Malam di istana itu dingin — bukan hanya karena hujan, tapi karena semuanya terasa asing.
Bau dupa yang menggantung di udara, suara lantai kayu yang berderit setiap kali aku bergerak, dan keheningan yang bahkan bisa membuat detak jantung sendiri terdengar keras.
Aku gak bisa tidur. Setiap kali memejamkan mata, bayangan petir yang menyambar dan wajah dingin Akira muncul di kepala.
“Hujan selalu membawa kematian.”
Kalimatnya terus berputar di pikiranku.
Aku menarik selimut, menatap langit-langit.
“Pangeran aneh…” gumamku pelan.
Dia menyelamatkanku, tapi menatapku seolah aku ancaman. Tapi di balik matanya yang dingin, ada sesuatu. Luka, mungkin. Luka yang disembunyikan di balik wibawa dan tatapan tajamnya itu.
Aku memutuskan keluar kamar. Tidak tahan dengan sunyi.
Koridor istana panjang dan diterangi lentera minyak. Hujan di luar masih turun lembut. Dari jauh, terdengar suara seruling — sendu, tapi indah.
Aku mengikuti suara itu.
Langkahku membawaku ke taman belakang istana. Di sana, di bawah atap kayu kecil yang menghadap kolam, seseorang sedang duduk memandangi air.
Punggung tegap, rambut hitam panjang, dan jubah hitam dengan lambang burung bangau perak.
Tentu saja, itu Pangeran Akira.
Dia memainkan serulingnya dengan tenang, seolah hujan dan malam hanyalah latar dari pikirannya yang jauh.
Nada-nadanya seperti bercerita — tentang kehilangan, tentang seseorang yang takkan kembali.
Aku berdiri di balik tiang kayu, mencoba tidak mengganggu. Tapi langkahku membuat bunyi kecil.
Suara seruling berhenti.
“Sepertinya kau suka menguping,” katanya tanpa menoleh.
Aku mengangkat tangan. “Aku cuma lewat. Lagipula, siapa yang main musik tengah malam begini?”
Dia menoleh sedikit. “Orang yang tidak bisa tidur.”
“Ah, sama.”
Ia menatapku, lalu menepuk lantai kayu di sebelahnya. “Kalau begitu duduklah. Daripada berdiri seperti pencuri.”
Aku menurut.
Hujan turun halus di depan kami, menimbulkan riak kecil di permukaan kolam. Di atasnya, pantulan lentera membuat air terlihat seperti berkilau.
“Kenapa kau masih terjaga?” tanyanya.
“Sulit tidur. Semua ini terlalu… nyata.”
“Masih berharap bisa bangun di dunia asalmu?”
Aku menghela napas. “Kalau aku jujur, iya. Tapi sebagian diriku juga penasaran. Dunia ini… indah, tapi keras.”
Dia tersenyum tipis. “Dunia ini tidak indah. Kau baru melihat kulitnya.”
Hening.
Angin membawa aroma bunga plum yang jatuh di sekitar kami.
“Aku dengar kau benci hujan,” kataku akhirnya.
Matanya memantul cahaya lentera. “Siapa yang tidak? Hujan menghapus jejak, menenggelamkan darah, dan menyembunyikan tangisan.”
“Bagus juga kalau mau bikin puisi,” godaku.
Dia mendengus kecil. “Kau benar-benar tak tahu tempatmu.”
“Tapi aku jujur. Dan kayaknya kau butuh sedikit kejujuran.”
Dia menatapku lama. Tatapannya tajam, tapi tidak menusuk.
“Orang-orang di sini bicara dengan penuh basa-basi. Kau berbeda.”
“Karena aku bukan dari sini.”
“Ya, aku tahu. Kau dari… Tokyo?”
Aku terkekeh. “Kau ingat.”
“Sulit melupakan nama tempat yang terdengar seperti mantra aneh.”
Hujan mulai reda. Aku menarik napas panjang.
“Aku dokter, tahu? Di duniaku, kami menyembuhkan orang. Tapi di sini, kalian pakai mantra dan racikan yang baunya kayak sup basi.”
Dia menaikkan alis. “Sup basi?”
“Ya, ramuan Aiko itu. Aku hampir muntah tadi.”
Akira tertawa kecil. Suara yang baru pertama kali kudengar — rendah, tapi hangat.
“Jangan biarkan dia mendengarnya, bisa-bisa kau dilempar ke dapur kaisar.”
“Lumayan, aku lapar.”
Ia memandangku, seperti menilai apakah aku bercanda atau tidak.
“Wanita sepertimu jarang kulihat. Tak takut, tak tunduk, tapi juga… tak tahu bahaya.”
“Kalau aku terlalu tahu bahaya, mungkin aku gak akan bisa menolong siapa pun,” jawabku cepat.
Dia menatapku dengan ekspresi sulit dijelaskan — antara kagum dan khawatir.
Lalu tiba-tiba, dari arah istana, terdengar suara langkah cepat. Seorang pengawal datang dan berlutut.
“Yang Mulia, panglima Takeshi ingin menghadap.”
Wajah Akira berubah dingin lagi. “Sekarang?”
“Ia bilang penting, mengenai gerakan pasukan utara.”
Akira berdiri. “Bawa dia ke ruang utama.”
Ia menatapku. “Kau, kembali ke kamar.”
“Kenapa? Aku ingin tahu juga.”
“Ini urusan perang.”
“Aku dokter, bukan anak kecil.”
Tatapannya menusuk. “Justru karena kau dokter. Aku tidak ingin kau jadi mayat pertama malam ini.”
Aku membuka mulut untuk membalas, tapi ia sudah pergi, jubah hitamnya berayun.
Sial, pangeran itu terlalu suka mengatur.
Tapi tentu saja, aku tidak patuh.
Aku menyelinap lewat koridor belakang, mencari jalan menuju aula utama. Suara pria-pria berdebat terdengar keras.
“Yang Mulia,” suara berat itu—mungkin Takeshi—berkata, “pasukan utara sudah menyeberang sungai. Mereka tidak akan berhenti sampai menembus istana.”
“Berapa banyak?” tanya Akira.
“Sekitar tiga ribu.”
“Dan kita?”
“Seribu dua ratus.”
Hening sesaat.
“Kalau begitu, kita yang akan membuat mereka datang ke tempat yang kita pilih,” kata Akira datar. “Hujan akan jadi sekutu kita.”
Aku yang bersembunyi di balik pilar nyaris tertawa pelan. Katanya dia benci hujan.
“Yang Mulia,” Takeshi lanjut, “izinkan saya memimpin barisan depan.”
Akira menatapnya tajam. “Aku tahu ambisimu, Takeshi. Tapi kali ini aku yang akan turun.”
“Tidak pantas! Pangeran tidak boleh ke medan perang!”
“Justru karena aku pangeran. Aku tidak akan biarkan prajuritku mati sendirian.”
Suara itu dalam dan penuh keyakinan.
Aku yang mendengarnya jadi diam. Di balik dinginnya, dia punya hati yang keras kepala — dan tulus.
Setelah rapat selesai, para prajurit keluar. Aku buru-buru mundur, tapi ternyata…
“Aku tahu kau di sana, Mika.”
Sial.
Aku muncul dari balik pilar sambil nyengir. “Aku cuma lewat.”
“Lewat di ruang perang?”
“Ya, salah jalan.”
Dia menghela napas panjang. “Kau memang gila.”
“Tapi kau butuh orang gila kayak aku.”
“Untuk apa?”
“Untuk merawatmu kalau kau kena panah.”
Dia hampir tersenyum, tapi menahan diri. “Kalau begitu, siapkan peralatanmu. Kita berangkat besok pagi.”
Aku terkejut. “Apa? Aku ikut perang?”
“Kau bilang dokter, kan? Maka buktikan.”
“Eh—tapi aku bukan—”
Terlambat. Dia sudah melangkah pergi lagi.
Aku berdiri di aula kosong, mendengar gema langkahnya yang semakin jauh.
Entah kenapa, dada ini terasa campur aduk antara takut dan… bersemangat?
Pagi berikutnya, udara lembab dan berkabut. Hujan semalam meninggalkan aroma tanah basah.
Aku diberi pakaian sederhana berwarna krem dan mantel tipis. Yuna, dayang muda yang baru kukenal, membantu mengikat rambutku.
“Kau benar-benar mau ikut Pangeran?” tanyanya gugup.
“Dia yang nyuruh.”
“Dia jarang bawa orang luar. Apalagi perempuan.”
Aku tersenyum. “Berarti aku spesial.”
“Berarti kau nekat,” balasnya lirih.
Kami berangkat tak lama setelah itu. Puluhan kuda berderap di jalan tanah. Di depan, Akira menunggang kuda hitam besar, sementara aku duduk di belakang salah satu pengawal, Riku, yang lebih ramah.
“Pertama kali ke medan perang, ya?” tanya Riku.
“Pertama kali ke masa lalu juga,” sahutku.
Dia tertawa. “Aku gak paham maksudmu, tapi sepertinya kau wanita paling aneh yang pernah kulihat.”
“Terima kasih, itu sudah sering kudengar.”
Di perjalanan, aku sempat menatap Akira dari jauh.
Dia tampak fokus, tenang, seolah sudah terbiasa dengan ketegangan ini. Tapi sesekali, saat hujan gerimis turun, bahunya menegang.
Aku teringat lagi kalimatnya: Setiap kali hujan turun, seseorang mati.
Apa mungkin… dia kehilangan seseorang saat hujan?
Kami berhenti di bukit kecil. Dari sana terlihat dataran luas di bawah, tempat kabut menggantung berat.
“Pasukan utara akan datang dari sana,” kata Riku pelan.
Aku mengangguk. “Dan tugas kita?”
“Menunggu perintah Pangeran.”
Beberapa saat kemudian, Akira menuruni bukit. Dia berjalan ke arahku.
“Jangan jauh-jauh dari tenda medis,” katanya singkat.
“Baik, Yang Mulia Dokter Hunter.”
Dia mengerutkan alis. “Hunter?”
“Lelucon. Lupakan.”
Dia menatapku sesaat, lalu menatap langit. Gerimis turun lagi, tipis, tapi cukup untuk membuat udara jadi dingin menusuk.
“Lihat?” katanya pelan. “Hujan datang lagi. Waktu kita sedikit.”
Aku memegang pergelangan tanganku sendiri, mencoba mengusir gugup.
“Aku akan di sini. Tapi kau juga hati-hati.”
Dia menatapku sekilas. “Aku selalu hati-hati. Kau yang jangan mati sia-sia.”
Dan dengan itu, dia berbalik, memberi aba-aba pada pasukannya.
Sorak-sorai prajurit menggema, mencampur dengan suara hujan.
Aku berdiri di tepi tenda medis, menatap sosoknya yang perlahan hilang di kabut — gagah, dingin, tapi entah kenapa terasa… rapuh.
Untuk pertama kalinya, aku berdoa agar hujan kali ini tidak membawa kematian seperti yang dia takutkan.
Dan dalam hati, aku tahu… pangeran itu bukan hanya benci hujan,
tapi takut pada kenangan yang datang bersamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments