Kenyataan yang lebih kejam

Mobil Rani melaju perlahan di jalanan kota yang padat. Indira duduk tegak di kursi penumpang, matanya tidak lepas dari sedan hitam yang berada tiga mobil di depan mereka. Sedan Rangga. Mobilnya. Mobil yang sering ia tumpangi untuk pergi ke acara keluarga, makan malam romantis atau yang dulu pernah romantis.

"Masih terlihat?" tanya Rani, tangannya erat menggenggam setir.

"Masih," jawab Indira singkat. Suaranya datar, tapi jari-jarinya yang meremas tas di pangkuan mengkhianati ketegangan yang ia rasakan.

Mereka sudah mengikuti Rangga selama hampir dua puluh menit. Bukan arah ke kantornya. Melainkan ke kawasan yang dipenuhi kafe-kafe cozy, restoran mewah, dan apartemen-apartemen eksklusif.

Indira tahu ke mana Rangga pergi. Dalam hatinya, ia sudah tahu. Tapi mengetahui dan melihat langsung adalah dua hal yang sangat berbeda. Yang satu adalah pisau yang menggantung di atas kepala, yang lain adalah pisau yang benar-benar menusuk jantung.

"Dira," Rani berbicara hati-hati, "kamu yakin mau terus?"

"Iya."

"Karena kalau kamu mau berhenti, kita bisa putar balik sekarang. Kita bisa..."

"Ran," potong Indira, kali ini menoleh menatap sahabatnya. "Aku harus melihatnya. Aku harus tahu sejauh mana kebohongan dia. Aku butuh ini."

Rani mengangguk pelan, memahami. Ia mengenal Indira sejak mereka duduk sebangku di kelas tiga SMP. Ia tahu sahabatnya ini bukan tipe yang bisa melepaskan sesuatu tanpa penutupan dsn pembalasan yang jelas. Indira perlu melihat akhir cerita dengan matanya sendiri, betapapun menyakitkannya.

Sedan hitam di depan tiba-tiba menyalakan lampu sein, bersiap belok. Rani memperlambat mobil, menjaga jarak agar tidak terlalu mencolok.

"Dia belok ke kiri," gumam Rani.

Mereka mengikuti. Jalan menyempit, kini masuk ke kawasan perumahan mewah yang dipagari tinggi. Deretan rumah minimalis modern berdiri megah, halaman luas dengan taman yang tertata rapi.

"Ran, jangan terlalu dekat," Indira memperingatkan. "Parkir saja di pinggir jalan. Kita pantau dari sini."

Rani menurut. Ia memarkirkan mobil di bawah pohon rindang, posisi yang cukup tersembunyi namun masih bisa melihat dengan jelas.

Sedan Rangga berhenti di depan sebuah rumah dengan pagar besi berwarna hitam dan fasad putih modern. Rumah itu tidak terlalu besar, tapi terlihat elegan.

"Rumah siapa ini?" bisik Rani, meski tak ada seorang pun yang bisa mendengar mereka.

Indira tidak menjawab. Ia hanya menatap tajam ke arah rumah itu. Rahangnya mengeras.

Pintu sedan terbuka. Rangga keluar, ia berjalan santai ke arah pintu pagar, menekan bel.

Detik-detik berlalu seperti jam.

Lalu pintu rumah terbuka.

Seorang wanita muncul. Rambutnya panjang terurai, bergelombang indah. Mengenakan dress rumah berwarna krem yang simpel namun anggun. Wajahnya bahkan dari jarak ini terlihat cantik. Senyumnya merekah lebar saat melihat Rangga.

Ayunda, cinta pertama suaminya.

Rangga berlari kecil menghampiri wanita itu, merentangkan tangannya, lalu memeluk Ayunda erat, lama, penuh kerinduan. Rangga menurunkan kepalanya, mencium kening Ayunda dengan lembut. Sangat lembut. Penuh kasih sayang.

Indira membeku. Matanya melebar. Dadanya sesak, sakit, perih. Cara itu, cara yang sering Rangga gunakan saat mencium kening Indira. Dulu. Ketika cinta masih terasa nyata di antara mereka atau hanya Indira saja yang merasakannya.

Indira sudah mempersiapkan diri. Ia sudah tahu ini akan terjadi. Tapi tidak ada yang bisa mempersiapkan seseorang untuk melihat suami yang dicintainya atau yang pernah dicintainya memeluk wanita lain.

"Dira..." suara Rani bergetar. "Dira, aku... aku turut..."

"Diam," bisik Indira. Suaranya tenang. Terlalu tenang. "Ambilkan ponselku dari tasku."

"Apa?"

"Ponselku. Cepat."

Rani merogoh tas Indira dengan tangan gemetar, mengeluarkan ponsel. Ia menyerahkannya, dan Indira langsung membuka kamera.

"Dira, apa yang..."

"Aku butuh bukti," jawab Indira sambil mengarahkan kamera ponselnya ke arah pasangan di depan rumah itu. Tangannya stabil. Tidak bergetar sama sekali. "Siapa tahu ini berguna suatu saat."

Rani menatap sahabatnya dengan campuran kagum dan khawatir. Kagum karena Indira tetap bisa berpikir rasional di tengah situasi yang menghancurkan. Khawatir karena ketenangan itu terasa... tidak wajar.

Indira mengambil beberapa foto. Foto Rangga memeluk Ayunda. Foto mereka tertawa bersama. Foto Rangga mengusap pipi wanita itu dengan gesture yang terlalu intim untuk sekadar rekan kerja. Foto mereka berdua masuk ke dalam rumah, tangan Rangga melingkar di pinggang Ayunda.

Setiap klik adalah palu yang memaku realitas ke dalam hati Indira.

