Bab 3 — “Langkah ke Dunia yang Tak Pernah Sama”

Pagi itu, udara masih basah oleh embun. Burung-burung di atap rumah tetangga bersahutan riang, seolah dunia begitu ringan. Tapi tidak untuk Alda. Gadis itu berdiri di depan kaca kecil kamarnya kaca buram, dengan pigura retak di salah satu sisinya. Kaca itu satu-satunya benda peninggalan almarhum ibunya yang masih tersisa di kamar ini.

Ia merapikan rambut panjangnya yang tergerai, lalu menatap bayangan dirinya. “Hari ini… aku mulai cari kerja,” gumamnya, lebih untuk meyakinkan diri sendiri.

Malam sebelumnya, tuduhan gelang emas itu masih membekas tajam di hatinya. Betapa mudahnya orang-orang di rumah itu memperlakukannya seperti sampah, padahal rumah dan harta yang mereka pakai adalah warisan orang tuanya sendiri.

“Kalau aku terus di sini… aku bakal hancur,” ucapnya pelan. “Jadi hari ini aku harus keluar.”

Di ruang tamu, Bibi Ratna sedang duduk di sofa sambil mengipasi diri dengan koran. Sinta duduk di sebelahnya, memainkan ponsel. Mereka berdua bahkan tidak menyadari bahwa gadis itu sedang lewat.

“Bibi,” kata Alda hati-hati. “Aku mau keluar bentar.”

“Ngapain?” suara Bibi Ratna ketus. “Kerja rumah belum selesai.”

“Aku udah beresin semuanya semalam,” jawab Alda. “Aku cuma… mau cari kerja.”

Sinta langsung menyembur tawa. “KERJA?” ujarnya dengan nada mengejek. “Siapa yang mau nerima kamu kerja? Kamu gak punya pengalaman, gak punya ijazah kuliah, gak punya modal. Kerja apa? Jadi tukang sapu?”

Alda menatapnya datar. Dulu, kata-kata seperti ini akan membuat hatinya ciut dan bibirnya bungkam. Tapi pagi ini… rasanya lain. Kata-kata Sinta seperti angin lewat saja.

“Ya, mungkin tukang sapu juga gak masalah,” ucap Alda ringan. “Yang penting halal.”

Bibi Ratna mendengus. “Kalau kau keluar, jangan bawa malu keluarga. Ingat, kau tinggal di rumah ini cuma numpang.”

‘Rumah ini punyaku,’ Alda ingin berteriak seperti itu. Tapi ia hanya menghela napas, menguatkan hatinya. Ia tahu berdebat dengan mereka sama saja seperti mengobrol dengan tembok: percuma.

“Baik, Bi. Aku pergi dulu.”

Ia melangkah keluar. Tapi sebelum pintu tertutup, suara Sinta menggema. “Jangan lupa bawa cermin kecil ya, biar nanti pas ditolak kerja kamu bisa ngaca dan sadar diri.”

Alda tidak menoleh. Tapi dalam hati, ia berkata pelan, “Tunggu saja, Sinta. Suatu hari nanti, kau yang akan melihatku dari bawah.”

Jalanan kota pagi itu ramai. Para karyawan berseragam rapi tergesa ke kantor. Penjual bubur dan kopi berjejer di trotoar. Bus kota berhenti dan berangkat, suara klakson bersahutan.

Alda berdiri di halte dengan map plastik biru di tangan. Isinya hanya fotokopi ijazah SMA dan surat lamaran sederhana yang ia ketik di warnet semalam. Tidak banyak, tapi cukup untuk mencoba.

Ia melamar ke beberapa tempat. Mini market, toko roti, café kecil, bahkan pabrik konveksi di pinggiran kota. Tapi jawaban yang ia dapat selalu sama:

 “Maaf, kami butuh yang punya pengalaman.”

“Maaf, kami sudah ada orang.”

“Maaf, kami gak nerima pegawai baru bulan ini.”

Lama-lama, hatinya terasa lelah. Tapi anehnya, bukan lelah menyerah melainkan lelah dengan kenyataan. Kenyataan bahwa dunia tidak pernah memberi ruang bagi orang seperti dirinya: yatim piatu, miskin, dan tidak punya siapa-siapa yang mendukung.

Siang menjelang. Matahari mulai terik. Keringat mengalir di pelipisnya. Alda duduk di bangku taman kota dengan map di pangkuan. Ia menatap langit biru yang membakar matanya.

“Papa, Mama…” bisiknya lirih. “Kalau kalian masih ada, mungkin hidupku gak akan kayak gini.”

Tapi dunia tidak menjawab. Hanya suara angin yang melintas.

Ia melangkah lagi. Kali ini ke sebuah restoran cepat saji di sudut jalan. Resepsionis muda dengan make up tebal menatapnya dengan pandangan menilai dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Lowongan crew?” tanya Alda.

“Udah ditutup minggu lalu,” jawab resepsionis ketus. “Lain kali datang lebih cepat.”

“Terima kasih,” jawab Alda, walau hatinya perih.

Langkahnya terasa semakin berat. Tapi dalam dirinya, ada tekad yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Mungkin karena ia benar-benar sudah berada di titik nol.

Sore mulai turun, tapi ia belum juga dapat pekerjaan.

Ia duduk di pinggir jalan, menatap lampu lalu lintas yang berganti dari hijau ke kuning lalu merah. Angin sore mengusap wajahnya pelan. Sekilas, Alda merasa hidupnya seperti lampu lalu lintas itu: berhenti di merah terlalu lama, tak pernah mendapat giliran hijau.

“Aku capek, Ma… Pa…” bisiknya lirih, “aku capek banget.”

