Hening yang tadinya hanya menggantung di antara mereka kini berubah menjadi sesuatu yang lebih berat. Shaka menatap amplop putih di atas meja itu lama, lalu tanpa satu kata pun, tangannya terulur dan mengambil amplop tersebut. Amara menatapnya tenang, namun dalam dadanya jantung berdetak cepat, antara lega dan takut.
Namun hanya butuh tiga detik bagi semua ketenangan itu hancur. Shaka merobek surat itu tepat di depan matanya. Kertas itu terbelah dua, lalu empat, hingga serpihannya jatuh di lantai seperti salju yang menandakan akhir musim.
“Shaka!” seru Amara, berjalan mendekat lagi ke arah Shaka. Tatapannya tajam, nada suaranya meninggi.
“Kau pikir dengan merobek itu semuanya selesai?!”
Shaka menatapnya tajam. “Aku tidak akan menandatangani perceraian ini.”
Amara mendengus tak percaya. “Apa maksudmu?”
“Selama aku belum mengizinkanmu, selama keinginan keluarga belum terpenuhi, kau tetap istriku, Amara!” Nada Shaka tegas, dalam, dan menusuk.
“Dan kalau aku tidak peduli dengan keluarga itu?” balas Amara cepat.
“Kalau aku memilih diriku sendiri, bukan mereka?!”
Shaka maju satu langkah. “Amara...”
“Jangan panggil namaku seperti itu!” Untuk pertama kalinya, Amara membentaknya.
Suara yang selama ini lembut kini berubah menjadi tajam, memotong udara yang tegang.
“Lima tahun, Shaka! Lima tahun aku menunggu kau mencintaiku. Tapi setiap kali aku berusaha, kau bahkan tak pernah melihat ke arahku!”
Shaka menatapnya, rahangnya mengeras. “Kau tidak tahu apa-apa tentangku, Amara.”
“Benar! Karena kau tidak pernah membiarkanku tahu!” teriak Amara, matanya mulai berair. “Aku istrimu, tapi aku selalu merasa seperti orang luar di hidupmu!”
Shaka tiba-tiba melangkah cepat, menarik pergelangan tangan Amara hingga tubuh wanita itu terdorong ke dinding.
“Cukup, Amara!”
“Tolong lepaskan aku!” Amara berusaha melepaskan diri, tapi genggamannya terlalu kuat. Suara napas keduanya berbaur, penuh emosi, dan tiba-tiba Shaka menciumnya. Paksaan itu begitu cepat, begitu keras, hingga Amara menahan napas, tubuhnya menegang menahan rasa sakit dan marah yang berbaur jadi satu. Ia mencoba mendorong, tapi Shaka semakin menekan.
“Lepas!” Amara menjerit dan mendorong dadanya sekuat tenaga. Tangannya terangkat tanpa sadar,
Plak!
Tamparan itu keras, bergema di ruangan yang sunyi. Shaka kemudian terdiam, pipi kirinya memerah. Amara menatapnya dengan mata bergetar namun penuh keberanian.
“Jangan pernah lakukan itu lagi.” Suaranya rendah, namun menggigil karena emosi.
“Aku bukan boneka yang bisa kau kendalikan dengan ego dan amarahmu.”
Shaka menatapnya lama, lalu berkata dingin, “Aku tidak akan menceraikanmu, Amara. Bukan sampai keluargamu memberi apa yang mereka janjikan.”
Mata Amara menatapnya tak percaya. “Jadi ini semua tentang kesepakatan? Tentang kekuasaan, bukan perasaan?”
“Jangan naif,” ucap Shaka pelan, tapi suaranya tajam seperti belati. “Kita berdua tahu pernikahan ini bukan soal cinta sejak awal.”
Air mata jatuh dari mata Amara, dia menatap suaminya dengan pandangan yang kali ini benar-benar kosong. Bukan karena lelah, tapi karena tidak ada lagi yang tersisa untuk diperjuangkan.
“Kalau begitu,” katanya pelan sambil mengambil tasnya yang tadi terjatuh.
“Anggap saja hari ini aku menepati janjiku yang terakhir.”
Shaka menatapnya pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hanya suara langkah Amara yang menjauh, dan pintu apartemen yang menutup keras menjadi saksi betapa retaknya dua hati yang dulu pernah saling berjanji. Beberapa detik setelah itu, Shaka berdiri diam di ruang tamu, menatap kertas-kertas robek di lantai. Hujan di luar semakin deras, dan di dalam dadanya,
Keesokan paginya.
Bandara pagi itu dipenuhi hiruk pikuk khas hari kerja. Suara roda koper beradu dengan lantai marmer, seruan petugas check-in, dan deru mesin jet yang bergemuruh di kejauhan.
Namun di antara semua kesibukan itu, ada dua orang yang berjalan di lorong yang sama dengan jarak seperti dua benua. Kapten Shaka Wirantara melangkah gagah dengan seragam lengkapnya.
