BAB 2: DI MANA DEBU TIDAK BETARBANGAN

Toko itu tidak ada.

Bagi 99,9% populasi kota, Jalan Tembaga adalah sebuah catatan kaki historis, sebuah arteri yang terpotong dan dibiarkan mati, digantikan oleh fondasi beton masif jalan layang tol dalam kota. Bagi mata biasa, alamat yang dituju Rania adalah dinding bata kusam yang dipenuhi coretan vandalisme dan bau pesing.

Tapi bagi mata yang tahu ke mana harus melihat—atau bagi mereka yang *tertarik* oleh takdir—dinding itu memiliki celah. Sebuah lorong sempit, tidak lebih lebar dari bahu pria dewasa, terjepit di antara pilar jalan layang dan bagian belakang ruko tekstil.

Di ujung lorong itulah "Toko Barang Antik Kuno Warisan" berdiri, tersembunyi dari abad ke-21 oleh sesuatu yang lebih kuat dari bata dan semen: ketidakpedulian kolektif.

Di dalam toko itu, waktu bergerak seperti madu kental.

Bapak Yusuf telah duduk di kursi kayunya yang berderit selama empat puluh tiga tahun. Dia adalah pria yang terbuat dari debu dan kesabaran. Usianya tidak jelas; bisa enam puluh, bisa seratus enam puluh. Dia mengenakan kemeja batik lawas yang warnanya sudah memudar menjadi cokelat seragam, dan kacamata bacanya bertengger di ujung hidung yang tajam.

Tokonya adalah dunianya. Dan dunianya sunyi.

Ini bukan keheningan biasa. Ini adalah keheningan yang memiliki *berat*. Suara klakson dan deru mesin dari jalan layang di atas sana terdengar sangat jauh, teredam, seolah berasal dari dasar lautan. Di sini, satu-satunya suara adalah detak ritmis jam kakek di sudut ruangan—jam yang jarum detiknya bergerak dengan jeda yang terasa *sedikit* lebih lama dari satu detik.

Debu di toko ini pun berbeda. Debu di sini tidak beterbangan. Debu di sini *mengendap*, melapisi setiap barang antik—setiap topeng kayu, gulungan kaligrafi, dan patung perunggu—dengan selimut abu-abu yang terhormat.

Bagi Bapak Yusuf, ini adalah tatanan yang benar. Dunia di luar sana—dunia kaca, baja, dan layar yang berteriak—adalah sebuah anomali. Kebisingan. Sebuah kesalahan desain yang dibiarkan terlalu lama.

Pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya, dia memulai ritualnya.

Dia menyeduh teh tubruk di cangkir porselen retak. Dia mengambil kuas berbulu halus dan, dengan presisi seorang ahli bedah, mulai membersihkan koleksi kerisnya. Dia tidak membersihkan untuk menjual. Dia membersihkan untuk *mempertahankan*.

Setiap barang di toko ini adalah sebuah "Jangkar". Sebuah pemberat kecil yang membantu menjaga "Tirai"—selaput tipis yang memisahkan dunia nyata dari Dunia Cermin—tetap di tempatnya. Toko ini, secara keseluruhan, adalah sebuah "Titik Buta" (Blind Spot) utama. Sebuah benteng.

Dan Bapak Yusuf adalah penjaganya. Seorang Pelestari dari Ordo yang lebih tua dari nama kota itu sendiri.

Dia merasakan "Gema" di tokonya seperti orang normal merasakan suhu ruangan. Hari ini, Gema terasa *tipis* dan *gelisah*.

Dia bisa melihat mereka. Di dunia luar, Rania hanya akan melihat debu atau kilatan cahaya yang salah. Di sini, di dalam bentengnya, Bapak Yusuf melihat "Ikan Gema" kecil-kecil, tidak lebih besar dari jari kelingking. Mereka berwarna perak pucat, berenang malas di antara kaki-kaki meja dan di dalam guci keramik kosong. Mereka adalah fauna alami dari realitas yang berdekatan.

