Bab 4: Angin dari Longyuan

Tanggal 10 bulan 10 tahun 472, Dunia Xuanyu, Dinasti Hanxu — Angin sore menyusup lembut ke dalam taman kecil di belakang kediaman keluarga Yun, menggoyang dedaunan plum yang mulai bermekaran. Di tepi gentong air besar yang jernih, Yun Ruona duduk dengan topangan bantal, menguap lebar… lalu tiba-tiba tertawa saat melihat pantulan wajah bulatnya sendiri di permukaan air.

“Hehe~”

"Enaknya jadi pengangguran. Nikmati saja selama masih ada waktu. Entar kalau sudah cukup umur pasti nggak bisa nganggur lagi kayak sekarang~" batin Yun Ruona.

Ia menepuk-nepuk air dengan kedua tangannya yang mungil, membuat riak kecil menyebar seperti kilau kaca pecah diterpa matahari.

"Kapan aku akan berhenti mengangumi wajahku sendiri~ Sepertinya tidak akan pernah karena wajah ini tidak pernah membosankan."

Nyonya Yun duduk di bangku taman sambil merenda selembar kain kecil. Senyum hangat terbit di wajahnya saat melihat tingkah putrinya. “Peri Cermin Kecil Niangqin tak pernah kehabisan cara untuk bahagia~,” katanya sambil tertawa pelan.

Di kejauhan, suara burung-burung musim semi bercampur dengan tawa pelan pelayan yang ikut mengawasi. Suasana sore itu damai, seolah dunia luar tak pernah punya niat untuk mengusik ketenangan keluarga Yun.

Namun di sisi lain rumah, ketenangan itu mulai terusik oleh ketukan pintu berat yang pelan namun tegas. Seorang pelayan dengan langkah tergesa menghampiri Tuan Yun yang baru pulang. “Tuan, utusan dari ibu kota sudah tiba… mereka menunggu di paviliun samping,” ucapnya setengah berbisik.

Yun Haoran, yang baru saja tiba dari urusan luar rumah, berhenti sejenak. Sorot matanya sejenak mengeras, seolah menimbang beban yang tak terlihat. Berbeda dari sosok ayah hangat yang biasa terlihat di depan keluarga, selalu bersenda gurau dengan anak-anaknya. Ia menarik napas panjang dan berkata, “Baik. Pastikan tidak ada satu pun pelayan membocorkan kedatangan mereka,” perintahnya dengan nada rendah.

Pelayan itu menunduk dalam dan segera berlalu.

Malam turun perlahan. Angin malam yang lembut menyelinap ke dalam aula, menggoyang tirai bambu yang tergantung rapi. Setelah memastikan seluruh pelayan menutup mulut rapat, Yun Haoran melangkah masuk ke paviliun samping. Di sana, beberapa sosok berkerudung duduk menunggu, menandakan pembicaraan yang bukan untuk telinga biasa. Ada seorang pria berjubah biru tua dengan lambang naga emas dibalik jubah hitamnya — tanda utusan istana — berdiri dengan sikap hormat.

“San Shaoye 三少爷 (Sān shàoyé - Tuan Muda Ketiga), titah dari Longyuan 龍淵 (Lóngyuān),” ucap utusan itu pelan sambil menyodorkan gulungan bambu bersegel. “Baginda Kaisar (聖上, shèngshàng) ingin Anda tetap waspada. Situasi perbatasan semakin pelik. Ada gerakan bayangan yang mencurigakan.”

Yun Haoran menerima gulungan itu tanpa ekspresi. Tatapannya tajam seperti pedang terhunus.

“Baik. Katakan pada Baginda Kaisar, ‘elang malam tetap terbang rendah, namun cakarnya belum tumpul’ (夜鷹低飛,利爪未鈍, yè yīng dī fēi, lì zhǎo wèi dùn).”

Utusan itu membungkuk dalam, lalu pergi secepat ia datang — seperti angin malam yang tak meninggalkan jejak.

Bintang-bintang bertaburan di langit Kota Yunshan 雲山 (Yúnshān), seperti mata-mata langit yang diam mengawasi segala sesuatu. Seolah menjadi saksi bahwa kehidupan damai keluarga Yun perlahan akan bersinggungan dengan arus besar yang tak terlihat.

Sementara itu, Yun Ruona telah terlelap di pelukan ibunya. Ia sama sekali tak tahu bahwa malam itu, untuk pertama kalinya, utusan dari Longyuan — ibu kota Kerajaan Tianxuan 天璇 (Tiānxuán) — datang membawa angin perubahan. Kehidupan keluarga Yun yang tenang perlahan mendekati simpang takdir yang besar.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Keesokan paginya, tanggal 11 bulan 10 tahun 472, kediaman keluarga Yun kembali dipenuhi kesibukan. Pelayan lalu-lalang dengan ceria. Yun Zhen duduk bersila di aula belajar, pedang kayu disandarkan ke dinding. Hari itu bukan hari latihan seperti biasa — seorang tamu penting akan datang.

