BAB 3: RETAKAN PADA GIPSUM

Rania praktis berlari keluar dari lorong sempit yang menyesakkan itu.

Begitu kakinya menyentuh trotoar jalan raya utama, rasanya seperti menembus permukaan air. Deru klakson, geraman mesin diesel, dan pekikan rem yang tiba-tiba terasa *terlalu keras*, menyerang telinganya setelah keheningan pekat di toko Bapak Yusuf.

Dia menyandarkan punggungnya yang basah oleh keringat dingin ke pilar jalan layang yang dingin dan berjamur. Napasnya pendek-pendek.

"Tempat gila," gumamnya. "Orang gila. Pekerjaan gila."

Bayaran tiga kali lipat. Itu yang dia ulang-ulang dalam kepalanya. Tiga kali lipat bayaran berarti dia bisa mengurung diri di apartemennya selama tiga hari penuh, tidak menjawab telepon, dan berpura-pura dunia di luar tidak ada. Sebuah kemewahan yang pantas didapat setelah berurusan dengan... *itu*.

Dia memeriksa gawainya. Layar itu masih berkedip-kedip bingung. Sinyal GPS-nya melompat-lompat liar, menempatkan lokasinya di tengah sungai, lalu di atas gedung parlemen, sebelum akhirnya menyerah dan menunjukkan lingkaran abu-abu kosong.

"Sialan," desisnya. Dia tahu jalan pulang. Dia *adalah* peta. Tapi ketergantungan dunia modern pada teknologi yang rapuh ini selalu membuatnya muak.

Perjalanan pulang adalah sebuah siksaan sensorik.

Rasa dingin yang dia rasakan dari kotak di kafe Reza, dan yang semakin menusuk saat dia menyentuh mangkuk porselen berdebu itu, kini tidak lagi menempel di kulitnya.

Rasanya jauh lebih buruk. Rasa dingin itu ada *di dalam* tulangnya.

Itu adalah rasa dingin yang baja, rasa dingin yang steril, seperti udara di ruang operasi. Tidak peduli seberapa erat dia memeluk tangki bensin motornya yang hangat, rasa dingin internal itu tidak mau hilang.

Setiap kali dia berhenti di lampu merah, dia akan melirik bayangannya di spion. Refleksi di helmnya terlihat normal. Tidak ada yang tertinggal. Tidak ada yang *lag*.

"Kurang tidur," katanya pada bayangan di helmnya, suaranya teredam. "Cuma itu. Kurang tidur dan terlalu banyak kafein."

Dia menyalahkan Bapak Yusuf. Dia menyalahkan Reza dan obsesi mitos urbannya. Dia menyalahkan klien misterius itu. Dia menyalahkan siapa saja kecuali kemungkinan yang paling menakutkan: bahwa ada sesuatu yang *salah* dengan realitas itu sendiri.

***

Apartemen studio Rania terletak di lantai empat sebuah bangunan tua tanpa lift. Ini adalah tempat yang dia pilih dengan sengaja. Bukan karena murah—meskipun itu juga—tapi karena *jujur*.

Bangunan itu jujur tentang usianya. Catnya mengelupas, menampakkan plesteran asli di bawahnya. Pipa-pipa air terekspos, berkarat di sambungannya. Lantai ubinnya retak-retak. Itu adalah arsitektur yang telah *hidup* dan tidak malu menunjukkannya.

Studio kecilnya adalah cerminan dari idealismenya yang hancur.

Di satu sisi, berantakan: tumpukan pakaian kotor, piring bekas sarapan tiga hari lalu, dan kotak-kotak paket kosong.

Di sisi lain, tertata dengan presisi yang obsesif: Buku-buku teks arsitektur *mahal*—*Neufert's Architects' Data*, *A Pattern Language*, *Towards a New Architecture*—tersusun rapi, digunakan sebagai penopang monitor komputernya. Di sudut, sebuah kursi Eames imitasi yang dia beli dengan gaji pertamanya sebagai arsitek magang, kini ditutupi jaket kurir. Dan di mejanya, di samping laptop yang tertutup debu, ada satu-satunya benda berharga miliknya: sebuah lampu meja *Artemide Tizio* asli. Sebuah ikon desain.

