NovelToon NovelToon

Menjadi Istri Kedua Pria Beristri

Chapter — 1.

Pagi menyapu halaman rumah keluarga Adrian dengan sinar keemasan yang lembut. Halaman itu dipenuhi mawar putih yang sedang mekar penuh, bunga favorit Aruna. Wanita itu berdiri menyandarkan tubuh pada pagar balkon di lantai dua. Tubuhnya tampak jauh lebih kurus dibanding dulu, meskipun senyuman yang ia kenakan masih kokoh seolah tidak ada yang berubah.

Padahal seluruh hidupnya sedang berubah, sedang menuju akhir yang ia sendiri tidak siap menghadapi.

Tangannya menyentuh perut bagian kiri yang terasa nyeri menusuk, ia meremas gaunnya agar tidak jatuh terkulai. Napasnya memendek, dada seperti dipenuhi batu. Rasa sakit itu semakin sering datang belakangan ini. Obat dari dokter tidak lagi mampu menipu tubuhnya untuk terlihat baik-baik saja.

“Sedikit lagi, Aruna. Sedikit lagi...” Ia bergumam kepada dirinya sendiri, memaksa tubuhnya berdiri tegak. Ada misi yang masih harus ia selesaikan, impian terakhir sebelum ia pergi.

Aruna menatap selembar foto keluarga di genggamannya. Ia, Adrian, dan putrinya—Alima yang tertawa ceria di taman bermain. Foto yang diambil setahun lalu ketika hidup masih terasa utuh dan masa depan tidak terlalu menakutkan.

Sekarang, ia hanya punya hitungan bulan, mungkin lebih singkat. Dokter tidak lagi memberikan harapan dalam kalimat yang manis.

Ada dua hal yang mengikat Aruna bertahan. Cinta pada suaminya, dan putri kecil mereka yang baru berusia lima tahun.

Ia tak bisa membayangkan Adrian hancur sendirian setelah kepergiannya. Ia juga tidak ingin Alima hidup tanpa sosok yang menyayanginya seperti ibu. Ia tahu Adrian bukan tipe pria yang mudah jatuh cinta lagi. Setia itu adalah kebaikan, sekaligus kelemahan dari pria itu.

Satu-satunya cara mempertahankan keluarga ini adalah dengan melepaskan diri dari keluarga itu. Dan membiarkan wanita lain mengisi tempat yang akan ia tinggalkan.

Dari kejauhan, ia mendengar suara langkah kaki.

Adrian baru pulang dari kantor.

“Sayang.” Suara itu terdengar lelah, namun tetap hangat.

Aruna berbalik dan menyisipkan kepedihan jauh ke dalam dadanya. “Kamu sudah pulang.”

Adrian menatap istrinya dengan pandangan yang sulit dibaca. Ia mendekat, mencium kening Aruna lembut. “Kamu baik-baik saja? Kamu kelihatan pucat.”

Aruna tertawa kecil. “Aku hanya kurang tidur.”

Padahal tubuhnya sudah kalah jauh dari kurang tidur saja, Adrian tidak tahu apa pun tentang penyakitnya. Aruna sengaja merahasiakannya, ia tidak mau melihat laki-laki itu menderita sebelum waktunya.

Untuk apa Adrian tahu? Bukankah itu hanya akan membuat setiap detik tersisa penuh air mata?

“Kalau kamu tidak enak badan, bilang. Aku bisa atur pekerjaanku dan tinggal di rumah menemanimu.” Adrian menatapnya serius.

Aruna menatap mata suaminya yang selalu menjadi rumah baginya. “Kamu sudah melakukan banyak hal, aku baik-baik saja.”

Itu adalah kebohongan paling menyakitkan dalam hidupnya.

Di ruang keluarga, Alima berlarian kecil sambil memeluk boneka kelinci lusuh kesayangannya. Gadis kecil itu berhenti tepat di depan Aruna dan menarik gaun ibunya.