Namun, hari ini, mereka berkerumun cemas di dekat langit-langit, menghindari sesuatu di meja konter.

Bapak Yusuf menghela napas. Dia meletakkan kuasnya.

Di atas meja konter mahoni yang gelap, di sebelah buku kasir kuno, tergeletak sebuah benda yang paling dia benci sekaligus paling dia hormati.

Mangkuk Porselen Kuno.

Benda itu tidak terlihat istimewa. Seukuran mangkuk sup, dengan glasir seladon pucat yang usianya ribuan tahun. Tapi benda itu memiliki satu cacat: retakan halus seperti jaring laba-laba yang menjalari seluruh permukaannya. Itu adalah artefak yang rusak, sebuah kunci yang patah.

Mangkuk itulah "baterai" yang memberi daya pada Titik Buta ini. Dan baterai itu sedang sekarat. Retakannya semakin banyak selama dekade terakhir, seiring dengan semakin "berisik"-nya dunia luar.

"Tenang," gumam Pak Yusuf pada ikan-ikan Gema yang gelisah. "Dia akan segera datang."

Dia sudah tahu. Ordo telah memberitahunya. Bukan melalui telepon atau email—cara-cara barbar itu—tetapi melalui mimpi yang dibagikan dan tanda-tanda yang disepakati. Sebuah "Anomali Terikat" yang baru telah muncul. Seorang Arsitek baru, yang dipilih oleh Gema itu sendiri, sedang dalam perjalanan.

Bukan untuk mengambil Mangkuk itu. Bukan untuk memperbaikinya.

Tapi untuk *mengaktifkannya*.

Tugas Bapak Yusuf hari ini sederhana: memastikan "Batu Tinta Beku" yang dikirim oleh Pelestari lain—batu yang diperlukan untuk ritual perbaikan—tiba dengan selamat. Dan memastikan *Anomali* itu menyentuh Mangkuk Kuno saat dia di sini.

Sebuah ujian. Sebuah inisiasi yang tidak disadari oleh sang inisiat.

Bapak Yusuf benci hari-hari seperti ini. Hari-hari ini mengganggu rutinitasnya. Hari-hari ini membawa "kebisingan" dari luar masuk ke dalam dunianya yang tenang.

Tepat pukul 15.11—dia tahu tanpa melihat jam, karena bayangan di lantai telah menyentuh kaki kursi tertentu—bel kuningan di atas pintu berdenting.

Suaranya nyaring, memecah keheningan tebal tokonya seperti palu memecah kaca.

Gadis itu masuk.

Bapak Yusuf mengamatinya dari balik kacamata bacanya. Dia adalah lambang dari segala yang dia benci. Dia membawa bau knalpot dan ozon sisa hujan. Dia mengenakan jaket *nylon* yang berisik setiap kali bergerak. Dia membawa gawainya yang menyala-nyala di tangan.

Dan Gema-nya... Gema gadis itu *kacau*.

Bapak Yusuf bisa melihatnya dengan jelas. Aura gadis itu seharusnya bersinar terang—aura seorang Arsitek, seorang yang "sensitif". Tapi aura itu kusam, tertutup lumpur sinisme, kelelahan, dan kekecewaan yang mendarah daging. Seperti sebuah *blueprint* mahakarya yang telah dilipat, diinjak-injak, dan dibiarkan terendam air.

"Permisi? Toko Antik Warisan?" Suara gadis itu terdengar serak. Tidak sabar.

Bapak Yusuf hanya mengangguk pelan, tidak berdiri dari kursinya. "Saya Yusuf. Anda membawa paket."

Gadis itu, Rania, tampak lega sekaligus jengkel. Dia berjalan ke konter, langkahnya terlalu cepat untuk ritme toko ini. "Akhirnya. Tempat ini susah sekali dicari. GPS saya mati total tiga blok dari sini."

"GPS tidak berfungsi di tempat yang tidak seharusnya ada," kata Pak Yusuf pelan.