Sarkasmenya yang paling dalam dicadangkan untuk dirinya sendiri. Dia bisa menganalisis kegagalan struktural sebuah jembatan hanya dengan melihatnya, tapi dia tidak bisa mencuci piringnya sendiri.

Dia membanting kunci di atas meja, debu beterbangan. Dia menendang sepatunya hingga membentur dinding.

Hal pertama yang dia sadari adalah keheningan.

Apartemennya selalu berisik. Nyonya Tjitro di sebelah selalu menyetel sinetron dengan volume maksimal. Pipa-pipa selalu berdesis dan mengerang.

Malam ini, semuanya... *teredam*.

Seolah-olah seseorang telah membungkus seluruh unit apartemennya dengan lapisan kapas tebal. Dia bisa mendengar suara sinetron itu, tapi suaranya terdengar jauh, seperti berasal dari balik dinding yang sangat, sangat tebal.

Dia berjalan ke jendela, mengintip ke jalanan di bawah. Mobil-mobil bergerak seperti biasa. Tidak ada yang aneh.

"Oke, Rania," katanya pada ruangan yang sunyi. "Kamu resmi kelelahan."

Rasa dingin di tulangnya kini bercampur dengan rasa lelah yang luar biasa, rasa lelah yang terasa seperti racun di pembuluh darahnya. Dia hanya ingin mandi air panas dan tidur selama seminggu.

Dia melangkah ke kamar mandi kecilnya. Ubin keramik putih 10x10cm—standar developer tahun 80-an. Dia menyalakan keran wastafel. Air mengalir.

Dia menangkupkan air ke wajahnya. Airnya terasa... *salah*.

Bukan dingin. Bukan panas. Air itu terasa *berat*. Kental. Seolah-olah viskositasnya telah berubah, menjadi seperti minyak mineral yang tipis. Air itu menempel di kulitnya dengan cara yang menjijikkan.

Dia mendongak untuk mengambil sabun muka. Dan dia membeku.

Di cermin.

Refleksinya di cermin kamar mandi, yang berbingkai plastik murahan, masih *menunduk*.

Rania—yang asli, yang terbuat dari daging dan tulang—berdiri tegak, matanya melebar ngeri, menatap cermin.

Refleksinya—yang terbuat dari perak dan kaca—masih membungkuk di atas wastafel, rambut hitamnya yang basah menutupi wajahnya, air kental itu menetes dari dagunya.

Jantung Rania serasa berhenti berdetak. Keheningan yang teredam di apartemennya tiba-tiba menjadi absolut. Satu detik berlalu. Dua detik.

Perlahan... sangat perlahan... refleksi di cermin itu mengangkat kepalanya.

Gerakannya *salah*. Terlalu mulus. Seperti animasi komputer yang sempurna, tanpa getaran otot sedikit pun. Refleksi itu mengangkat wajahnya, menyingkirkan rambutnya yang basah.

Mata mereka bertemu.

Mata refleksi itu adalah mata Rania. Tapi tidak ada kepanikan di sana. Tidak ada ketakutan. Hanya ada ketenangan yang dingin, analitis, dan... *terhibur*.

Refleksi itu tersenyum tipis. Senyum yang tidak pernah dibuat Rania.

"TIDAK!"

Rania terhuyung mundur, membentur pintu kamar mandi dengan keras hingga membuatnya berderit. Dia memejamkan mata, memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa seperti akan meledak.

"Tidak nyata. Tidak nyata. Halusinasi. Kamu *burnout*. Ini gejala *burnout*," racunya, kata-kata itu keluar seperti doa yang panik.

Dia memaksa dirinya membuka mata.

Refleksi di cermin itu kini normal. Menirukan posenya yang ketakutan dengan sempurna. Wajahnya pucat, matanya melebar ngeri. Refleksi itu adalah *dirinya* lagi.

