Rafka Arshad Pratama

Koridor utama Satropa Academy pagi itu ramai oleh langkah sepatu dan suara percakapan ringan. Cahaya matahari menembus jendela kaca tinggi, menciptakan pantulan lembut di lantai marmer yang mengilap.

Viora dan Zegra berjalan berdampingan, langkah mereka tenang dan teratur. Semua mata yang melintas tak bisa tidak menoleh — bukan hanya karena nama besar keluarga Walker, tapi karena aura keduanya yang sulit diabaikan.

“Kayak biasa, semua mata ngikutin kita,” gumam Zegra pelan sambil melirik kanan-kiri.

Viora terkekeh kecil. “Udah biarin aja, mungkin mereka cuma penasaran.”

Sebelum Zegra sempat menjawab, dari arah berlawanan tampak sosok tinggi dengan postur tegap, berjalan dengan langkah pasti. Seragamnya rapi tanpa cela, dasinya terpasang sempurna, dan emblem Ketua OSIS di dada kirinya memantulkan cahaya pagi.

Rafka Arshad Pratama.

Nama yang sudah lama menggema di Satropa. Teladan, disiplin, dan dingin — seperti cermin dari kesempurnaan yang tak bisa dijangkau.

Zegra menatap sekilas, lalu menoleh ke adiknya. “Pacar kesayangan lo datang.”

Viora spontan memperlambat langkah. Tapi ketika jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa meter, senyum manis langsung merekah di wajahnya. Dengan ringan, ia melangkah cepat ke arah Rafka dan berseru kecil,

“Pagi, pacar~!”

Suara cerianya menggema lembut di koridor yang penuh siswa. Beberapa pasang mata sempat menoleh pada couple goals sekolah mereka. Viora tak peduli — ia sudah terbiasa jadi pusat perhatian. Ia tersenyum riang sambil melompat kecil ke sisi tubuh Rafka yang jangkung, matanya berkilat lembut seperti anak kecil yang baru menemukan opsi vaforit ya.

Namun, Rafka berhenti sejenak dan menatapnya dengan tatapan datar. “Vi, jaga sikap,” ujarnya pelan, “Ini sekolah.”

Nada suaranya dingin, tanpa intonasi lembut atau gurauan kecil seperti pasangan pada umumnya.

Senyum Viora sempat memudar sesaat, tapi ia cepat menutupinya dengan tawa kecil. “Oh, iya. Maaf. Refleks.”

Rafka hanya menatap sekilas, lalu kembali melangkah tanpa memberi respons lebih. Langkahnya panjang dan tenang, meninggalkan jarak sekitar setengah meter di antara mereka — jarak yang terasa jauh bagi Viora.

Ia berusaha menyesuaikan langkahnya agar sejajar, namun setiap kali ia sedikit mendekat, Rafka justru tampak makin menjaga ritme langkahnya agar tetap berjarak.

“Semalam lembur lagi?” tanya Viora mencoba mencairkan suasana.

“Iya. Banyak rapat OSIS,” jawab Rafka singkat tanpa menoleh.

“Capek, ya?”

“Sudah biasa.”

Hanya tiga kata. Datar, tenang, nyaris tanpa emosi. Dan Viora seperti sudah biasa dengan semua sikapnya.

Dari jauh, beberapa siswi yang lewat saling berbisik sambil menatap mereka — pasangan paling mencolok di seluruh koridor Satropa Academy pagi itu.

“Lihat deh, itu Viora sama ka Rafka.”

“Ih, mereka berdua tuh couple goals banget, nggak sih?”

“Banget! Primadona Satropa dipasangkan sama ketua OSIS yang super dingin… bener-bener kayak drama Korea versi nyata!”

“Tapi, kok Rafka keliatan kaku banget, ya?”

“Ya namanya juga Rafka. Cuek tapi keren. Gaya dingin gitu malah bikin makin ganteng!”

“Iya, tapi kasihan juga Viora. Dia yang terus nyapa, dia yang kayak keliatan paling berusaha di hubungan mereka.”

“Ya tapi tetep aja—mereka tuh keliatan sempurna. Udah deh, jangan berasumsi. Toh mereka ini yang jalani.” Dan gue akan tetap mendukung kapal itu terus berlayar."

Bisik-bisik itu berlanjut dengan tatapan iri dan kekaguman. Beberapa bahkan sempat berhenti hanya untuk melihat keduanya berjalan bersebelahan — Viora dengan senyum lembutnya yang manis, dan Rafka dengan ekspresi tenangnya yang tak tersentuh.

Bagaimana tidak?

Viora Zealodie Walker — gadis yang dikenal ramah, ceria, dan berhati hangat — disandingkan dengan Rafka Arshad Pratama, sosok ketua OSIS yang disiplin dan nyaris tak pernah menunjukkan sisi lembutnya di depan siapa pun.

Mereka bagaikan dua kutub yang berbeda — tapi justru itulah yang membuat banyak orang terpikat.

Si cerah dan si dingin. Si hangat dan si tenang.

Viora sempat melirik ke arah kanan, memperhatikan Rafka yang masih berjalan lurus tanpa sedikit pun menoleh.

Viora yang sempat ingin bertanya, seketika mengurungkan niatnya saat suara familiar terdengar dari belakang.

“Vio!” seru seseorang dengan nada riang.

Viora menoleh, dan senyumnya langsung merekah saat melihat Friska Anastasia, gadis cantik yang menjadi sahabatnya sejak mereka menginjak di sekolah menengah pertama.

Friska berjalan cepat ke arahnya. Gadis itu melambaikan tangan dengan ekspresi ceria khasnya — rambut hitam nya bergoyang seirama langkah kakinya.

“Dari tadi gue nyari lo, ternyata jalan sama pangeran es kita,” godanya sambil menatap Rafka sekilas dengan senyum geli.

Viora tertawa kecil, “Heh, cuma pangeran es gue yah! Enak aja.” kata Viora posesif namun setengah bercanda.

Friska mendengus geli mendengar nada posesif nya. “Iya, iya, cuma pangeran es lo. Tapi serius deh, tiap kali gue liat dia, aura sekolah ini langsung berubah lima derajat lebih dingin.” Lanjut nya setengah berbisik.

Viora tertawa "udah biasa."

Friska yang kini sudah berdiri di sisi lain Viora tersenyum sopan ke arah Rafka, mencoba bersikap ramah walau ada sedikit rasa canggung menghadapi sosok Ketua OSIS yang terkenal dingin itu.

“Pagi, Kak Rafka,” sapanya sopan, nada suaranya terdengar ringan tapi penuh rasa segan.

Rafka menoleh sedikit, sekadar formalitas. Tatapannya singkat — cukup untuk memberi kesan bahwa ia mendengar, tapi tidak berniat memperpanjang percakapan. “Pagi,” jawabnya pelan, datar seperti biasanya, disertai anggukan kecil.

“Sana ke kelas!,” lanjut Rafka yang di tujukan pada Viora. Suaranya datar namun tegas — terdengar lebih seperti perintah. Tanpa menunggu respons, ia segera melanjutkan langkahnya menuju ruang OSIS, punggung tegapnya perlahan menjauh di antara kerumunan siswa yang lalu lalang.

Viora terdiam sesaat. Napasnya terhela pelan, nyaris tak terdengar. Pandangannya masih tertuju pada punggung Rafka yang semakin kecil di ujung koridor — sosok yang begitu ia sayangi, namun akhir-akhir ini sifatnya berubah menjadi lebih dingin. Entah karena banyak nya tuntutan tugas atau karena hal lain, Viora tak pernah tau.

Ada sesak halus yang menekan dadanya, tapi ia memilih menelan semuanya dalam diam. Seperti biasa.

Friska yang berdiri di sampingnya menghela napas pendek. “Cowok lo tuh, Vi…” katanya, menggantung kalimatnya sambil melipat tangan di dada. “Antara terlalu sibuk atau terlalu beku buat ngerti gimana rasanya punya pacar secantik dan seceria lo.”

Viora menoleh, tersenyum kecil — senyum lembut yang tidak sepenuhnya tulus, “Dia cuma… punya caranya sendiri buat nunjukin perhatian,” katanya lirih, meski nada suaranya sendiri terdengar ragu.

Friska menatapnya lekat-lekat. “Kalau caranya bikin lo sedih terus, berarti bukan perhatian, Vi. Itu cuek yang disamarkan.”

Viora tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. “Jangan nyerang pacar gue pagi-pagi gini, deh. Ntar malah tambah dingin lagi."

Friska mendengus geli. “Yah, semoga aja suatu saat dia cair.” Ia menepuk pelan bahu sahabatnya. “Ayo, kita ke kelas. Kalau Miss Felicia ngelihat kita masih nongkrong di koridor, bisa-bisa disuruh push up.”

Viora mengangguk pelan, menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah. “Iya, ayo.”

Mereka berdua pun berjalan berdampingan menyusuri koridor sayap barat. Suara langkah sepatu bergema lembut di lantai marmer, menyatu dengan riuh rendah suara siswa lain yang sedang bergegas menuju kelas.

Sekilas, Viora menoleh ke arah jendela besar di sampingnya. Sinar matahari pagi memantulkan bayangan dirinya — wajah manis dengan senyum lembut, tapi di baliknya, ada sorot mata yang perlahan kehilangan cahayanya.

Ia menatap refleksi itu sejenak sebelum berbisik pelan, nyaris tak terdengar oleh siapa pun. “Kadang… rasanya gue berjuang sendirian sekarang.”

Friska yang sudah beberapa langkah di depan menoleh “hah? Lo Ngomong apa, Vi?”

Viora buru-buru menggeleng dan tersenyum. “Nggak, cuma ngomong sendiri."

“Pantesan, dari tadi juga gue udah curiga lo pacaran sama udara,” balas Friska sambil menarik tangan sahabatnya agar cepat berjalan.

Viora tertawa kecil, kali ini sedikit lebih tulus. “Dasar Friska.”

Keduanya pun melangkah menuju kelas 11 IPA 1, meninggalkan segala keramaian koridor dan bayangan dingin yang baru saja berlalu.

***

Terpopuler

Comments

Kelestine Santoso

Kelestine Santoso

Menguras air mata

2025-10-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!