Deru mesin mobil Rangga baru terdengar saat jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Indira sedang menyiram tanaman di halaman depan, tetapi tidak ada niat dalam dirinya untuk menyambut kepulangan sang suami seperti biasa.
Pagi ini, keadaan Indira sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia merasa bersyukur memiliki sahabat setia seperti Rani yang selalu ada untuknya. Tadi malam, Rani bukan hanya membuka kedua matanya untuk melihat kebusukan sang suami. Tetapi Rani juga menemani dan menghiburnya, hingga pagi ini Indira masih bisa berdiri tegak seperti biasa.
Saat pintu mobil terbuka, Indira sama sekali tidak menoleh, hatinya sudah mati. Cintanya sudah musnah. Tidak ada lagi jejak-jejak cinta di dalam hatinya untuk sang suami. Ya, Indira yang selama ini dikenal sebagai wanita lembut, hangat, dan penuh senyum. Pagi ini, semua itu mendadak musnah dan menghilang.
Sebanyak apapun kesalahan yang dilakukan, Indira masih bisa maafkan nya. Tatapi tidak dengan pengkhianatan. Sekali berselingkuh, maka sebesar apapun cintanya untuk pria itu pasti akan runtuh dalam sekejap
"Sayang..." Rangga menghampiri, memeluk tubuh Indira dari belakang. "Maafkan ya sayang, aku baru pulang sekarang? Semalam mendadak harus keluar kota." Rangga memeluk erat, mencium pipi Indira yang hanya memasang wajah datar.
"Iya gak apa-apa." Indira melepaskan pelukan itu. Berjalan menuju ke rumah yang diikuti oleh Rangga.
"Sayang kamu marah? Aku sama sekali gak bermaksud untuk membohongimu? semalam aku ingin memberi kabar, tapi ponselku mendadak rusak," Rangga membujuk, meraih tangan Indira yang sontak menghentikan langkahnya.
Indira sedang tidak ingin melihat wajah munafik itu. Tetapi Rangga malah memegang kedua bahunya, memutar posisi agar mereka saling berhadapan.
"Tidak apa-apa Mas. Bukannya kamu sudah biasa seperti ini?" Indira merasa bodoh. Dia sama sekali tidak sadar, jika hal seperti itu bukan kali pertama terjadi. Setelah dipikir-pikir, dalam satu minggu, Rangga pasti 2 sampai 3 kali beralasan keluar kota dan tololnya Indira selalu percaya.
Indira tersenyum miris. Sungguh bodoh dirinya yang ternyata sudah dibohongi selama berbulan-bulan, atau mungkin bertahun-tahun.
"Sayang... kamu kenapa?" Rangga terlihat panik, saat melihat bulir air mata tiba-tiba jatuh di pipi Indira.
Indira dengan cepat menyekanya. "Tidak apa-apa Mas. Kalau begitu aku mau ke belakang dulu. Mas Rangga langsung istirahat saja, pasti capek semalaman tidak tidur!"
Indira langsung pergi, meninggalkan Rangga yang mengerutkan keningnya bingung. "Tidak biasanya Indira dingin seperti ini?"
Rangga dapat merasakan jika pagi ini istrinya sangat berbeda. Biasanya Indira selalu tersenyum dan menyambut kepulangannya dengan hangat. Tapi pagi ini, Rangga seperti melihat sosok lain dalam diri istrinya.
"Mungkin dia masih marah karena aku gak kasih kabar. Nanti tinggal beli bunga aja untuk bujuk dia," gumam Rangga tersenyum.
Rangga menuju ke dapur. Ia ingin minum segelas air karena tenggorokannya sedikit kering. Tapi saat ia melihat ke arah meja makan, Rangga baru teringat satu hal.
"Astaga..." Rangga menepuk keningnya sendiri. "Aku lupa tadi malam kan hari Anniversary pernikahan ku dengan Indira. Pantas saja pagi ini dia marah! Bodoh banget sih kamu Rangga, bisa-bisanya lupa."
Rangga memperhatikan meja makan. Di atasnya masih tertata rapi masakan Indira yang tidak tersentuh sedikitpun. Rasa bersalah semakin merayap masuk ke hatinya.