Rania hanya menatapnya seolah dia sudah gila. "Terserah. Ini paketnya."

Dia mengeluarkan kotak ber-JNE (Tunggu, tidak, Reza bilang ini *cash*. Ini pengiriman non-resmi.)

Dia mengeluarkan kotak berlapis *bubble wrap* tebal dari tas selempangnya. Kotak yang sama yang Rania rasakan dingin di kafe tadi.

"Berat," gerutu Rania. Dia meletakkannya di atas meja konter.

*Thud*.

Suara itu terlalu berat. "Ikan Gema" di langit-langit berhamburan ketakutan.

Bapak Yusuf mengabaikan Rania sejenak. Dia dengan hati-hati membuka *bubble wrap* itu. Di dalamnya ada kotak kayu berukir. Dan di dalamnya, terbungkus sutra hitam, ada sebongkah batu hitam pekat yang terasa dingin membekukan. "Batu Tinta Beku". Benda itu menyerap cahaya. Bagus. Barang sudah tiba.

"Oke, Pak Tua," kata Rania, menyodorkan gawainya. "Tanda tangan di sini."

Bapak Yusuf memicingkan mata pada layar yang menyilaukan itu. Dia mengambil *stylus* plastik dengan jari-jarinya yang kapalan.

Dan inilah saatnya.

Untuk menandatangani, Rania perlu meletakkan gawainya di atas meja. Satu-satunya ruang yang tersisa di konter yang penuh sesak itu adalah *tepat di sebelah* Mangkuk Porselen Kuno yang retak.

Rania meletakkan gawainya di sana.

Dan, untuk menyeimbangkan diri saat membungkuk menunjukkan di mana harus menekan, telapak tangan kirinya mendarat.

Tepat di atas permukaan Mangkuk Porselen Kuno itu.

Tidak ada ledakan. Tidak ada cahaya. Tidak ada suara.

Bagi Rania, itu hanyalah sebuah mangkuk tua yang dingin berdebu.

Tapi bagi Bapak Yusuf, dunia di dalam tokonya meledak dalam keheningan total.

Dia melihat Gema Rania—aura kusam yang tadi tertidur—*menyala* dalam sekejap. Cahaya oranye yang cemerlang, seperti bara api yang ditiup badai, meletus dari telapak tangannya dan disedot oleh retakan-retakan di Mangkuk Kuno itu.

Semua "Ikan Gema" perak di toko itu tiba-tiba berhenti. Mereka berbalik serempak, seperti kompas yang menemukan utaranya. Mereka berenang deras ke arah Rania, berputar-putar di sekelilingnya seperti tornado kecil yang tak terlihat.

Mangkuk Kuno itu sendiri *bergetar* hebat, mengeluarkan suara dengungan frekuensi sangat rendah yang hanya bisa dirasakan Yusuf di dalam tulang-tulangnya. Retakan di Mangkuk itu bersinar oranye sesaat.

Dan di telapak tangan Rania—hanya terlihat oleh mata Yusuf yang terlatih—sebuah "Tanda" spektral terbakar: Sebuah pola geometris rumit, seperti denah katedral yang mustahil, bersinar selama tiga detik sebelum memudar kembali ke dalam dagingnya.

Ikatan telah terbentuk.

Gadis itu, Rania, hanya tersentak dan menarik tangannya.

Dia mengernyit. "Ugh. Udara di sini pengap banget, Pak. Bikin pusing." Dia menggosok-gosok telapak tangannya yang baru saja "terbakar" di celananya, seolah-olah hanya untuk membersihkan debu.

Bapak Yusuf menyelesaikan tanda tangannya di gawai itu. Dia mengembalikannya. Matanya yang setua debu menatap Rania, kini dengan penilaian baru.

"Sudah selesai," katanya.

"Bagus." Rania menyambar gawainya, tidak sabar untuk pergi dari tempat yang membuatnya merinding. "Terima kasih."

Dia berbalik dan berjalan cepat ke pintu. Bel berdentang nyaring lagi.