 

Alda menyeberang jalan perlahan, pikirannya kosong. Di tangan kirinya masih tergenggam brosur lowongan yang mulai kusut. Di telinga, hanya terdengar suara mesin kendaraan dan klakson.

Ia tidak sadar… dari arah kanan, sebuah truk melaju terlalu cepat. Sopirnya panik, remnya tak berfungsi sempurna.

“AWASSS!!” teriak seseorang dari pinggir jalan.

Waktu seperti berhenti.

Alda menoleh.

Sorot matanya membeku ketika kilatan besi besar itu mendekat.

BRAKKKK!!!

Tubuh Alda terpental beberapa meter, darah mengalir di aspal. Orang-orang menjerit, berlari, menelpon ambulans. Seseorang menggenggam tangannya tapi matanya mulai meredup.

Dalam kesadaran yang memudar, Alda melihat langit. Awan-awan yang tadi lembut kini seperti memudar jadi putih menyilaukan. Dunia seolah menjauh darinya.

“Ma… Pa…” bisiknya. “Aku nyusul…” lalu gelap

...----------------...

Rumah sakit. Sirene. Lampu menyilaukan. Semua kabur seperti mimpi buruk. Dokter dan perawat berlarian, suara monitor berdentang.

“Tekanan turun!”

“CPR cepat!”

“Dia kehilangan banyak darah!”

Tapi tubuh Alda semakin dingin. Jantungnya berhenti berdetak. Mesin monitor berubah menjadi garis lurus panjang.

“Waktu kematian… 19.04,” suara dokter terdengar berat.

Semua terdiam sejenak.

Gadis itu… benar-benar mati.

 

Saat semua orang di ruang ICU mulai keluar, sebuah keheningan menyelimuti ruangan. Tubuh Alda terbaring diam, wajahnya pucat seperti porselen. Namun di tempat lain di dimensi yang tak bisa dijelaskan manusia ada sesuatu yang bergerak.

Sebuah jiwa… melayang.

Jiwa itu bukan Alda.

Itu adalah Aurora, seorang wanita konglomerat yang mati karena pengkhianatan suami dan selingkuhannya. Ia seharusnya pergi ke tempat lain. Tapi entah bagaimana, sebuah cahaya menariknya… ke tubuh gadis malang itu.

“Apa ini…?” bisik Aurora dalam kehampaan. “Tubuh siapa ini…? Kenapa… terasa sakit…?”

Suara jantung berdetak perlahan. Tuk… tuk… tuk…

Monitor di samping tempat tidur berbunyi lagi.

Perawat yang lewat di lorong terkejut. “Ap... Apa… pasien kamar 304 ini… barusan sudah—”

Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, mata Alda atau lebih tepatnya, Aurora dalam tubuh Alda terbuka perlahan. Tatapannya tajam, dalam, bukan tatapan gadis malang yang lemah lagi.

“Hmm…” bibirnya bergerak kaku, suara pertama terdengar pelan tapi tegas. “Tubuh muda… tapi terasa berbeda.”

Aurora bangkit perlahan dari ranjang, membuat perawat panik berlarian. “Pasien hidup lagi!! Pasien bisa berdiri...hsntu...” teriak seseorang.

Tapi Aurora hanya tersenyum miring. Senyum yang tidak pernah dimiliki Alda.

Tatapannya bukan kepasrahan. Tatapannya… seperti ratu yang kembali merebut tahtanya.

 

Beberapa jam kemudian, Aurora yang kini berada dalam tubuh Alda duduk menatap jendela rumah sakit. Ia sudah mengingat semuanya. Cara ia mati. Suaminya. Kekayaannya yang ia sembunyikan. Dan sekarang… ia punya tubuh baru.

“Siapa pun gadis ini… kau beruntung tubuhmu jadi tempat aku kembali,” gumamnya pelan. “Aku tidak akan hidup sebagai orang lemah.”

Ia meraih kaca kecil di samping ranjang, melihat wajah Alda. Wajah polos dan cantik itu kini menjadi wajahnya. Aurora tersenyum sinis. “Wajah yang indah. Tubuh muda. Dunia… siap atau tidak, aku datang lagi.”

Langkah kaki terdengar. Bibi Ratna dan Paman Joko datang terburu-buru. Sinta di belakang mereka, matanya melebar seperti lihat hantu.

“ALDA??!” jerit Bibi Ratna. “Kamu… kamu kan udah—”

“Udah apa, Bi?” Aurora menjawab dengan suara datar tapi tajam. “Udah mati?”

Bibi Ratna terdiam.

Sinta mundur setapak.

Paman Joko menatap bingung, keringat dingin menetes di pelipisnya.

Aurora menyeringai tipis. “Yah, sayang banget ya… aku gak semudah itu mati.”

Sinta bergidik. Nada suara Alda… berubah. Tatapan matanya bukan tatapan sepupu malang yang biasa ia hina. Tatapan itu menusuk. Penuh kepercayaan diri.

Dalam hati Aurora berbisik: "Mulai sekarang… ini hidupku. Aku akan membalas semua orang yang pernah meremehkan. Dan aku akan bangun kerajaan Bisnisku lagi… dari tubuh gadis ini."

Langit malam tampak gelap di luar jendela rumah sakit. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidup Alda… atau Aurora malam itu bukan lagi malam penuh tangis.

Itu adalah malam kelahiran sosok baru.

Bersambung

Terpopuler

Comments

Ilfa Yarni

Ilfa Yarni

ooo ada oroh lain yg masuk ketubuh Alda roh yg tersakiti krn pengkhiatan suaminya bagus lanjut thor

2025-10-23

0

Lydia

Lydia

Lanjut Author. Terima Kasih

2025-10-24

0

Rosmayanti 80

Rosmayanti 80

lanjut Thor

2025-10-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!