Rafka yang tak pernah banyak kata

Kelas 11 IPA 1 Satropa Academy pagi itu terasa hangat dan hidup. Cahaya matahari menembus jendela besar di sisi kanan ruangan, menerpa deretan meja kayu yang tersusun rapi. Suara riuh percakapan siswa terdengar bersahut-sahutan — sebagian membahas tugas semalam, sebagian lagi hanya bercanda sambil menunggu guru datang.

Viora melangkah masuk bersama Friska. Begitu pintu kelas terbuka, beberapa kepala langsung menoleh. Bukan hal baru — kehadiran gadis itu memang selalu menarik perhatian. Dengan rambut cokelat madu yang terurai lembut dan senyum manis di wajahnya, Viora tampak seperti sosok yang membawa aura segar ke dalam ruangan.

“Bangku biasa?” tanya Friska sambil menepuk kursi di baris tengah dekat jendela.

“Of course,” jawab Viora riang. Ia meletakkan tas di meja, lalu duduk dengan posisi santai, merapikan kancing atas seragamnya yang sedikit longgar. “Tempat ini dapet cahaya paling bagus, bikin suasananya tenang.”

Friska tersenyum, namun tak lama kemudian menepuk jidatnya sambil berseru, “Astaga, gue lupa!”

“Kenapa?” Viora menoleh, bingung.

“Gue lupa kasih laporan dokumentasi kegiatan OSIS minggu depan ke Kak Rafka tadi,” jawab Friska. “Ck… Vi, gue ke ruang OSIS dulu, yah.” Ia pun pamit.

“Oke, cepat balik, keburu guru datang,” pesan Viora. Friska mengangguk lalu segera bergegas meninggalkan kelas.

Friska memang anggota OSIS dan menjabat sebagai sekretarisnya.

Viora menoleh ke sekeliling kelas, memperhatikan teman-teman sekelasnya yang mulai sibuk menata buku dan catatan. Tak lama, suara derap langkah terdengar dari pintu depan. Semua siswa menunduk hormat, menunggu guru mereka masuk.

“Selamat pagi, anak-anak,” suara guru terdengar hangat namun tegas. “Kita mulai pelajaran hari ini dengan beberapa pengumuman. Ada perubahan jadwal kegiatan ekstrakurikuler yang perlu kalian catat.”

Sementara guru menjelaskan, Viora terlihat sibuk mengetik sesuatu di ponselnya, lalu mengirimkan pesan singkat kepada seseorang.

“Tunggu sebentar, Viora.” Tiba-tiba guru memanggil namanya, membuat Viora menatap ke depan.

“Nanti sebelum pulang, kamu latihan soal untuk olimpiade di perpustakaan bersama teman-teman yang lain, ya,” ujar guru.

“Baik, Bu,” jawab Viora sopan, menutup ponselnya.

°°°

Bel berbunyi menandai waktu istirahat pertama. Suara riuh siswa memenuhi kelas saat sebagian berlari keluar untuk sekadar menghirup udara segar atau membeli jajanan di kantin. Viora menutup bukunya, menarik napas sejenak, lalu merapikan tasnya.

“Setelah latihan soal nanti, lo balik dijemput supir, ya? Kalau nunggu gue, takutnya nggak keburu. Soalnya hari ini gue juga ada latihan persiapan basket antar-sekolah minggu depan,” ujar Zegra.

“It’s okay, gue bakal dijemput Kak Rafka nanti, abis dia kelar rapat antar-OSIS sama sekolah lain,” jawab Viora santai.

“Lo yakin dia nggak bakal lupa kayak minggu lalu?” Zegra mengernyit, sedikit khawatir.

“Enggak, dia bilang dia pasti bisa jemput gue nanti,” jawab Viora mantap, menutup tasnya sambil tersenyum tipis.

“Ya udah, tapi kalau ada apa-apa — misalnya dia nggak bisa jemput atau apa pun — lo hubungi gue, Zevan, atau siapa pun orang rumah,” ucap Zegra dengan nada protektif.

Viora terkekeh mendengar celotehan kembarannya itu. “Iya, iya, bawel.”

“Oke, kalau gitu. Gue keluar duluan, ya!” pamit Zegra, segera beranjak. Tak lama kemudian, Viora juga berdiri dan menyusul, melangkah menuju kantin. Namun saat berjalan di koridor, ia berhenti sejenak dan mengarahkan langkahnya ke papan pengumuman yang terletak di ujung lorong.

Papan pengumuman itu dipenuhi kertas berwarna-warni — jadwal ekstrakurikuler terbaru, daftar anggota klub olahraga, informasi lomba sains, hingga poster kegiatan seni. Viora menatapnya dengan saksama, memastikan jadwal latihan olimpiade fisika dan kegiatan penting lainnya sudah terekam di ingatannya.

Langkah ringan terdengar dari belakang.

“Vioraaa!” suara Friska memanggil dengan nada lelah namun tetap ceria. Gadis itu baru saja keluar dari ruang OSIS; seragamnya sedikit berantakan, sementara tasnya tampak penuh dengan dokumen.

“Hai, Fris. Capek, ya, habis rapat?” sapa Viora sambil tersenyum kecil.

Friska menghela napas panjang, menepuk bahunya sendiri.

“Aduh, capek banget! Kegiatan OSIS akhir-akhir ini padat banget. Mulai dari persiapan lomba, dokumentasi kegiatan, sampai rencana acara amal minggu depan… rasanya kayak nggak ada waktu buat napas sebentar.”

Viora mengangguk pelan, memahami.

“Wajar sih. Tapi setidaknya semua itu bikin sekolah jadi lebih hidup, kan?”

Friska mengerutkan dahi, tapi masih sempat tersenyum tipis. “Iya sih… cuma kadang gue pengen semuanya nggak numpuk bareng. Eh, lo mau ke kantin juga, kan? Gue ikut deh, sekalian minum sebentar.”

Viora mengangguk, dan mereka pun berjalan beriringan menuju kantin. Suasana koridor ramai — murid-murid berlalu sambil bercakap, beberapa berlari kecil karena jam istirahat hampir berakhir. Dalam keramaian itu, langkah mereka terasa ringan, meski pikiran Friska masih terbebani oleh urusan OSIS yang menumpuk.

Begitu tiba di kantin, aroma kopi, teh, dan roti panggang langsung menyambut.

Friska menyesap teh hangatnya sambil mengeluh pelan, “Abis ini gue harus ketemu ketua OSIS lagi buat finalisasi acara minggu depan… duh, kayaknya kerjaan gue nggak ada habisnya.”

Viora terkekeh, menepuk bahunya lembut.

“Santai aja. Luangin waktu sebentar buat minum dulu, baru lanjut kerja. Oh iya, Kak Rafka masih di ruang OSIS?”

“He’em,” sahut Friska sambil mengunyah roti, mulutnya sudah penuh makanan.

“Ck… pasti dia belum sempat makan,” gumam Viora. Ia mengangkat sebuah kotak makan berisi nasi goreng. “Fris, gue ke ruang OSIS dulu, ya. Mau nganterin ini.”

Friska hanya mengangguk cepat, masih sibuk menikmati makanannya.

Viora pun melangkah keluar kantin, menavigasi lorong yang kembali ramai. Tak lama kemudian, ia tiba di depan ruang OSIS dan mengetuk pintu pelan sebelum masuk.

Di dalam, Rafka tampak tenggelam dalam tumpukan berkas. Wajahnya serius, mata fokus menatap layar monitor di hadapannya.

“Hai, Kak. Sibuk, ya?” tanya Viora, sekadar basa-basi.

“Heum…” gumam Rafka, masih menatap layar. Ia sudah tahu itu Viora dari aroma parfum lembut yang selalu sama.

“Aku bawain nasi goreng buat kamu. Makan, ya, biar asam lambungnya nggak naik,” ucap Viora sambil menyodorkan kotak makan itu ke depan Rafka.

“Taro aja dulu, aku masih harus ngerjain ini bentar. Makasih, ya.” Jawab Rafka tanpa mengalihkan pandangannya.

“Oke… aku taro sini, ya?” Viora menaruh kotak itu di sisi meja, tapi matanya langsung tertuju pada kotak makan lain yang sangat familiar. Itu milik Friska.

“Loh… kok kotak makan Friska ada di meja kamu?” tanyanya heran.

Rafka hanya melirik sekilas. “Mungkin tadi dia lupa ninggalin di sini,” jawabnya datar.

“Oh…” Viora tak menaruh curiga sedikit pun. Masuk akal — Friska memang sekretaris OSIS yang sering bolak-balik ke meja Rafka untuk urusan laporan.

“Oh ya, Kak… nanti kamu jadi jemput aku, kan?”

Rafka menghela napas, suaranya terdengar lelah.

“Tadi kan udah kubilang lewat pesan.”

“Oh, aku cuma mastiin aja. Takutnya kamu lupa, kayak biasa,” sahut Viora sambil tersenyum kecil.

“Enggak. Jam lima, kan?” balas Rafka singkat.

“He’em. Jangan telat, ya. Langitnya udah mendung dari tadi, takutnya hujan.”

“Iya, nggak telat.” Rafka menanggapi cepat, tanpa ekspresi.

Viora kemudian duduk di kursi di samping meja Rafka.

“Kak, mau aku bukain nasinya nggak? Atau sekalian aku suapin?” tanyanya dengan nada ceria, mencoba mencairkan suasana.

“Gak usah,” tolak Rafka dingin, masih fokus pada dokumen.

“Oh… oke.” Viora terdiam sejenak, hanya menatap wajah serius Rafka yang tampan dalam diam. Ia selalu mengagumi setiap detailnya — hidung mancung, bibir tipis, dan sorot mata yang dingin namun tenang. Ada sesuatu yang selalu menahannya untuk pergi.

Tanpa sadar, ia meraih selembar tisu dan menyeka keringat tipis di pelipis Rafka.

“Kak, sini… keringetnya—”

Rafka menoleh sekilas, menegur datar, “Viora… diam. Aku lagi fokus.”

“Sorry,” ucap Viora pelan. “Aku cuma mau ngelap keringet di dahi kamu, kok.”

Rafka akhirnya menoleh penuh, menatapnya sejenak — tatapan yang sulit diartikan, antara lelah dan pasrah. Tanpa kata, ia sedikit menunduk, seolah mempersilakan.

Dengan hati-hati, Viora menyeka keringat di dahinya, senyum lembut terukir di wajahnya. Rafka mungkin dingin, tapi selalu punya cara tersendiri untuk membuat Viora tetap betah berada di sisinya.

***

Terpopuler

Comments

Yunita Aristya

Yunita Aristya

kok aku merasa friska ada main sama rafka🤭

2025-10-25

0

Carlos Vazquez Hernandez

Carlos Vazquez Hernandez

Dapat pelajaran berharga. 🧐

2025-10-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!