02. Ada sesuatu di hati yang sulit dijelaskan.

Pagi itu udara masih basah oleh sisa hujan malam. Aroma kopi dan avtur bercampur di ruang briefing bandara, menciptakan suasana yang hanya dimengerti oleh para awak pesawat yang sudah terbiasa dengan ritme dunia penerbangan.

Shaka Wirantara, kapten penerbangan termuda yang disegani di maskapai itu, berdiri di depan papan jadwal. Seragam putihnya rapi tanpa cela, topi hitam dengan emblem emas terpasang sempurna di tangan kirinya. Wajahnya datar, tenang, dan berwibawa seperti biasa.

“Penerbangan pagi ini rute Jakarta–Osaka. Estimasi durasi delapan jam. Cuaca relatif baik, hanya sedikit turbulensi di perairan Laut Cina Selatan,” katanya, suaranya tegas tapi datar. Semua mata awak kabin menatapnya dengan hormat.

Di antara mereka, Amara duduk di kursi barisan depan. Seragam pramugarinya senada dengan langit pagi, biru tua, elegan, dan berjarak. Ia mendengarkan dengan tenang, tanpa ekspresi, seolah tak mengenal sosok yang sedang memberi instruksi di depannya.

Hanya sedikit orang yang tahu, bahwa pria yang mereka panggil Kapten Shaka adalah suaminya yang sah. Namun di lingkungan kerja, Shaka tak pernah mengumumkan pernikahan mereka. Baginya, kehidupan pribadi dan profesional adalah dua dunia yang tak boleh bersinggungan. Atau mungkin, Shaka hanya tak ingin siapa pun tahu bahwa istrinya adalah wanita yang ia nikahi karena paksaan keluarga.

“Semua sudah jelas?” tanya Shaka.

“Siap, Kapten,” jawab seluruh kru kompak.

Shaka menatap sekilas ke arah Amara. Tatapan singkat, dingin, dan nyaris tanpa arti. Amara menunduk pelan, menahan segala sesuatu yang ingin meledak di dalam dadanya. Mereka berjalan beriringan menuju pesawat, tapi jarak di antara keduanya lebih lebar daripada jarak antara kokpit dan kabin.

Setiap langkah Shaka tegap dan tegas, sementara Amara melangkah anggun namun hati-hati, memastikan tidak ada satu gerak pun yang bisa menimbulkan pertanyaan dari rekan kerjanya.

Di dalam pesawat, semua berlangsung seperti biasa. Shaka masuk ke kokpit bersama kopilotnya, Kapten Dimas, sahabatnya sejak akademi penerbangan.

Sementara Amara mulai memberi instruksi pada awak kabin, senyumnya ramah tapi matanya kosong. Sesekali suara Shaka terdengar dari pengeras suara, memberi instruksi pada penumpang. Suara yang sama yang tadi malam bergetar di telinganya dengan nada kemarahan. Amara terdiam setiap kali mendengarnya, tapi cepat-cepat menenangkan diri, memastikan tidak ada yang curiga. Ketika pesawat mulai menembus awan putih, Shaka menatap ke depan tanpa ekspresi. Kokpit sunyi kecuali suara instrumen yang terus berdengung.

“Capek, Kapten?” tanya Dimas, berusaha mencairkan suasana.

Shaka hanya tersenyum tipis. “Tidak, hanya kurang tidur.”

Ia tidak akan pernah bercerita apa pun. Tentang malamnya, tentang pernikahan yang tak diinginkannya. Tentang perempuan yang kini duduk di kabin belakang, memakai seragam yang sama, tapi menanggung beban yang berbeda.

Sementara di kabin, Amara tersenyum pada penumpang, menyapa satu per satu dengan sopan. Namun di balik senyum itu, ada luka yang mulai menebal menjadi dinding. Ia tidak akan lagi menunggu cinta dari Shaka. Tidak lagi berharap sesuatu yang bahkan sejak awal tidak pernah ada.

Mungkin, pikirnya lirih, cinta memang tak harus datang dari pria yang sama setiap hari ia temui. Mungkin, di langit setinggi ini, ia hanya perlu belajar mencintai dirinya sendiri.

Udara di dalam kabin terasa stabil. Pesawat melaju di ketinggian 37.000 kaki, menembus awan putih yang lembut seperti kapas. Lampu kabin telah diredupkan, sebagian besar penumpang mulai beristirahat.

