"Dia siapa? Kok aku belum pernah lihat ?" batinnya bertanya.
"Najwa?" gumam Zidan pelan, matanya tak lepas dari sosok sepupunya itu.
"Oh, jadi ini yang namanya Najwa?" ucap Aira lirih untuk dirinya se diri sambil menatap tamu itu dari ujung kepala hingga kaki.
"Assalamualaikum, Kak Zidan. Apa kabar?" sapa Najwa ramah sambil tersenyum.
"Waalaikumsalam. Alhamdulillah, aku baik. Kamu bagaimana? Kapan pulang dari Kairo?" jawab Zidan hangat.
"Ah, ngobrolnya nanti dilanjut lagi, ya," sela Bu Zubaidah sambil tersenyum tipis. "Zidan, ganti baju dulu. Aira, bantu Ibu buatkan minuman dan camilan untuk Najwa, ya?"
"Iya, Bu. Sebentar, Aira pakai hijab dulu," jawab Aira pelan.
Di Kamar
Setelah ibunya berlalu, Zidan kembali masuk dan menutup pintu. Ia melihat Aira sedang gugup memilih hijab yang cocok. Melihat kegugupan istrinya, Zidan mendekat, lalu memegang tangan Aira dan menghentikan gerakannya.
"Eh, Abang, bikin kaget saja," ujarnya gugup.
"Sini, Abang pengin peluk kamu dulu," ucap Zidan lembut.
Zidan menarik Aira ke dalam pelukannya. Ia memeluk erat sang istri agar Aira tidak terlalu tegang. Aira pun membalas pelukan itu, merasa tenang dalam dekapan suaminya.
Zidan mengusap punggung istrinya dengan lembut, lalu memberi kecupan singkat di pucuk kepala Aira.
"Apa kamu mengizinkan Abang menemui Najwa?" tanya Zayn pelan.
Aira menunduk. Ia sebenarnya tidak suka mendengar suaminya akan dijodohkan dengan wanita lain, tetapi ia juga tidak berani melawan ibu mertuanya. Yang bisa ia lakukan hanyalah diam, menerima semuanya dengan pasrah.
Zidan mengangkat dagu istrinya, menatap mata Aira dengan lembut, membuat wanita itu semakin gugup.
"Kenapa harus izin, Abang? Dia itu kan saudaramu. Temui saja," ucap Aira akhirnya sambil menunduk lagi.
Di Ruang Keluarga
Tak lama kemudian, semua sudah berkumpul di ruang keluarga. Aira dibiarkan sendiri menyiapkan minuman dan camilan, sementara Bu Zubaidah, Zidan, dan Eva duduk berbincang dengan Najwa.
Dari dapur, Aira bisa mendengar jelas percakapan mereka. Ia berhenti sejenak, menahan napas ketika mendengar ucapan ibu mertuanya.
"Gimana, Najwa? Kamu mau, kan, jadi istri kedua Zidan?"
"Bu--" potong Zidan cepat, tidak ingin pembicaraan itu berlanjut.
Namun Bu Zubaidah tetap bersikeras, sementara Najwa hanya menunduk malu, meski senyum kecil tak bisa ia sembunyikan.
"Najwa terserah Kak Zidan saja, Tante. Bagaimanapun, ini juga menyangkut istri pertamanya," jawab Najwa sopan, walau dalam hati ia memang mengharapkan Zidan sejak dulu.
"Kamu tidak usah pikirkan soal Fahira. Dia pasti setuju apa pun keputusan Zidan," ucap Bu Zubaidah dingin.
Deg... deg... deg...
Jantung Aira berdebar kencang mendengar kata-kata itu. Tangannya gemetar saat membawa nampan berisi cangkir teh dan camilan ke ruang tamu.
Melihat Aira datang, Zidan segera berdiri dan menghampirinya.
"Sini, biar Abang yang bawa. Kamu duduk saja," ucapnya lembut.
Sesuai permintaan suaminya, Aira pun duduk di sebelah Zidan. Zidan sengaja menunjukkan kepada Najwa bahwa Aira adalah istri yang sangat ia cintai. Ia bahkan merangkul bahu Aira di hadapan Najwa.
Namun berbeda dengan Zidan, Bu Zubaidah justru menatap menantunya itu dengan pandangan tajam. Tatapan sinis yang jelas menunjukkan ketidaksukaannya pada Aira.
Melihat Fahira yang dimanjakan oleh putranya membuat Bu Zubaidah bergumam lirih.