“Nana, hari ini guru sastra Gege akan datang ke rumah,” bisik Nyonya Yun pada bayi mungilnya. Ia mengusap pipi Ruona yang kenyal seperti bakpao hangat. “Beliau akan membicarakan masa depan Gege-mu.”

“Guru sastra? Wah… ini pertama kalinya aku akan melihat sistem pendidikan zaman ini secara langsung. Ini menarik~” pikir Yun Ruona sambil mengedipkan mata polos.

Tak lama kemudian, suara ketukan terdengar. Seorang pria paruh baya dengan janggut rapi dan jubah biru tua masuk dengan langkah tenang. Matanya tajam, tapi ada wibawa lembut yang membuat pelayan otomatis menunduk hormat.

“Salam hormat untuk Tuan Yun dan Nyonya Yun,” ucapnya sambil memberi salam formal.

“Lin Xiansheng 林先生 (Lín xiānshēng - Guru Lin), terima kasih telah meluangkan waktu datang ke rumah kami,” sahut Yun Haoran, kali ini dengan senyum tenang seperti biasa. Sekilas, tak ada yang bisa menebak bahwa semalam ia terlibat pertemuan rahasia.

Guru Lin duduk. Matanya memandang Yun Zhen yang berdiri tegak di depan, lalu mengangguk puas.

“Bocah ini ... dalam ujian terakhir, ia menunjukkan ketajaman logika dan ketekunan luar biasa untuk seusianya. Jarang aku melihat anak sembilan tahun seperti dia.”

Nyonya Yun tersenyum bangga, Tuan Yun menatap anak lelaki pertamanya dengan bangga, sementara Yun Zhen menunduk malu tapi senang.

"Sekarang usiaku masih delapan tahun, Lin Xiansheng," protes Yun Zhen dengan cepat karena kebingungan mencari respon.

"Tapi bulan depan usiamu akan sembilan tahun, Zhen'er," balas Nyonya Yun.

"Biar bulan depan saja disebut sembilan tahun. Sekarang jangan dulu."

Semua orang tertawa mendengar opini Yun Zhen.

"Maaf kan atas kelancangan Yun Zhen, Lin Xiansheng," ujar Yun Haoran.

"Cepat minta maaf ke Lin Xiansheng atas ketidaksopananmu dan ucapkan terima kasih," perintah Nyonya Yun.

Yun Zhen segara menyanggupi perintah ibunya. "Maafkan aku, Lin Xiansheng, tadi tidak sopan padamu," ucap Yun Zhen sembari membungkuk, "dan terima kasih sudah memujiku."

"Tidak masalah. Masih anak-anak. Masih bisa dibina lagi," balas Lin Xiansheng dengan bijak.

"Baru kali ini aku lihat Gege seperti usianya. Biasanya terlalu kaku. Aku suka Gege yang sekarang, hihihi ...."

“Karena itulah,” lanjut Guru Lin, “aku ingin merekomendasikannya untuk masuk ke Akademi Tianwen cabang Yunshan 天文書院雲山分院 (Tiānwén Shūyuàn Yúnshān Fēnyuàn). Cabang ini berada langsung di bawah pengawasan akademi pusat di ibu kota Longyuan. Di sanalah para cendekiawan muda dari seluruh wilayah barat ditempa sebelum mengikuti ujian besar di pusat nanti.”

Ucapan itu membuat ruangan hening sesaat. Bahkan Yun Ruona yang masih bayi ikut membulatkan mata.

“Cabang Yunshan? Berarti Gege tidak akan pergi jauh, tapi … itu tetap berarti dunia luar yang baru untuknya. Akademi Tianwen, Longyuan, semua nama itu seperti pernah kudengar. Apa mungkin … dari ingatanku yang dulu?” pikir Ruona, menatap kosong pada pantulan lentera di mata ibunya.

Akademi Tianwen bukan sekadar tempat belajar — itu adalah gerbang pertama menuju masa depan para bangsawan muda dan calon pejabat kekaisaran. Namun, mengirim Yun Zhen ke sana berarti memulai langkah keluarga Yun kembali bersentuhan dengan dunia luar — dunia yang telah lama mereka hindari.

Yun Haoran menautkan jari-jarinya, berpikir dalam. “Cabang Yunshan lebih baik. Ia masih bisa pulang sewaktu-waktu,” ujarnya perlahan. “Tapi jika ini demi masa depan Zhen’er, kami sebagai orang tuanya akan pertimbangkan dengan sungguh-sungguh.”

✨ Bersambung ✨

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!