Amara memeriksa lorong kabin dengan tatapan profesional. Setiap kursi ia lewati, setiap senyum ia berikan dengan ketulusan yang terlatih. Dari luar, tak ada yang aneh. Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang bergemuruh.

Tadi malam masih jelas di kepalanya, bagaimana Shaka menarik tangannya, bagaimana suaranya yang dingin mengucapkan kalimat yang seakan menampar harga dirinya.

"Berikan aku anak, Amara. Itu saja yang keluarga ini butuh darimu."

Dia menarik napas dalam-dalam, menahan air mata yang sempat menggenang. Tidak, dia tidak akan menangis di tempat kerja. Dia adalah Amara Marvionne. Bukan wanita lemah yang akan tumbang karena cinta sepihak. Keluarga Marvionne adalah orang yang paling disegani oleh banyak orang, namun Shaka tak pernah tahu jika Amara bagian dari keluarga itu.

“Miss Amara, penumpang di kursi 7B terlihat pucat,” ujar salah satu pramugari muda sambil berbisik.

Amara segera menghampiri. Seorang pria paruh baya terlihat memegangi dadanya, napasnya tersengal. Refleks profesional yang ia latih selama bertahun-tahun langsung bekerja.

“Pak, tarik napas perlahan. Bisa saya bantu duduk lebih nyaman?”

Suara Amara tenang dan lembut, seolah ia bukan wanita yang sedang berperang dengan perasaannya sendiri. Namun ketika denyut nadi pria itu melemah, Amara segera menekan interkom.

“Kapten, di sini Amara. Penumpang 7B membutuhkan bantuan medis darurat, kemungkinan serangan jantung.”

Dari kokpit, suara Shaka langsung terdengar. Tegas dan cepat.

“Baik, lakukan CPR sementara. Saya minta tim medis disiapkan di bandara Osaka. Tahan posisi, saya akan bantu koordinasi dari sini.”

Amara langsung berlutut, membuka kotak P3K dan mulai melakukan CPR dengan teratur. Keringat menetes dari pelipisnya, tapi pandangannya fokus. Tangan-tangan mungilnya menekan dada pria itu dengan kekuatan penuh, tanpa gentar.

Setelah beberapa menit yang terasa panjang, napas si penumpang mulai stabil. Tepuk tangan kecil terdengar dari sekitar.

Namun Amara tak tersenyum, ia hanya menutup mata sejenak, menenangkan diri. Dari kokpit, Shaka memperhatikan layar kamera internal yang menyorot kabin.

Matanya tak lepas dari sosok Amara yang berlutut di tengah lorong pesawat, wajahnya tenang dan tabah. Ada sesuatu yang tiba-tiba mengoyak dadanya.

Bukan karena rasa kagum semata, tapi karena Shaka tahu, itu bukan pertama kalinya wanita itu menyelamatkan seseorang dengan nyawanya sendiri sebagai taruhan.

Ia tak tahu kenapa bisa terlintas pikiran itu, tapi ada desiran aneh di dadanya.

“Kapten?” Dimas memanggil, membuat Shaka tersentak.

“Ya?”

“Kau kelihatan tegang, semua baik-baik saja?”

“Ya,” jawab Shaka cepat, menatap lurus ke depan lagi. “Semua terkendali.”

Tapi hatinya tidak, beberapa jam kemudian, pesawat mendarat mulus di Osaka. Penumpang yang sakit langsung dibawa tim medis setempat, sementara para kru menurunkan penumpang lainnya dengan sigap.

Shaka turun paling terakhir, berdiri di ujung tangga pesawat, menatap kru-nya satu per satu dengan pandangan profesional. Amara lewat di depannya, membawa tas kecil, masih dengan senyum lelah tapi tulus.

“Kerja bagus,” katanya pelan, suaranya datar.

Amara menatapnya sebentar. “Terima kasih, Kapten.”

Satu detik, hanya satu detik, pandangan mereka bertaut. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Shaka merasa dadanya sesak. Senyum tipis di wajah Amara terlihat asing, tapi juga hangat.

Malam itu, di kamar hotel pilot dan kru, Shaka berdiri di balkon, memandang langit Osaka yang bersinar oleh cahaya kota. Ia membuka ponselnya, menatap foto pernikahan yang sudah lama tersimpan. Foto yang tak pernah ia buka selama lima tahun. Wajah Amara di foto itu tersenyum lembut di sampingnya.

[Datang ke kamarku, sekarang!]

Shaka mengirim pesan pada istrinya yang berada di kamar lain.

Terpopuler

Comments

Fitra Sari

Fitra Sari

lanjuttt thorr ...harus doubel 🙏🤭😊

2025-10-25

1

Elin Lina

Elin Lina

Baru dua bab aja udh nyesek thooorr bacanya.. lanjuuuttt

2025-10-25

0

siti maesaroh

siti maesaroh

shaka ada desiran aneh apakah mulai tumbuh benih" cintrongnya ya? trus mau apa coba nyuruh istrinya dtng katanya g cinta

2025-10-27

1

lihat semua
Episodes
1 01. Berikan aku anak!
2 02. Ada sesuatu di hati yang sulit dijelaskan.
3 03. Mas Kapten, ayo bercerai!
4 04. Tidak akan menunggu seseorang yang sedang membuat luka lebih dalam
5 05. menjaga jarak itu penting dari orang yang membuat luka.
6 06. Dalam dua hari itu tidak mudah memutuskan hubungan tanpa cinta
7 07. Kadang pergi itu lebih baik dari pada tinggal hanya untuk terluka
8 08. Mau kamu gu-gurkan atau pertahankan anak itu?
9 09. Meski jarak memisah sementara, namun ke khawatiran itu ada.
10 10. Meski dia kembali aku akan berusaha merebut - Karina
11 11. Sekali lagi kau lebih percaya dia dari pada aku!
12 12. Sampai bertemu di pengadilan, Mas Shaka.
13 13. Meskipun aku pergi setidaknya aku akan membawa pengkhianat itu bersama
14 14. Amara siapa kamu?
15 15. Belajar menghargai sebelum kamu kehilangan, Mas.
16 16. Kenapa hanya selalu aku yang salah?
17 17. Jika aku kehilangan anakku, orang satu satunya yang salah adalah kamu!
18 18. pergilah ke adik kesayanganmu, Mas!
19 19. Siapa yang pandai bermain seperti ini?
20 20. Kamu tak pernah mau berada dipihakku kan, Mas?
21 21. Pergi tanpa menoleh
22 22. Menyesal pun tiada guna
23 23. Shaka buang berlian demi serpihan kaca
24 24. Tiga bulan kemudian
25 25. Penyesalan itu selalu datang terlambat
26 26. Meskipun jauh orang yang dikhawatirkan Amara tetap Shaka
27 27. Enam Tahun Kemudian
28 28. Dia...
29 29. Jangan pergi ... Amara
30 30. Cucu kami masih hidup?
Episodes

Updated 30 Episodes

1
01. Berikan aku anak!
2
02. Ada sesuatu di hati yang sulit dijelaskan.
3
03. Mas Kapten, ayo bercerai!
4
04. Tidak akan menunggu seseorang yang sedang membuat luka lebih dalam
5
05. menjaga jarak itu penting dari orang yang membuat luka.
6
06. Dalam dua hari itu tidak mudah memutuskan hubungan tanpa cinta
7
07. Kadang pergi itu lebih baik dari pada tinggal hanya untuk terluka
8
08. Mau kamu gu-gurkan atau pertahankan anak itu?
9
09. Meski jarak memisah sementara, namun ke khawatiran itu ada.
10
10. Meski dia kembali aku akan berusaha merebut - Karina
11
11. Sekali lagi kau lebih percaya dia dari pada aku!
12
12. Sampai bertemu di pengadilan, Mas Shaka.
13
13. Meskipun aku pergi setidaknya aku akan membawa pengkhianat itu bersama
14
14. Amara siapa kamu?
15
15. Belajar menghargai sebelum kamu kehilangan, Mas.
16
16. Kenapa hanya selalu aku yang salah?
17
17. Jika aku kehilangan anakku, orang satu satunya yang salah adalah kamu!
18
18. pergilah ke adik kesayanganmu, Mas!
19
19. Siapa yang pandai bermain seperti ini?
20
20. Kamu tak pernah mau berada dipihakku kan, Mas?
21
21. Pergi tanpa menoleh
22
22. Menyesal pun tiada guna
23
23. Shaka buang berlian demi serpihan kaca
24
24. Tiga bulan kemudian
25
25. Penyesalan itu selalu datang terlambat
26
26. Meskipun jauh orang yang dikhawatirkan Amara tetap Shaka
27
27. Enam Tahun Kemudian
28
28. Dia...
29
29. Jangan pergi ... Amara
30
30. Cucu kami masih hidup?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!