Tapi Rania tidak bisa bernapas. Dia bisa melihat tetesan air di lantai tempat dia tersandung. Dia bisa merasakan memar yang mulai terbentuk di bahunya tempat dia menabrak pintu.

Itu nyata.

Rasa takut yang dingin itu dengan cepat digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih akrab baginya: kemarahan.

Kemarahan yang murni dan panas.

"Hebat," katanya, suaranya gemetar. "Hebat. Gaji UMR, kerja rodi, dan sekarang bonus paket halusinasi skizofrenia. Aku benar-benar tidak punya waktu untuk ini."

Dia meninggalkan kamar mandi, membanting pintunya hingga tertutup. Dia tidak mau melihat cermin itu lagi.

Dia tidak repot-repot mengganti pakaian. Dia hanya melempar dirinya ke tempat tidur, menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Dia tidak peduli dengan sepatu botnya yang masih kotor. Dia hanya ingin ini berakhir. Dia ingin tidur. Dia ingin *reset*.

Dia memejamkan mata, memaksa kegelapan datang. Kelelahan dari pekerjaan, ditambah kejutan adrenalin, bekerja lebih baik daripada obat tidur mana pun.

Dia jatuh tertidur.

Dan dia bermimpi.

Mimpinya tidak sureal dalam artian biasa. Tidak ada monster atau pemandangan aneh.

Mimpinya... *teknis*.

Dia tidak memiliki tubuh. Dia adalah *sudut pandang*, melayang dalam kehampaan hitam yang dingin. Dan di dalam kehampaan itu, garis-garis cahaya berwarna oranye terang mulai menggambar diri mereka sendiri.

Dia—arsitek di dalam dirinya—langsung mengenali apa yang dia lihat.

Itu adalah *blueprint*. Sebuah denah kota.

Dia mengenali pola jalanan utama, tikungan sungai, tata letak distrik pusat. Ini adalah kotanya.

Tapi ada yang *salah*. Proporsinya sempurna. Terlalu sempurna. Tidak ada penyimpangan kecil, tidak ada jalan buntu yang aneh akibat keputusan politik. Ini adalah *desain awal* kota, cetak biru ideal yang murni.

Kemudian dia melihatnya. Garis-garis oranye lain, lebih tebal, bergerak di dalam denah itu. Garis-garis itu adalah *data*.

Dia melihat satu garis tebal—*dirinya*—bergerak dari "Kopi Titik Koma". Garis itu bergerak melalui jaringan jalan yang dia kenal, lalu tiba-tiba berbelok ke sebuah area yang di dalam *blueprint* ini ditandai sebagai "Jalan Tembaga".

Di sana, garisnya bertemu dengan sebuah simpul cahaya yang berdenyut redup: "Toko Antik Kuno Warisan".

Dalam mimpinya, dia melayang mendekati simpul itu. Dia melihat sebuah objek geometris yang rumit di pusatnya. Sebuah mangkuk. Tapi mangkuk itu retak parah, seperti kaca yang pecah.

Dia melihat garis oranye-nya (energinya) menyentuh mangkuk itu. Dan seperti kintsugi—seni memperbaiki keramik dengan emas—energinya mengalir ke dalam retakan-retakan itu. Cahaya oranye terang itu menyegel pecahan-pecahan itu menjadi satu, menstabilkan strukturnya.

Dia merasakan... *kepuasan*. Sebuah *tugas* telah selesai.

Kemudian dia melihat tangannya—tangan spektral yang terbuat dari cahaya oranye yang sama. Di telapak tangannya, "Tanda" itu terbakar: sebuah sigil geometris yang mustahil, denah katedral kosmik yang rumit.

Dia terbangun dengan napas terengah.

Kamar apartemennya gelap gulita. Jantungnya berdebar kencang. Pukul 04.13 dini hari.

"Mimpi," bisiknya ke dalam keheningan yang teredam. "Cuma mimpi gila." Itu adalah penjelasan yang paling masuk akal. Semua stres hari itu, cerita Reza, toko pengap Pak Yusuf, refleksi cermin... otaknya hanya mencoba memproses sampah hari itu.

Dia bangkit dari tempat tidur, tenggorokannya kering. Dia berjalan ke dapur kecilnya untuk mengambil segelas air. Dia meminumnya dalam sekali teguk, air keran yang terasa normal, tidak kental. Dia merasa lega.

Dia kembali ke kamar tidurnya, tubuhnya masih sakit karena kelelahan. Dia berbaring telentang, menatap langit-langit, menunggu tidur datang lagi.

Di langit-langit gipsum kamarnya, dalam cahaya redup yang masuk dari lampu jalan di luar, ada sesuatu yang baru.

Rania memicingkan mata.

Memancar dari pitingan lampu di tengah ruangan, ada sebuah retakan.

Itu bukan retakan besar. Itu adalah retakan yang sangat halus, seperti jaring laba-laba. Retakan yang rapuh dan rumit. Retakan yang seharusnya tidak ada di sana sore tadi.

Rania menatap retakan itu, dan rasa dingin di tulangnya kembali dengan kekuatan penuh.

Dia mengenal pola itu.

Itu adalah pola retakan yang *sama persis* dengan yang ada di Mangkuk Porselen Kuno di toko Bapak Yusuf.

Episodes
1 BAB 1: GEMA PADA MARMER IMITASI
2 BAB 2: DI MANA DEBU TIDAK BETARBANGAN
3 BAB 3: RETAKAN PADA GIPSUM
4 BAB 4: DIAGNOSIS MANDIRI
5 BAB 5: AKUARIUM DI ATAS ASPAL
6 BAB 6: HIPOTESIS JAMUR HITAM
7 BAB 7: SIMFONI YANG PEKAK
8 BAB 8: GEJALA YANG MENUTUP GEJALA LAIN
9 BAB 9: PINTU YANG TIDAK SEHARUSNYA ADA
10 BAB 10: DENAH YANG TERLUPAKAN
11 BAB 11: SUARA LANGKAH KAKI DI ATAS KAYU
12 BAB 12: KOREKSI PADA GEOMETRI
13 BAB 13: ORDO YANG SOPAN
14 BAB 14: ARSITEKTUR ORDO
15 BAB 15: PUSTAKAWAN DAN KEKACAUAN
16 BAB 16: DINDING AKUSTIK
17 BAB 17: KOREKSI PADA ASPAL
18 BAB 18: KETENANGAN OBSIDIAN
19 BAB 19: MONUMEN BETON YANG GAGAL
20 BAB 20: JANGKAR DAN EFISIENSI
21 BAB 21: JALAN TIKUS DI BAWAH LANGIT ORANYE
22 BAB 22: KESALAHAN PADA DENAH TANGGA DARURAT
23 BAB 23: GEOMETRI DI DALAM GELEMBUNG
24 BAB 24: KEKACAUAN SEBAGAI SENJATA
25 BAB 25: KABUT PERANG DIGITAL
26 BAB 26: RESONANSI SPASIAL
27 BAB 27: FLARE DI DALAM KABUT
28 BAB 28: KEKACAUAN DATA SENTIMENTAL
29 BAB 29: ALIANSI BISKUIT KEDALUWARSA
30 BAB 30: KUBURAN BETON YANG DINGIN
31 BAB 31: JALAN TIKUS DI BAWAH LANGIT ORANYE
32 32: KABUT PERANG
33 BAB 33: PERUMAHAN CENDANA PUSPITA
34 BAB 34: MENYIAPKAN MARKAS
35 BAB 35: MENYIAPKAN PAPAN CATUR
36 BAB 36: GEMA YANG MENGAMATI
37 BAB 37: LOG YANG TERLUPAKAN
38 BAB 38: GILIRANMU
39 BAB 39: PERMAINAN DI DANAU KERING
40 BAB 40: JANGKAR SANG GEOMETER
41 BAB 41: MISI SANG WARTAWAN
42 BAB 42: INTERLUDE: PROYEK CENDANA PUSPITA
43 BAB 43: MATA DI DUNIA NORMAL
44 BAB 44: WADUK YANG BERNYANYI
45 BAB 45: KONTAK DI BAWAH JEMBATAN LENGKUNG
46 BAB 46: RUMAH YANG SEMPURNA
47 BAB 47: DIA YANG SEDANG BELAJAR
48 BAB 48: KOMUNIKASI NON-LINEAR
49 BAB 49: KEPINGAN PUZZLE DARI LOOP WAKTU
50 BAB 50: LABORATORIUM KOTA HANTU
Episodes

Updated 50 Episodes

1
BAB 1: GEMA PADA MARMER IMITASI
2
BAB 2: DI MANA DEBU TIDAK BETARBANGAN
3
BAB 3: RETAKAN PADA GIPSUM
4
BAB 4: DIAGNOSIS MANDIRI
5
BAB 5: AKUARIUM DI ATAS ASPAL
6
BAB 6: HIPOTESIS JAMUR HITAM
7
BAB 7: SIMFONI YANG PEKAK
8
BAB 8: GEJALA YANG MENUTUP GEJALA LAIN
9
BAB 9: PINTU YANG TIDAK SEHARUSNYA ADA
10
BAB 10: DENAH YANG TERLUPAKAN
11
BAB 11: SUARA LANGKAH KAKI DI ATAS KAYU
12
BAB 12: KOREKSI PADA GEOMETRI
13
BAB 13: ORDO YANG SOPAN
14
BAB 14: ARSITEKTUR ORDO
15
BAB 15: PUSTAKAWAN DAN KEKACAUAN
16
BAB 16: DINDING AKUSTIK
17
BAB 17: KOREKSI PADA ASPAL
18
BAB 18: KETENANGAN OBSIDIAN
19
BAB 19: MONUMEN BETON YANG GAGAL
20
BAB 20: JANGKAR DAN EFISIENSI
21
BAB 21: JALAN TIKUS DI BAWAH LANGIT ORANYE
22
BAB 22: KESALAHAN PADA DENAH TANGGA DARURAT
23
BAB 23: GEOMETRI DI DALAM GELEMBUNG
24
BAB 24: KEKACAUAN SEBAGAI SENJATA
25
BAB 25: KABUT PERANG DIGITAL
26
BAB 26: RESONANSI SPASIAL
27
BAB 27: FLARE DI DALAM KABUT
28
BAB 28: KEKACAUAN DATA SENTIMENTAL
29
BAB 29: ALIANSI BISKUIT KEDALUWARSA
30
BAB 30: KUBURAN BETON YANG DINGIN
31
BAB 31: JALAN TIKUS DI BAWAH LANGIT ORANYE
32
32: KABUT PERANG
33
BAB 33: PERUMAHAN CENDANA PUSPITA
34
BAB 34: MENYIAPKAN MARKAS
35
BAB 35: MENYIAPKAN PAPAN CATUR
36
BAB 36: GEMA YANG MENGAMATI
37
BAB 37: LOG YANG TERLUPAKAN
38
BAB 38: GILIRANMU
39
BAB 39: PERMAINAN DI DANAU KERING
40
BAB 40: JANGKAR SANG GEOMETER
41
BAB 41: MISI SANG WARTAWAN
42
BAB 42: INTERLUDE: PROYEK CENDANA PUSPITA
43
BAB 43: MATA DI DUNIA NORMAL
44
BAB 44: WADUK YANG BERNYANYI
45
BAB 45: KONTAK DI BAWAH JEMBATAN LENGKUNG
46
BAB 46: RUMAH YANG SEMPURNA
47
BAB 47: DIA YANG SEDANG BELAJAR
48
BAB 48: KOMUNIKASI NON-LINEAR
49
BAB 49: KEPINGAN PUZZLE DARI LOOP WAKTU
50
BAB 50: LABORATORIUM KOTA HANTU

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!