Dan dia pergi. Membawa serta bau ozon, ketidaksabaran, dan Gema yang baru saja terbangun di dalam darahnya.

Bapak Yusuf duduk dalam keheningan yang kini terasa berbeda. Toko itu terasa lebih *hidup*. Lebih *stabil*.

Dia melihat ke Mangkuk Kuno di atas meja. Mangkuk itu berhenti bergetar. Retakannya masih ada, tetapi kini terisi oleh cahaya oranye redup yang berdenyut pelan, seperti jantung yang tidur.

Baterai itu telah diisi ulang.

Dia menoleh ke jam kakek di sudut. Jarum detiknya berdetak dengan ritme yang stabil dan benar. Satu detik, tepat satu detik. Tatanan telah pulih untuk sementara waktu.

Bapak Yusuf kembali ke kursinya yang berderit. Dia mengambil kuasnya lagi, bersiap melanjutkan ritualnya membersihkan keris.

"Akhirnya," gumamnya pada debu yang mengendap. "Sang Arsitek telah mengambil alatnya."

Dia berhenti sejenak, memikirkan aura kacau dan sinis milik gadis itu. Aura yang sudah retak bahkan sebelum disentuh oleh Gema.

"Semoga kali ini fondasinya tidak runtuh," lanjutnya. "Karena yang ini... yang ini sudah retak sejak awal."

Episodes
1 BAB 1: GEMA PADA MARMER IMITASI
2 BAB 2: DI MANA DEBU TIDAK BETARBANGAN
3 BAB 3: RETAKAN PADA GIPSUM
4 BAB 4: DIAGNOSIS MANDIRI
5 BAB 5: AKUARIUM DI ATAS ASPAL
6 BAB 6: HIPOTESIS JAMUR HITAM
7 BAB 7: SIMFONI YANG PEKAK
8 BAB 8: GEJALA YANG MENUTUP GEJALA LAIN
9 BAB 9: PINTU YANG TIDAK SEHARUSNYA ADA
10 BAB 10: DENAH YANG TERLUPAKAN
11 BAB 11: SUARA LANGKAH KAKI DI ATAS KAYU
12 BAB 12: KOREKSI PADA GEOMETRI
13 BAB 13: ORDO YANG SOPAN
14 BAB 14: ARSITEKTUR ORDO
15 BAB 15: PUSTAKAWAN DAN KEKACAUAN
16 BAB 16: DINDING AKUSTIK
17 BAB 17: KOREKSI PADA ASPAL
18 BAB 18: KETENANGAN OBSIDIAN
19 BAB 19: MONUMEN BETON YANG GAGAL
20 BAB 20: JANGKAR DAN EFISIENSI
21 BAB 21: JALAN TIKUS DI BAWAH LANGIT ORANYE
22 BAB 22: KESALAHAN PADA DENAH TANGGA DARURAT
23 BAB 23: GEOMETRI DI DALAM GELEMBUNG
24 BAB 24: KEKACAUAN SEBAGAI SENJATA
25 BAB 25: KABUT PERANG DIGITAL
26 BAB 26: RESONANSI SPASIAL
27 BAB 27: FLARE DI DALAM KABUT
28 BAB 28: KEKACAUAN DATA SENTIMENTAL
29 BAB 29: ALIANSI BISKUIT KEDALUWARSA
30 BAB 30: KUBURAN BETON YANG DINGIN
31 BAB 31: JALAN TIKUS DI BAWAH LANGIT ORANYE
32 32: KABUT PERANG
33 BAB 33: PERUMAHAN CENDANA PUSPITA
34 BAB 34: MENYIAPKAN MARKAS
35 BAB 35: MENYIAPKAN PAPAN CATUR
36 BAB 36: GEMA YANG MENGAMATI
37 BAB 37: LOG YANG TERLUPAKAN
38 BAB 38: GILIRANMU
39 BAB 39: PERMAINAN DI DANAU KERING
40 BAB 40: JANGKAR SANG GEOMETER
41 BAB 41: MISI SANG WARTAWAN
42 BAB 42: INTERLUDE: PROYEK CENDANA PUSPITA
43 BAB 43: MATA DI DUNIA NORMAL
44 BAB 44: WADUK YANG BERNYANYI
45 BAB 45: KONTAK DI BAWAH JEMBATAN LENGKUNG
46 BAB 46: RUMAH YANG SEMPURNA
47 BAB 47: DIA YANG SEDANG BELAJAR
48 BAB 48: KOMUNIKASI NON-LINEAR
49 BAB 49: KEPINGAN PUZZLE DARI LOOP WAKTU
50 BAB 50: LABORATORIUM KOTA HANTU
Episodes