Di belakangnya, Amara, sebagai pramugari yang selalu tampak profesional, berjalan dengan wajah datar, tak sedikit pun menoleh. Keduanya tampak seperti rekan kerja biasa di mata orang, bukan suami istri yang semalam hampir saling menghancurkan.
Beberapa pramugari berbisik pelan, kagum pada sosok Shaka yang dikenal tegas dan disiplin. Tak ada yang tahu bahwa di balik tatapan dingin pria itu, ada badai yang belum selesai.
“Amara,” suara berat itu memecah hening ketika mereka sudah berada di ruang briefing. Shaka menghampirinya, namun Amara tak bergeming. Dia sibuk menelaah rute penerbangan di tangannya.
“Kita perlu bicara,” kata Shaka pelan, mencoba menahan nada emosinya.
“Di sini tempat kerja, Kapten,” balas Amara tanpa menatap, suaranya tenang namun tajam.
“Kalau urusan pribadi, simpan sampai setelah jam terbang.”
Shaka mendesah frustrasi. “Kau tahu aku tidak mau semua ini berakhir begitu saja.” Amara akhirnya menatapnya, matanya dingin.
“Lucu, kau baru peduli setelah aku ingin pergi?”
Sebelum Shaka sempat menjawab, suara langkah cepat terdengar dari arah pintu.
“Mas Shaka!”
Shaka menoleh spontan, Karina datang dengan seragam baru berwarna biru muda pramugari pelatihan baru di bawah naungan keluarga Wirantara. Rambutnya dikuncir rapi, namun senyum manisnya terlalu berani untuk ukuran tempat kerja.
“Oh, Kapten, aku tadi disuruh Divisi HR datang ke sini langsung,” ujarnya ceria sambil mendekat.
“Katanya aku akan di bawah pengawasan tim penerbangan Kapten Shaka sendiri. Wah, senang banget akhirnya bisa kerja bareng!”
Nada manjanya membuat beberapa rekan lain saling pandang. Amara menunduk, berusaha menyembunyikan ekspresi getir yang hampir pecah. Shaka mengerjap, tampak tak nyaman.
“Karina, ini ruang briefing, bukan tempat untuk...”
“Tapi aku cuma ingin menyapa,” sela Karina lembut, lalu menepuk lengan Shaka ringan. “Sudah lama banget, kan, kita nggak bicara banyak?”
Tatapan Amara seketika naik, dingin, tajam, dan menahan amarah. Ia menutup map rute penerbangan dengan bunyi yang keras, lalu berdiri.
“Permisi,” katanya datar. “Aku ada yang harus disiapkan.”
Shaka menatap punggung Amara yang menjauh tanpa kata. Ia tahu Amara marah, tapi tak tahu harus memulai dari mana. Dan Karina, yang kini berdiri di depannya dengan senyum manis itu, tampak puas melihat pemandangan barusan.
Beberapa jam kemudian, pesawat mengudara. Shaka sekali lagi melirik ke arah Amara yang berdiri di antara para penumpang .
Shaka ingin berbicara, tapi setiap kali melihat profil wajah Amara yang tenang namun dingin, lidahnya kelu. Ia tahu ia sudah melukai perempuan itu terlalu dalam.
Dan dari kursi belakang, Karina sesekali mengirim pesan lewat intercom internal, berpura-pura ingin menanyakan instruksi penerbangan, tapi nada suaranya terlalu manja untuk sebuah urusan kerja.
Amara sudah cukup lama menunggu cinta Shaka tumbuh. Namun kini, setiap kali melihat Karina di dekatnya, Amara hanya tahu satu hal, ia sudah tak ingin menunggu lagi.
Malamnya, di ruang pilot lounge yang sepi, Shaka kembali mencari Amara. Namun kali ini, wanita itu hanya menatapnya datar sebelum beranjak pergi tanpa sepatah kata pun. Langkah Amara tegas, seperti seseorang yang sudah menyiapkan jalan keluar dari sebuah penjara bernama pernikahan. Dan untuk pertama kalinya, Shaka benar-benar takut, bukan karena kehilangan karier, tapi karena menyadari bahwa mungkin, Amara sedang benar-benar berlatih untuk pergi tanpa menoleh lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Naufal Affiq
ini kan sudah keinginan mu shaka,jadi sudah di kabulkan amara,jadi apa lagi yang kurang,wanitamu sudah datang,apa lagi gas lah,tapi karina yang kau cinta,perjuangkan lah,mau muntah aku melihat sifatmu
2025-10-26
1
Wulan Sari
mb Amara yang kuat, menurut ku lebih baik mb Amara berhenti kerja dan pergi menjauh saja dari pada pernikahan lima tahun cuma menyakitkan....
ayo Thor buat mb Amara bisa bahagia dengan versinya heee lanjut Thor semangat 💪 salam sukses selalu 👍🙏
2025-10-26
2
Oma Gavin
Shaka jgn egois bukankah kamu yg minta seperti ini itu cinta sejati mu adik angkat mu sdh nempel kayak lintah, sendiri amara legowo melepaskan shaka jgn sesali apapun tetap focus masa depanmu sendiri amara
2025-10-26
0