“Mama! Alima dapat bintang di sekolah, lihat!” Ia menunjukkan stiker bintang berwarna emas yang ditempelkan di buku gambarnya.

Aruna tersenyum bangga. “Mama selalu tahu kalau Alima pintar, Mama bangga.”

Adrian ikut mengacak rambut putrinya dengan sayang. “Papa bangga juga.”

Keluarga kecil itu terlihat sempurna, semua orang yang melihat pasti menganggap hidup mereka tanpa cela. Tidak ada yang tahu bahwa Aruna tengah berjalan menuju akhir, selangkah demi selangkah tanpa bisa mundur.

“Kalian duduk dulu ya, aku siapkan cemilan.” Aruna perlahan bangkit. Ia menahan sakit yang menyambar tulang punggungnya, tetap mempertahankan senyum agar Adrian tidak ragu.

Saat ia melangkah keluar ruang keluarga, Adrian memandangi punggung istrinya yang mulai membungkuk samar. Ada sesuatu yang tidak beres, ia bisa merasakannya. Namun Aruna selalu menolak saat ia mencoba bertanya lebih dalam. Adrian hanya bisa menyimpan kekhawatiran itu dan berpura-pura tidak melihat apa pun.

Di dapur, Aruna mendekap dadanya. Serangan sakit itu datang lagi, lebih kuat dari yang sebelumnya. Ia terhuyung hingga punggungnya membentur lemari kayu.

Air matanya menetes.

Ia memaksa dirinya agar tak merintih. Dia rak ingin terlihat lemah dan tidak boleh membuat Adrian curiga.

“Aku tidak boleh menyerah.” Suaranya pecah dalam bisikan sangat pelan.

Aruna menarik napas panjang, mencoba menegakkan tubuh. Ia menata dua cangkir minuman di nampan, dan cemilan. Lalu, ia membawanya ke ruang keluarga.

Adrian datang membantu, memperhatikan wajah Aruna lebih lama dari biasanya namun tak mengatakan apapun.

Malam itu setelah menidurkan Alima, Aruna duduk di tepi ranjang di kamarnya. Ia membuka laptopnya, di layar terdapat sebuah daftar berjudul.

Kandidat Babysitter untuk Alima.

Aruna menatap daftar itu lama sekali. Setiap nama, ia periksa satu per satu karakter. Latar belakang, dan rekam hidup calon baby sitter itu. Karena, ia tidak mencari babysitter biasa.

Ia mencari seorang wanita yang tulus, yang tidak serakah, yang mampu membuat Adrian jatuh cinta meskipun harus melalui ribuan salah paham dan dinginnya sikap suaminya nanti.

Aruna menekan tombol panggil pada sebuah nomor yang sudah ia simpan tiga minggu lalu, setelah beberapa nada sambung suara seorang perempuan terdengar di seberang.

“Halo, saya Alana.”

“Halo Alana, saya Aruna. Apakah kamu masih tertarik bekerja sebagai babysitter untuk putri saya?”

Suara Lana terdengar antusias bercampur gugup. “Masih, Nyonya.”

“Besok pagi, kamu bisa datang ke rumah. Saya ingin mengenalmu lebih dekat.”

“Tentu, Nyonya. Terima kasih banyak atas kesempatan ini.”

Percakapan berakhir, Aruna menutup laptop itu dengan tangan bergetar.

“Semoga kamu orang yang tepat.” Ia bergumam.

Suara pintu kamar terbuka. Adrian yang baru saja kembali dari ruang kerja, berdiri di ambang pintu dan memperhatikan Aruna yang buru-buru menghapus air mata.

“Sayang, apa kamu menangis?” Adrian melangkah mendekat, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.

Aruna menggeleng cepat. “Tidak, aku hanya lelah.”

“Kamu tampak berbeda akhir-akhir ini.” Adrian duduk di sampingnya. “Apa ada yang kamu sembunyikan dariku?”