Updated 50 Episodes

1
BAB 1: GEMA PADA MARMER IMITASI
2
BAB 2: DI MANA DEBU TIDAK BETARBANGAN
3
BAB 3: RETAKAN PADA GIPSUM
4
BAB 4: DIAGNOSIS MANDIRI
5
BAB 5: AKUARIUM DI ATAS ASPAL
6
BAB 6: HIPOTESIS JAMUR HITAM
7
BAB 7: SIMFONI YANG PEKAK
8
BAB 8: GEJALA YANG MENUTUP GEJALA LAIN
9
BAB 9: PINTU YANG TIDAK SEHARUSNYA ADA
10
BAB 10: DENAH YANG TERLUPAKAN
11
BAB 11: SUARA LANGKAH KAKI DI ATAS KAYU
12
BAB 12: KOREKSI PADA GEOMETRI
13
BAB 13: ORDO YANG SOPAN
14
BAB 14: ARSITEKTUR ORDO
15
BAB 15: PUSTAKAWAN DAN KEKACAUAN
16
BAB 16: DINDING AKUSTIK
17
BAB 17: KOREKSI PADA ASPAL
18
BAB 18: KETENANGAN OBSIDIAN
19
BAB 19: MONUMEN BETON YANG GAGAL
20
BAB 20: JANGKAR DAN EFISIENSI
21
BAB 21: JALAN TIKUS DI BAWAH LANGIT ORANYE
22
BAB 22: KESALAHAN PADA DENAH TANGGA DARURAT
23
BAB 23: GEOMETRI DI DALAM GELEMBUNG
24
BAB 24: KEKACAUAN SEBAGAI SENJATA
25
BAB 25: KABUT PERANG DIGITAL
26
BAB 26: RESONANSI SPASIAL
27
BAB 27: FLARE DI DALAM KABUT
28
BAB 28: KEKACAUAN DATA SENTIMENTAL
29
BAB 29: ALIANSI BISKUIT KEDALUWARSA
30
BAB 30: KUBURAN BETON YANG DINGIN
31
BAB 31: JALAN TIKUS DI BAWAH LANGIT ORANYE
32
32: KABUT PERANG
33
BAB 33: PERUMAHAN CENDANA PUSPITA
34
BAB 34: MENYIAPKAN MARKAS
35
BAB 35: MENYIAPKAN PAPAN CATUR
36
BAB 36: GEMA YANG MENGAMATI
37
BAB 37: LOG YANG TERLUPAKAN
38
BAB 38: GILIRANMU
39
BAB 39: PERMAINAN DI DANAU KERING
40
BAB 40: JANGKAR SANG GEOMETER
41
BAB 41: MISI SANG WARTAWAN
42
BAB 42: INTERLUDE: PROYEK CENDANA PUSPITA
43
BAB 43: MATA DI DUNIA NORMAL
44
BAB 44: WADUK YANG BERNYANYI
45
BAB 45: KONTAK DI BAWAH JEMBATAN LENGKUNG
46
BAB 46: RUMAH YANG SEMPURNA
47
BAB 47: DIA YANG SEDANG BELAJAR
48
BAB 48: KOMUNIKASI NON-LINEAR
49
BAB 49: KEPINGAN PUZZLE DARI LOOP WAKTU
50
BAB 50: LABORATORIUM KOTA HANTU

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!