"Manja!" gerutunya pelan setelah melihat Fahira duduk di sebelah Zidan.
"Najwa, aku minta maaf atas apa yang sudah Ibu ucapkan. Aku tidak ada niat untuk berpoligami. Fahira juga sebenarnya bisa hamil, hanya saja karena terlalu lelah mengurus pekerjaan rumah, jadi sedikit sulit untuk memiliki keturunan. Kandungannya memang agak lemah, tapi kami masih punya harapan untuk memiliki anak," jelas Zidan, menegaskan ucapannya agar Najwa tidak lagi berharap.
"Kau cantik dan masih muda, tentu banyak pria yang ingin menjadikanmu istri. Tapi sampai kapan pun, aku tidak akan menikahi wanita lain selain Fahira. Maafkan aku, Najwa. Jadi, tolong-- jangan lagi mendengarkan rayuan ibuku," lanjut Zidan dengan nada tegas.
Perkataan itu membuat Bu Zubaidah tersentak. "Zidan! Jaga ucapanmu! Perkataanmu bisa membuat Najwa sakit hati!" pekiknya sambil berdiri dan menatap tajam putranya.
Namun Zidan tetap berusaha tenang. Ia tak ingin bersikap kurang ajar kepada ibu yang telah melahirkannya.
Suasana yang semula hangat seketika berubah menjadi tegang. Najwa dan Eva ikut berdiri, berusaha menenangkan Bu Zubaidah yang mulai tersulut emosi.
Sementara itu, Fahira masih duduk di tempatnya, menunduk dalam diam, berusaha keras menahan air mata agar tidak jatuh.
"Bu, sudahlah. Apa Ibu tidak memikirkan perasaan Fahira? Ibu selalu menekannya di rumah ini dengan menyuruh dia mengerjakan semua pekerjaan rumah. Aku tahu tujuan Ibu membuatnya lelah agar dia semakin sulit hamil, kan?" ujar Zidan dengan nada kecewa.
"Jaga ucapanmu, Zidan!! Lagian kenapa sih kamu ini? Setiap hari yang kamu pikirkan hanya Fahira! Fahira! Fahira! Apa kamu tidak memikirkan Ibu yang ingin segera punya cucu?!" teriak Bu Zubaidah, suaranya meninggi dan bergetar menahan tangis.
"Bu, aku memikirkan Fahira karena dia istriku. Aku juga memikirkan Ibu karena Ibu adalah ibuku. Tapi bukan dengan cara seperti ini untuk mendapatkan keturunan," sahut Zidan masih berusaha sabar.
"Aaah, sudahlah! Lagi-lagi Fahira! Malas Ibu mendengar namanya! Lihat istrimu itu! Tidak ada menarik-menariknya sama sekali. Sudah kurus, pucat, tak berisi, bau, dan tidak bisa merawat diri!"
"Cukup, Bu!" bentak Zidan, berdiri dan menatap ibunya tajam. "Aku masih berusaha menghormati Ibu di sini! Tapi kalau Ibu sekali lagi berani menjelek-jelekkan istriku di depan orang lain, aku tidak segan akan membawa ibu kembali pulang ke kampung!"
Napas Zidan terdengar menderu menahan emosi. Setelah itu, ia menoleh ke arah istrinya dan menarik tangannya pelan.
"Ayo, Aira, kita masuk kamar. Kau masih sakit, harus istirahat," ujarnya lembut.
Meski sedang emosi, Zidan tetap berusaha bersikap lembut pada Fahira. Ia selalu berusaha sabar terhadap ibunya dan adiknya, namun perlakuan mereka yang terus menekan membuatnya akhirnya kehilangan kendali.
Fahira berdiri dan mengikuti langkah suaminya yang masih menggenggam tangannya erat, membawanya masuk ke kamar. Zidan benar-benar tidak tega melihat istrinya terus-menerus diperlakukan seperti itu oleh ibunya sendiri.
Kasihan Fahira---
Apakah dia akan membujuk suaminya agar tetap menuruti keinginan sang ibu untuk menikah lagi?
Atau justru dia akan pergi meninggalkan suaminya demi kebahagiaan Zidan dan Najwa?
Kita tunggu kelanjutannya di up selanjutnya, ya.
See you!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Deyuni12
jahat ikh mertuanya,mulutnya kaya cabe lebih dr sekilo yg udah d rajang,,bikin emosi
2025-10-29
1