Pertanyaan itu seperti pisau menembus dada Aruna, namun ia tetap memilih berbohong.

“Aku hanya takut Alima cepat besar dan tidak butuh aku lagi.” Ia tertawa kecil, padahal hatinya sangat pedih.

Adrian memeluk istrinya dengan lembut. “Alima akan selalu butuh kamu, aku juga.”

Aruna menutup mata, kata-kata itu bagai racun sekaligus obat. Ia juga ingin selalu ada di samping suami dan putrinya, namun ia lebih tahu dari siapa pun bahwa waktu tidak memihaknya.

Aku ingin kamu bahagia, Mas. Bahkan... setelah aku tiada.

Pelukan malam itu terasa selamanya bagi Aruna, sebab dalam pelukan yang sama ia juga mengucapkan selamat tinggal yang tidak terucap.

Esok pagi akan menjadi awal dari rencana paling gila dalam hidup Aruna, rencana yang tidak pernah terlintas bahkan dalam mimpi terburuknya.

Besok, seorang gadis bernama Alana akan masuk ke rumah ini. Menjadi babysitter, menjadi harapan terakhir.

Menjadi istri kedua dari suaminya.

Tak lama Aruna menatap suaminya yang tertidur di sampingnya dengan damai, ia mengusap rambut Adrian lembut. Dalam hati ia berdoa yang sama setiap malam.

Tuhan, izinkan aku pergi dengan tenang. Pastikan mereka tetap bahagia... setelah aku tiada.

Di balik ketegaran, ia hancur. Di balik cinta, ia sedang belajar melepaskan.

Dan dalam keheningan itu… takdir mulai menggerakkan catur yang akan menguji etika, cinta, dan pengorbanan manusia sampai titik paling rapuhnya.

Chapter — 2.

Pagi berhembus pelan, membawa aroma roti panggang yang baru keluar dari oven. Aruna sudah bangun lebih dulu seperti biasa. Ia menyiapkan sarapan sederhana untuk Adrian dan Alima. Tangannya gemetar beberapa kali saat memotong buah, namun ia selalu berhenti sejenak. Ia menarik napas, lalu tersenyum lagi.

Ia ingin hari ini dimulai dengan baik.

“Bismillah,” pelan ia berdoa sambil mengusap dadanya yang kadang nyeri datang tanpa aba-aba.

Pagi ini, seorang tamu akan datang. Seorang perempuan yang nantinya bisa jadi sumber kebahagiaan keluarga ini begitu ia tiada.

Aruna menggigit bibirnya menahan rasa takut yang menghantui pikirannya. Tak ada jaminan rencananya berjalan mulus, ia hanya berharap Tuhan menguatkannya.

Ketika Adrian turun dari kamar, ia mendapati Aruna sedang membantu Alima memakai sepatu.

“Sayang, kamu bangun pagi sekali,” ucap Adrian, memandang istrinya dengan tatapan lembut.

“Aku ingin segera membuat sarapan untuk kalian berdua,” jawab Aruna lembut.

Adrian tidak membalas lagi, ia hanya mengeluvs kepala kecil putrinya lalu duduk untuk menyantap sarapan.

Suasana tenang itu berubah ketika suara bel terdengar.

Ting-tong.

Aruna berdiri perlahan. “Dia datang.”

Adrian mengernyit. “Siapa?”

“Seseorang untuk membantu menjaga Alima.” Aruna mencoba membuatnya terdengar wajar.

Adrian menatap Aruna cukup lama, tapi ia tidak curiga lebih jauh. “Baiklah, mari lihat.”

Aruna berjalan ke pintu. Jantungnya berdebar, entah karena gugup atau karena tubuhnya kembali protes dengan rasa sakit. Saat pintu dibuka, seorang gadis muda berdiri di sana menarik napas gugup sebelum tersenyum.

Wajah gadis itu manis dan polos, rambut hitam panjangnya diikat sederhana. Pakaian yang dikenakannya sangat rapi, meski terlihat murah. Ia jelas datang dari latar belakang sederhana.