Ini nyata. Ini benar-benar terjadi. Suaminya bukan hanya berselingkuh. Ia sudah membangun hidup baru dengan wanita lain. Mungkin rumah itu adalah investasi mereka. Mungkin mereka sudah merencanakan masa depan bersama. Mungkin Indira hanya hambatan yang harus disingkirkan.

Pintu rumah tertutup. Rangga dan Ayunda menghilang di baliknya.

Indira menurunkan ponselnya. Ia menatap layar, melihat foto-foto yang baru saja diambilnya. Bukti. Bukti hitam di atas putih atau lebih tepatnya, bukti dalam pixel yang tajam.

"Dira," Rani berbicara pelan, "kamu... tidak apa-apa?"

Pertanyaan bodoh. Tentu saja Indira tidak apa-apa. Tapi apa yang harus Rani katakan? Tidak ada kata-kata yang tepat untuk situasi seperti ini.

"Ayo pergi dari sini," ucap Indira datar.

"Pulang?"

"Tidak." Indira menggeleng. "Aku tidak bisa pulang sekarang. Tidak ke rumah itu. Tidak ke tempat yang penuh dengan foto-foto kami, kenangan kami, kebohongan kami."

Rani menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin menangis untuk Indira. Karena Indira sendiri tidak menangis. Tidak ada lagi air mata yang turun dari mata itu. Hanya tatapan kosong yang menakutkan.

"Oke," kata Rani akhirnya. "Aku ajak kamu ke suatu tempat."

Rani memutar mobil, meninggalkan kawasan perumahan itu.

Mereka berkendara dalam diam. Hanya suara deru mesin dan musik lembut dari radio yang mengisi kesunyian. Indira menatap keluar jendela, melihat kota yang terus bergerak.

Dua puluh menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah kafe kecil di kawasan yang lebih tenang. Bukan kafe mainstream yang ramai. Ini adalah hidden gem, kafe indie dengan dinding bata ekspos, tanaman gantung di mana-mana, dan musik jazz yang mengalun lembut. Tempat yang nyaman. Tempat untuk menyembuhkan luka.

"Ini tempatnya," kata Rani sambil mematikan mesin. "Kafe Senja. Aku sering ke sini kalau lagi butuh ketenangan."

Indira menatap kafe itu. Dari luar terlihat hangat, cahaya kuning dari lampu vintage menerangi interior yang cozy. Beberapa orang duduk di dalam, menikmati kopi mereka dengan damai.

"Ayo," ajak Rani sambil turun dari mobil.

Indira mengikuti, langkahnya terasa berat. Mereka masuk, disambut aroma kopi yang menenangkan dan sapaan ramah dari barista.

"Mau duduk di mana?" tanya Rani.

"Pojok. Yang sepi," jawab Indira.

Mereka memilih sofa di sudut kafe, dekat jendela besar yang menghadap taman kecil. Rani memesan dua cappuccino dan sepotong cake cokelat untuk mereka berdua.

Ketika pesanan datang, mereka duduk dalam diam yang tidak nyaman. Rani tidak tahu harus berkata apa. Indira menatap cangkir kopinya, jemarinya memeluk cangkir itu, mencari kehangatan.

"Kamu tahu yang paling menyakitkan?" Indira akhirnya berbicara. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan.

"Apa?" Rani bertanya hati-hati.

"Bukan karena dia selingkuh." Indira mengangkat pandangannya, menatap sahabatnya dengan mata yang kosong. "Bukan karena dia memilih wanita lain. Tapi karena cara dia memeluk wanita itu... cara dia mencium keningnya... itu adalah cara dia dulu memperlakukan aku."

Rani merasakan dadanya sesak mendengar kata-kata itu.

"Aku melihat Rangga yang dulu," lanjut Indira, suaranya mulai bergetar sedikit. "Rangga yang penuh perhatian. Yang romantis. Yang lembut. Ternyata dia tidak berubah. Dia hanya memilih memberikan sisi itu ke wanita lain."

"Dira..."

"Aku bertanya-tanya, Ran," Indira tersenyum pahit. "Apa salahku? Apa kekuranganku? Kenapa aku tidak cukup?"

"Jangan," Rani menggenggam tangan Indira erat. "Jangan pernah berpikir ini salahmu. Ini bukan tentang kamu yang kurang. Ini tentang dia yang serakah. Tentang dia yang pengecut."

Indira diam. Ia menatap tangan mereka yang bertautan, satu-satunya pegangan yang ia punya saat ini.

"Kamu tahu," Indira berbicara lagi, "aku memberikan hari ini sebagai kesempatan terakhir. Aku pikir kalau dia datang, kalau dia memilih aku hari ini, mungkin aku bisa memaafkan semuanya. Mungkin kita bisa mulai lagi."

"Dira..."

"Tapi dia tidak datang," potong Indira. "Dia tidak memilih aku. Bahkan ketika dia tahu hari ini penting. Bahkan ketika aku sudah memberikan peluang terakhir. Dia lebih memilih... wanita itu."

Air mata pertama jatuh. Hanya satu. Turun perlahan di pipi Indira.

"Jadi sekarang aku tahu," Indira menyeka air mata itu cepat. "Aku tahu di mana aku berdiri. Aku tahu apa yang harus aku lakukan."

"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Rani.

Indira menatap ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ponsel yang menyimpan foto-foto tadi. Bukti. Senjata.

"Aku akan berhenti menjadi korban," jawab Indira, kali ini suaranya terdengar lebih tegas. "Aku akan mengambil kembali kendali hidupku. Dan aku akan memastikan dia akan menyesal karena sudah menyakitiku."

Rani menatap sahabatnya dengan kagum. Di tengah kehancuran, Indira menemukan kekuatan. Di tengah air mata, ia menemukan ketegaran.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!