CHAPTER 4

Pernyataan Ethan menggantung di udara, dingin dan absolut. "Aku memindahkanmu ke sini agar aku bisa melihatmu menderita."

Lina kembali ke meja penjaranya dengan lutut gemetar. Kursi kayu itu terasa seratus kali lebih keras dari yang terlihat. Ia menatap tumpukan dokumen tebal berisi jadwal lama dan sebuah buku catatan kosong bersampul kulit.

Ini adalah balas dendam paling kekanak-kanakan, paling kejam, yang pernah ia alami.

Dia ingin aku menderita? Baik. Akan kutunjukkan padanya.

Ada percikan api kecil di dalam diri Lina. Sesuatu yang menolak untuk dipadamkan oleh sikap arogan pria itu. Ia mungkin miskin, tapi ia tidak lemah.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Lina mengangkat gagang telepon kuno itu dan menekan nomor ekstensi Elena yang tertera di halaman pertama buku catatan.

Telepon berdering dua kali sebelum diangkat.

"Elena di sini, lantai 49." Suara ceria itu terdengar lagi.

"Ha-halo, Nona Elena. Ini Lina Anastasya, dari... uh... kantor Presdir Ethan."

Ada jeda singkat. Lina bisa membayangkan Elena memutar bola matanya.

"Ah, si anak domba di sarang serigala," desah Elena, suaranya kini sedikit berbisik. "Apa yang 'Raja Iblis' itu perintahkan sekarang? Menyortir biji kopi berdasarkan warna?"

"Hampir," gumam Lina getir. "Dia ingin saya mengatur ulang seluruh jadwalnya. Memindahkan semua rapat hari Rabu ke Selasa, dan membatalkan semua rapat Selasa."

Keheningan di seberang sana berlangsung lebih lama kali ini.

"...Dia bercanda," kata Elena akhirnya, suaranya datar.

"Saya rasa tidak."

"Lina," kata Elena serius, "jadwal hari Selasa itu penuh dengan rapat investor. Dan hari Rabu adalah jadwal rapat dewan direksi internal. Kau tidak bisa... begitu saja... menukarnya. Itu... itu kekacauan!"

"Dia bilang," kata Lina, menelan ludah, "saya harus menelepon Anda, mendapatkan daftarnya, dan menuliskannya kembali di kertas."

Elena terdengar seperti tersedak. "Menulis... di kertas? Di zaman ini? Ya Tuhan, dia benar-benar ingin menyiksamu. Baiklah, Sayang. Ambil penamu. Siapkan beberapa lembar kertas. Ini akan memakan waktu lama."

Selama dua jam berikutnya, Lina menulis seperti orang kesurupan.

Elena membacakan daftar rapat yang tak ada habisnya. "Oke, pukul 10.00 Selasa, rapat dengan Tim Proyek Delta, 60 menit. Pukul 11.00, video call dengan investor Hong Kong, 90 menit. Pukul 13.30..."

Lina mencoret-coret. Otaknya berputar.

Masalahnya bukan hanya memindahkan. Rapat Rabu yang berdurasi dua jam tidak bisa masuk ke slot Selasa yang hanya satu jam. Membatalkan rapat investor hari Selasa akan seperti kata Elena menimbulkan kekacauan.

Ini bukan tugas. Ini puzzle mustahil yang sengaja dirancang agar ia gagal.

Ruangan raksasa itu kembali hening, hanya menyisakan suara ketikan keyboard Ethan yang stabil dan cepat, serta suara garukan panik pena Lina di atas kertas.

Ethan tidak pernah menatapnya. Sekali pun tidak. Tapi Lina bisa merasakan kehadirannya di setiap tarikan napasnya. Pria itu ada di sana, di singgasananya, mengawasinya dalam diam, menikmati pertunjukan.

Waktu makan siang datang dan pergi. Lina tidak berani bergerak. Perutnya mulai protes, tapi ia mengabaikannya.

Hingga sekitar pukul dua siang, keheningan itu dipecahkan oleh suara yang memalukan.

KRRUUUUUUUK... GUUUU...

Perut Lina mengeluarkan suara protes yang sangat keras, seperti seekor katak raksasa yang sedang marah.

Suara itu bergema di kantor yang sunyi senyap.

Lina membeku seketika. Wajahnya memanas begitu cepat hingga ia merasa bisa merebus air di atas pipinya. Ia tidak berani mengangkat kepala.

Di seberang ruangan, suara ketikan keyboard Ethan berhenti.

Hening.

Satu detik. Dua detik.

Lina ingin sekali lantai marmer itu terbuka dan menelannya hidup-hidup.

Lalu, tanpa sepatah kata pun, ketikan keyboard itu dimulai lagi. Sedikit lebih cepat, sedikit lebih agresif.

Dia mendengarnya. Tentu saja dia mendengarnya. Dia hanya terlalu angkuh untuk mengakuinya.

Ini adalah hari terburuk dalam hidupku, batin Lina.

Waktu menunjukkan pukul lima sore. Jam kerja resmi berakhir. Lina masih menatap buku catatannya yang kini penuh dengan diagram panah, coretan, dan tanda tanya. Kepalanya pusing. Tangannya kram.

Ethan berhenti mengetik. Ia berdiri, merapikan manset kemejanya, dan mengenakan jas baru yang Lina yakin—harganya setara dengan biaya kuliahnya.

Dia berjalan menuju pintu mahoni besar itu, jelas hendak pulang.

"Tu-Tuan Arsenio!" panggil Lina, suaranya serak karena seharian diam. Ia berdiri dengan kaku.

Ethan berhenti, tangan di gagang pintu. Dia tidak berbalik, hanya sedikit menolehkan kepalanya.

"Jadwalnya..." kata Lina, suaranya gemetar karena lelah dan lapar. "Saya... saya belum selesai. Ada terlalu banyak konflik yang tidak bisa saya selesaikan tanpa persetujuan Anda."

Ethan akhirnya berbalik penuh. Matanya sedingin es di Antartika.

"Aku tidak peduli," katanya datar. "Aku mau jadwal itu ada di mejaku besok pagi saat aku datang. Sudah difinalisasi. Dalam format yang rapi di lembar baru. Tanpa coretan."

Mata Lina terbelalak ngeri. "Tapi... tapi jam kerja sudah selesai, Tuan. Dan saya... saya tidak bisa menyelesaikan ini sendirian."

Ethan menatapnya lama. Tatapan itu menelanjangi semua rasa lelah dan putus asanya.

"Aku tidak ingat," katanya pelan, "memberimu izin untuk pulang."

Pintu kayu itu tertutup dengan bunyi klik pelan di belakangnya, meninggalkan Lina sendirian di kantor raksasa yang mulai gelap.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!