“Halo, Nyonya… Saya Alana. Panggil saya, Lana.”

Aruna tersenyum lembut. “Selamat datang, Lana. Silakan masuk.”

Alana melangkah masuk sambil menunduk sopan pada Adrian yang berdiri sedikit jauh di ruang tamu. Adrian sekilas mengangguk sebagai bentuk sambutan tanpa banyak bicara.

“Papa galak ya, Mah?” Alima berbisik pada ibunya sambil memandangi Alana dengan rasa penasaran.

Aruna menahan tawa kecil. “Itu wajah seriusnya Papa, jangan dibilang galak.”

Adrian mengerling. “Aku bisa dengar itu.”

Mereka tertawa kecil, suasana mencair sejenak.

Kemudian Aruna mengajak Alana duduk di ruang keluarga. Gadis itu tampak canggung, tangannya menggenggam tas kecilnya erat-erat.

“Sebelumnya, terima kasih sudah datang.” Aruna memulai dengan suara selembut kapas. “Aku ingin mencari seseorang yang bisa menemani Alima saat aku atau suamiku sibuk.”

Alana mengangguk dengan sopan. “Saya akan melakukan yang terbaik, Nyonya.”

Aruna mengamati sorot mata Lana, mata yang tulus. Ia berharap ketulusan itu tetap ada sampai akhir nanti, apa pun yang terjadi.

Adrian memperhatikan dua wanita itu dari samping meja makan, ia merasa ada yang janggal dari ini. Aruna tidak pernah membahas soal babysitter sebelumnya, seolah keputusan ini terlalu tiba-tiba.

“Sebenarnya, aku masih bisa mengurus Alima meskipun sibuk.” Gumam Adrian pelan, namun cukup keras terdengar Aruna.

Aruna menatap suaminya dengan senyum tenang. “Aku tahu, tapi aku pikir kita butuh bantuan tambahan.”

Adrian tidak ingin membantah istrinya di depan orang lain. Ia memilih diam, meskipun dalam hati ia tidak sepenuhnya setuju.

Alana memandang keduanya bergantian, lalu ia menunduk lagi karena takut salah bicara.

Aruna melanjutkan, “Lana, maukah kamu menemani Alima hari ini untuk bermain sebentar? Aku ingin melihat bagaimana kalian cocok satu sama lain.”

“Tentu, Nyonya.”

“Alima, panggil Mbak Lana ya.“

Alima segera menarik tangan Alana. “Main boneka ya, Mbak Lana!”

Alana tersenyum sungguh-sungguh. “Baik, ayo.”

Keduanya berlari kecil ke ruang tengah dan mulai bermain. Tawa Alima mengisi ruangan, membuat suasana yang sempat tegang meluruh.

Aruna menatap Adrian yang kini berdiri bersedekap.

“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Aruna pelan, mencoba mengukur respon suaminya.

Adrian menghela napas. “Aku hanya merasa semuanya terjadi tiba-tiba, kamu bahkan tidak membahas ini dengan aku.”

Aruna menunduk, mengusap pergelangan tangannya yang terasa pegal. “Aku hanya ingin meringankan bebanmu.”

Adrian terpaku. Hatinya langsung melembut, meski ia masih tidak sepenuhnya paham.

Aruna tersenyum kecil lagi. “Cobalah percaya padaku.”

Adrian mengangguk pelan. “Aku selalu percaya padamu.”

Kalimat itu seperti tamparan lembut bagi Aruna, karena ia sedang merencanakan sesuatu yang akan menghancurkan perasaan pria itu.

Siang hari, Alana membantu menyiapkan makan siang. Aruna sengaja memberi beberapa pekerjaan ringan untuk melihat ketelitian gadis itu.

Alana gesit dan sangat berhati-hati. Ia selalu bertanya sebelum melakukan sesuatu, menunjukkan hormat dan tata krama.

Malam hari, Alana pamit pergi setelah seharian membantu. Alima memeluknya sebelum ia keluar rumah.

“Besok datang lagi ya, Mbak Lana.” Pinta anak itu.

Alana tersenyum. “Kalau Mama dan Papa Alima izinkan.”

Aruna mengangguk. “Kamu sudah diterima, tentu saja kamu harus datang lagi.“

Adrian tidak memberikan komentar apa pun selain anggukan singkat. Ia masih ragu, meski tidak menyukai cara dirinya menilai gadis itu terlalu cepat.

Saat Alana melangkah pergi, angin malam menggerakkan ujung bajunya seolah mengantar perubahan besar pergi dari halaman rumah itu.

Setelah menidurkan putri mereka, keduanya kembali ke kamar utama.

Ketika pintu kamar tertutup, Aruna berdiri memandangi Adrian yang tengah membuka kancing manset bajunya.

“Kamu tidak suka Lana?” tanya Aruna pelan.

Adrian menatap istrinya. “Aku hanya belum mengenalnya, dan aku... tidak ingin orang asing terlalu dekat dengan keluarga kita.”

Aruna tersenyum lembut. “Aku mengerti.”

Ia berjalan mendekat, lalu menyentuh pipi Adrian dengan jemarinya yang dingin. "Lana hanya akan membantu.”

Adrian menatap wajah istrinya yang kini terlihat pucat di bawah cahaya lampu. Aruna seperti menyimpan beban sangat besar, namun menutupi semuanya dengan ketenangan.

“Aku janji akan selalu menjaga kalian,” ucap Adrian pelan.

Aruna menatap suaminya lama, wajahnya teduh namun sepasang matanya mengandung duka yang dalam.

“Aku tahu, Mas. Kamu selalu menjaga kami. Hanya saja, suatu hari nanti… kamu mungkin butuh seseorang yang bisa menjaga kamu juga.”

Adrian menyentuh tangan Aruna yang masih berada di pipinya. “Aku tidak butuh siapa pun selain kamu.”

Kalimat itu seindah doa, namun bagi Aruna itu adalah pisau yang menusuk pelan ke hatinya. Ia tersenyum, senyuman yang dipenuhi rasa syukur dan rasa sakit di saat yang sama.

“Kita lihat takdir nanti bagaimana,” bisik Aruna lirih.

Adrian tidak mengerti maksud kalimat istrinya. Saat ia ingin bertanya, Aruna justru menyandarkan kepala ke dadanya dan merangkulnya erat seperti seseorang yang tidak ingin kehilangan pelukan terakhirnya.

Malam itu setelah suaminya tidur, Aruna menatap langit-langit kamar dalam gelap. Tubuhnya mulai berdenyut sakit lagi, ia menggigit bibir hingga terasa asin karena darah.

Sambil memejamkan mata, ia berkata dalam hatinya.

Ya Tuhan… kuatkan aku. Biarkan aku menyelesaikan semua ini sebelum waktuku habis.

Tekad Aruna mantap, namun waktu tidak pernah bisa diajak berdamai.

Besok, Alana akan kembali. Dan perlahan, rumah ini akan berubah menjadi tempat ujian bagi semua orang. Tanpa disadari, konflik itu sudah mulai berjalan. Dan tidak ada... jalan untuk kembali.

Chapter — 3.

Sinar matahari menembus jendela ruang tamu, memantul pada lantai yang mengilap. Alima berlari kecil menyambut Alana yang baru tiba di pagi hari.

“Mbak Lanaaa!” seru anak itu dengan tawa renyah.

Alana terkesiap tapi bahagia, lalu membungkuk menyambut pelukan kecil itu. “Selamat pagi, Alima.”

Aruna mengamati dari meja makan dengan hati yang hangat. Sekecil apa pun kebahagiaan putrinya, ia akan mengingatnya dalam ingatan. Menyimpannya seolah kenangan itu akan menjadi bekal di alam berbeda nanti.

Alana memusatkan perhatian pada Alima, anak itu menariknya ke arah tumpukan mainan. “Ayo main puzzle! Mama bilang aku harus belajar sabar.”

Alana tertawa kecil. “Kita belajar sama-sama ya.”

Aruna mengamati keduanya, ada perasaan lega menyelinap. Ketika melihat Alana bersama Alima, ia bisa merasakan seluruh alasan yang mendorongnya melakukan semua ini. Luka di tubuhnya seolah sedikit mereda.

Aruna ingin duduk lebih lama, namun tiba-tiba dadanya kembali terasa sesak. Ia bangkit pelan, berusaha agar langkahnya tetap stabil menuju dapur. Ia tidak ingin Alana atau Alima melihat wajahnya saat sakit itu datang.

Di dapur, Aruna bersandar pada meja dan menekan dada kirinya di dekat jantung. Nafasnya terputus-putus kecil, ia menggigit bibir bawah agar tidak terdengar.

Beberapa detik, mungkin satu menit. Lalu perlahan rasa sesak itu menjauh. Aruna menutup mata, mengatur napas, dan memaksa hatinya untuk tetap kuat.

Suara langkah mendekat mengejutkannya.

“Nyonya?”

Alana berdiri di ambang pintu, wajahnya menunjukkan kekhawatiran tulus. “Apa Anda baik-baik saja?”

Aruna langsung tegak dan memaksakan senyum yang sempurna. “Aku baik, hanya sedikit pusing.”

Alana menatapnya, ragu namun tidak mendesak. “Kalau Nyonya mau, saya bisa buat teh manis hangat.”

Aruna merasa dadanya menghangat oleh perhatian sederhana itu. “Terima kasih, Lana. Kamu baik sekali.”

“Sama-sama, Nyonya.“ Alana bergerak sigap, mengambil gelas dan merebus air. Aruna memperhatikan gerakan gadis itu yang teratur dan berhati-hati. Ia melihat sesuatu yang jarang dimiliki orang, yaitu ketulusan bekerja bukan hanya karena upah.

“Apa yang membuatmu mau bekerja sebagai pengasuh anak seperti ini?” pertanyaan itu meluncur begitu saja, sebenarnya dia sudah tau latar belakang Alana.

Alana terdiam sesaat sebelum menjawab pelan, “Saya perlu pekerjaan untuk membantu ibu saya di kampung, Ayah saya sudah meninggal. Ibu sakit-sakitan, jadi saya harus bisa mengirim uang setiap bulan untuk berobat.”

“Kamu anak yang baik, Lana.”

Alana tersenyum canggung. “Saya hanya melakukan apa yang harus dilakukan.”

Teh manis hangat itu disodorkan Alana padanya, Aruna mengambilnya dengan kedua tangan seperti menerima sebuah kebaikan besar.

Siang itu, Alana dan Alima bermain di halaman depan.

“Lihat Mbak Lana! Bunga itu mekar!”

Alima menunjuk bunga mawar yang baru merekah, Alana merunduk melihat bunga itu lebih dekat.

“Cantik sekali, ya. Sama seperti Alima,” pujinya.

Anak itu terkikik bahagia. Ia memetik satu kelopak yang terjatuh ke tanah dan menaruhnya di telapak tangan Alana. “Ini buat Mbak, supaya Mbak Lana tetap sama Alima di sini.”

Ucapan polos itu menusuk lembut hati Alana, ia mengeluvs rambut Alima. “Mbak akan berusaha tetap di sini, selama Alima mau.”

Aruna menyaksikan dari jendela, matanya berair tanpa ia sadari. Setiap hari yang ia lewatkan bersama keluarga itu adalah waktu yang ia curi dari penyakit yang sedang menelannya sedikit demi sedikit.

Ia memegang perutnya lagi, badannya bergetar. Ia tahu waktunya semakin menipis. Namun ia tetap ingin melihat Alima tertawa, dan melihat Alana benar-benar menjadi bagian dari hidup anak itu.

Hari itu terlihat biasa bagi semua orang, kecuali satu. Aruna merasa jam hidupnya berdetak lebih keras. Namun seperti biasa, ia menyembunyikannya dengan senyum tenang.

Alana sedang menjemur pakaian Alima ketika Aruna memanggilnya dari ruang keluarga.

“Lana… bisakah kamu datang sebentar?”

Lana langsung bergegas. “Ya, Nyonya?”

Aruna menatap lemari tempat baju Adrian tersimpan. “Aku ingin mengajari kamu sesuatu. Ini mungkin terdengar sepele, tapi penting bagi suamiku.”

Alana mengangguk serius.

Aruna membuka lemari dan mulai menunjukkan susunan pakaian yang sangat rapi. “Adrian tidak suka jika kemejanya dilipat sembarangan, ia selalu mengurut pakaian kerja dari warna paling gelap... ke paling terang. Kemeja biru tua favoritnya, harus diletakkan di paling depan.”

Alana menatap pola itu dan menyimpannya dalam ingatan.

“Baik, Nyonya.”

Aruna tersenyum lembut. “Kamu cepat belajar, itu sangat membantuku.”

Nada Aruna terdengar seperti seorang kakak yang mengajari adiknya untuk menjadi lebih mandiri. Namun sebenarnya, ia sedang menyiapkan Alana menjadi penjaga dunia yang akan ia tinggalkan.

Sesi berikutnya berlangsung di dapur.

Alana baru selesai mencuci sayur ketika Aruna meletakkan dua cangkir di meja.

“Kamu tahu… Adrian hanya terbiasa minum kopi di pagi hari. Dan Itu, harus menggunakan coffee maker. Suamiku, agak cerewet soal itu.“

Aruna lalu mengajarkan Alana menggunakan mesin kopi, Alana mengikuti dengan cermat.

Mereka mencicipi hasil kopi itu bersama.

Alana mengernyit pelan. “Agak pahit, Nyonya.”

“Suamiku tak terlalu suka manis, itu artinya takarannya sudah benar,” jawab Aruna tersenyum.

Wajahnya pucat, tapi ada kepuasan kecil dalam matanya. Kini, satu tugas lagi telah berpindah tangan.

Menjelang siang, Alana membantu Aruna duduk di ruang tamu sambil menjahit kancing yang copot di salah satu kemeja Adrian.

“Kancingnya harus dijahit dari dalam, bukan dari luar. Suamiku tidak suka bekas jahitan terlihat.”

Alana mengangguk. “Saya mengerti.”

“Nyonya… Tuan Adrian sangat mencintai Anda. Itu bisa dilihat dari cara Tuan menatap Anda.”

Aruna tersenyum samar. “Benar, dia sangat mencintaiku. Karena itu lah, aku harus melakukan semua ini. Cinta... tidak bisa menahan seseorang dari takdirnya.”

Alana perlahan mendongak. “Maksud, Nyonya?”

“Tidak apa-apa,” jawab Aruna lembut. “Ohya, mulai besok kamu tinggal disini. Tidak perlu kost lagi, ya.“

“Tapi, Nyonya...“

“Gak ada tapi-tapian, bisa hemat uang juga kan. Uang buat sewa kost, bisa kamu kirim jadi tambahan ke Ibumu.“

Akhirnya Alana mengangguk, esoknya dia pun membawa barang-barangnya dan mulai tinggal di rumah Aruna.

Saat berdua saja, Aruna mencium rambut putrinya. “Kalau suatu hari Mama tidak bisa bangun pagi untuk menyiapkan bekal atau mengikat rambut Alima, Mbak Lana akan bantu, ya?”

Anak kecil itu mengangguk polos.

Aruna memejamkan mata sejenak, agar air matanya tidak jatuh di depan anaknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!