiklah. Tapi jangan jauh dariku.”
Aku tersenyum. “Deal.”
Kami mulai menyelidiki malam itu juga.
Akira mengenakan jubah biasa, tanpa lambang kerajaan, sementara aku memakai mantel tebal milik Yuna.
Kami menyusuri lorong belakang istana menuju gudang penyimpanan dokumen. Di sana, semua catatan diplomatik dan surat-surat utusan disimpan.
“Terlalu tenang,” bisikku.
“Karena semua sedang berdoa di aula barat,” jawabnya.
Kami masuk ke dalam. Akira membuka gulungan surat yang belum sempat dikirim.
Di antara tumpukan itu, aku menemukan satu gulungan dengan segel rusak.
“Apa ini?”
Ia mengambilnya, membuka dengan hati-hati.
Tulisan di dalamnya berbeda — bukan tulisan resmi, melainkan pesan singkat:
“Burung bangau merah akan terbang saat hujan turun. Siapkan tahta baru.”
Aku menatapnya. “Bangau merah?”
“Simbol pengkhianat,” katanya pelan. “Orang-orang yang dulu membunuh keluargaku.”
Sebelum sempat kami bicara lebih jauh, suara langkah terdengar dari luar.
“Cepat, sembunyi,” bisiknya.
Kami bersembunyi di balik rak kayu. Dua orang masuk, berbicara pelan.
Salah satunya berkata, “Permaisuri sudah setuju. Besok malam, mereka akan umumkan penahanan Pangeran.”
Aku menahan napas. Akira memejamkan mata, rahangnya menegang.
Begitu mereka pergi, aku menatapnya.
“Permaisuri Mei… ibumu yang sekarang?”
Dia tidak menjawab. Hanya menatap kosong.
“Akira…”
“Jadi ini akhirnya,” katanya pelan. “Seperti ibuku dulu.”
Aku menggenggam tangannya. “Tidak. Kali ini tidak.”
Dia menatapku, lalu mengangguk pelan. “Kau benar. Tidak lagi.”
Kami keluar diam-diam lewat pintu belakang gudang, berjalan cepat ke taman. Langit sudah gelap, dan rintik hujan mulai turun.
“Dia tahu kita tahu,” kataku.
“Biar saja. Aku tidak akan lari.”
“Jadi apa yang akan kau lakukan?”
“Menunggu.”
“Menunggu apa?”
“Hujan deras.”
Dan seperti menjawabnya, petir menyambar di langit.
Dalam sekejap, hujan turun deras — deras sekali, seperti tirai air yang menelan seluruh istana.
Akira berdiri tegak di tengah hujan, matanya menatap ke arah istana utama.
“Dulu, aku berdiri di sini juga,” katanya pelan. “Saat ibu dan adikku terbakar. Sekarang aku berdiri lagi… tapi kali ini, aku tidak akan diam.”
Aku berdiri di sampingnya, air hujan mengalir di wajahku.
“Kalau kau melawan istana, aku bersamamu,” kataku tegas.
Dia menoleh. “Kau gila.”
“Mungkin. Tapi setidaknya aku gila di sisi yang benar.”
Dia tertawa kecil — tawa pendek di tengah hujan deras.
“Kau benar-benar dari dunia lain.”
“Dan dunia ini beruntung aku tersesat ke sini.”
Dia menatapku lama.
“Mika,” katanya pelan. “Apapun yang terjadi nanti, jangan tinggalkan aku.”
Aku menatapnya balik, dan untuk pertama kalinya aku menjawab tanpa ragu:
“Aku tidak akan pergi.”
Dan di tengah badai itu, untuk sesaat, waktu terasa berhenti.
Hujan menari di antara kami, membawa kenangan dan luka, tapi juga sesuatu yang baru — janji diam antara dua jiwa dari dunia yang berbeda.
Aku tidak tahu apa yang menunggu kami setelah malam itu,
tapi satu hal aku tahu pasti:
Rahasia masa lalu Akira bukan lagi miliknya seorang. Kini, aku juga bagian dari hujan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Luke fon Fabre
Waw, nggak bisa berhenti baca!
2025-11-04
0