Rangga mengurungkan niatnya untuk ke kamar. Ia kembali pergi, mengendarai mobilnya menuju ke toko bunga. Ya, Rangga ingin menebus kesalahannya saat itu juga. Dia harus minta maaf, semalam istrinya sudah menyiapkan semua itu dengan susah payah. Tapi dia malah melupakannya.
Dihalaman belakang, Indira duduk di kursi santai dekat kolam renang. Kepalanya menatap langit pagi yang cerah, tapi keadaan itu sangat kontras dengan suasana hatinya yang gelap.
Malam tadi, Indira sudah bisa berdamai dengan hatinya yang teriris perih. Tapi pagi ini, saat matanya tak sengaja melihat kissmark samar yang ada di leher sang suami. Membuat luka hati yang belum sembuh, kembali di beri garam.
"Dasar laki-laki sial! Brengsek!" Indira memaki sambil memukul tepi kursi santai. Tangannya terasa sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit.
"Stop Indira! Stop nangisi pria brengsek itu. Hatimu jauh lebih berharga."
Indira menyeka air matanya. Ia sudah bertekad jika ini adalah air mata terakhir yang ia keluarkan untuk Rangga.
Tidak berselang lama, langkah kaki kembali terdengar. Mata Indira yang baru saja tertutup, kini kembali terbuka. Ia melihat suaminya, Rangga sedang berjalan ke arahnya sembari membawa satu buket bunga mawar merah dan kotak hadiah di sisi tangan yang lainnya.
Jika biasanya, ia akan langsung tersenyum lebar dan menerima semua itu dengan hati yang berbunga-bunga. Tetapi tidak dengan kali ini yang langsung membuatnya jijik bahkan hampir muntah.
"Happy anniversary sayang? Maaf ya tadi malam aku lupa? Urusan semalam sangat urgent?" Rangga tersenyum. Senyum dulu menurut Indira paling manis dan paling tampan.
Indira masih menatapnya dengan ekspresi datar. Tidak ada niatan dalam dirinya untuk menerima kedua benda itu.
"Sayang... kok diam saja? Kamu gak suka ya? Kalau gitu, bagaimana siang ini kita mall? Kamu bebas beli apa saja yang kamu mau. Satu harian ini, waktu ku hanya untuk kamu?" Rangga terus membujuk. Dia tidak suka melihat Indira yang dingin. Rangga sudah terbiasa dengan sosok Indira yang manja dan hangat.
"Oke! Nanti siang kita mall. Mas jangan ingkar janji lagi." Indira menerima kedua benda itu. Memasang senyum simpul yang sangat tipis.
Rangga mengecup kening Indira. "Ia sayang. Aku tidak mungkin mengecewakan kamu lagi. Kalau begitu, aku ke kamar dulu ya?" Rangga kembali mengecup kening istrinya. Lalu, setelah itu ia kembali ke dalam rumah.
Indira kembali memasang ekspresi datar. Ia meninggalkan kursi santai, menuju ke tempat sampah untuk membuang kedua benda itu. Oh tuhan, sudah berapa lama indira menjadi wanita bodoh yang sudah ditipu oleh suaminya. Selama ini, setiap kali Rangga memberi bunga atau hadiah, indira selalu menganggap jika sang suami sangat mencintainya.
Namun sekarang, setelah mengetahui kebenarannya. Indira baru sadar, jika bunga dan hadiah yang selama ini ia terima, bukan sebagai bukti cinta dari Rangga untuknya. Melainkan sebuah sogokan untuk menutupi kebusukan yang sudah dilakukan Rangga di belakangnya.
"Apa kali ini kamu akan benar-benar menepati janjimu Mas? Siang ini, kesempatan terakhir yang aku berikan untukmu. Jika kamu kembali melanggarnya seperti hari-hari sebelumnya. Maka tidak akan pernah ada kata maaf lagi," gumam Indira.
Indira kembali ke dalam rumah. Meski ia sangat kecewa dan marah dengan suaminya, tetapi ia tidak bisa mengabaikan tanggungjawabnya sebagai seorang istri. Indira kembali ke dapur, merapikan meja makan dan membuatkan sarapan pagi yang tertunda untuk suaminya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments