Hari itu suasana kampus sudah sepi. Hanya suara burung gereja dan angin yang berdesir di antara pohon flamboyan depan fakultas. Raka duduk di tangga depan gedung sambil memainkan botol air mineral yang sudah kosong.
“Jadi, kita mau ke mana nih libur semester panjang gini?” katanya sambil memandang teman-temannya satu per satu.
Nando mengangkat bahu. “Ke rumah aja bosen, bro. Tahun lalu juga begitu. Pengen liburan tapi duit pas-pasan.”
Dimas tertawa kecil.
“Ya jangan ke Bali juga. Cari yang deket-deket aja. Yang penting suasananya beda.”
Di samping mereka, tiga mahasiswi—Citra, Lala, dan Novi—sedang membuka peta digital di ponsel.
“Eh, ini loh,” kata Citra antusias, “aku nemu tempat di forum traveling. Namanya Bukit Arga Dipa. Katanya masih alami banget, belum banyak orang tahu.”
Bukit?” tanya Lala sambil mengerutkan kening.
“Ada jalur pendakian resminya nggak?”
Citra menggeleng.
“Belum resmi sih, tapi banyak yang bilang view-nya keren banget, apalagi pas sunrise.”
Nando langsung semangat.
“Nah! Itu baru asik. Nggak usah jauh-jauh, tapi tetap ada tantangannya.”
Raka sempat ragu.
“Tapi kalau belum resmi, aman nggak Takutnya jalurnya belum jelas.”
“Ah, lo penakut aja,” goda Dimas.
“Kita kan rame-rame, apa yang di takutin?”
Lala dan Novi saling pandang.
“Yaudah deh, sekalian refreshing,” kata Novi akhirnya.
“Tapi jangan lupa bawa peralatan lengkap. Jangan sampai kayak waktu camping di Pantai Watu, yang tenda aja lupa bawa.”
Mereka semua tertawa. Suasana sore itu ringan dan penuh semangat, seolah-olah liburan ini akan jadi petualangan yang menyenangkan.
“Gimana kalau kita ajak Leo juga?” usul Lala sambil menatap teman-temannya.
“Dia kan sering bantuin kita ngerjain tugas. Lagian, kalau ada dia, cowok jadi empat orang, aman kalau nanti ada hal-hal berat di perjalanan.”
Raka langsung menoleh.
“Leo? Yang jurusan Teknik Mesin itu?”
“Iya,” jawab Lala.
“Dia pernah cerita suka naik gunung juga. Katanya dulu sering ikut komunitas pendaki di kotanya.”
Nando mengangguk pelan.
“Boleh juga. Tambah satu orang nggak masalah. Biar lebih rame.”
Citra tersenyum kecil.
“Asal jangan diajak cuma karena kamu suka sama dia, Laa.”
Lala langsung mencubit lengan Citra sambil cemberut.
“Ih, apaan sih! Aku cuma mikir biar aman!”
Mereka semua tertawa lagi, tapi di tengah tawa itu Raka mendadak merasa aneh—entah kenapa, ada firasat kecil di dadanya yang membuatnya tidak nyaman.
“Yaudah, nanti aku yang hubungin Leo,” kata Dimas akhirnya.
“Besok sore kita rapat kecil di kosan Raka buat rencanain perlengkapan, pembagian tugas, sama waktu berangkat.”
Semua setuju.
Sore mulai merambat ke senja. Langit oranye perlahan memudar jadi ungu, dan angin dingin bertiup lewat koridor kampus yang mulai kosong.
Setelah rencana disepakati, mereka pun berpisah. Matahari sudah tenggelam sepenuhnya, meninggalkan semburat jingga terakhir di langit barat. Satu per satu mahasiswa itu berjalan menuju parkiran kampus yang mulai gelap.
“Besok sore di kosanku, jangan telat ya!” teriak Raka sambil menaiki motornya.
“Oke, kapten!” sahut Nando sambil tertawa. Citra dan Novi naik motor bareng Lala karena rumah mereka searah.
Hanya Dimas yang pulang sendirian. Rumahnya memang agak jauh dan berlawanan arah dari teman-temannya, di daerah yang lebih sepi, melewati jalan kecil yang diapit kebun bambu di kanan kiri.
Next Part ya hehe...
Angin malam berembus pelan ketika Dimas melajukan motornya. Jalan itu hanya diterangi lampu-lampu jalan yang jaraknya cukup jauh satu sama lain. Sesekali terdengar suara jangkrik dan serangga malam.
“Wah, jalanan makin sepi aja,” gumamnya. Ia menambah kecepatan sedikit.
Namun tiba-tiba, di tikungan dekat rumpun bambu, ia melihat sesuatu. Dari kejauhan, tampak seperti seseorang berdiri di pinggir jalan. Sosok itu tinggi dan kurus, mengenakan pakaian putih panjang yang samar-samar terlihat di bawah cahaya lampu jalan yang redup. Rambutnya terurai panjang, tertiup angin.
Dimas refleks mengerem. Motornya berhenti beberapa meter dari sosok itu.
“Halo?” panggilnya, mencoba berani. Tidak ada jawaban. Sosok itu diam saja, tapi kepalanya perlahan miring ke satu sisi, seperti memperhatikan Dimas.
“Wah, mungkin warga sekitar,” katanya pelan, berusaha menenangkan diri. Ia menyalakan motornya lagi dan melaju cepat, menoleh sebentar lewat kaca spion.
Kosong.
Tidak ada siapa pun di jalan itu. Bahkan bayangannya pun lenyap.
Dimas menelan ludah, merinding. “Ah, mungkin cuma bayangan pohon,” katanya pada diri sendiri.
Udara malam makin dingin. Jalanan yang dilalui Dimas semakin sepi—tak ada rumah, tak ada kendaraan lain. Hanya suara angin dan derit ranting bambu yang saling bergesekan di kanan kiri jalan.
Ia mencoba menenangkan diri.
“Santai aja, Dim. Jangan mikir aneh-aneh.” Tapi jantungnya masih berdebar cepat sejak melihat sosok putih tadi.
Beberapa menit kemudian, tanpa sebab, motornya terasa berat.
Awalnya seperti ada angin menahan laju roda, tapi lama-lama terasa seolah ada beban besar di belakang.
Ia menoleh sekilas. Tak ada siapa-siapa. Jok belakang kosong.
Namun anehnya, suspensi motornya turun seperti sedang ditumpangi seseorang. Dimas mulai panik. Ia menarik gas, tapi motor malah makin pelan.
“Jangan bercanda dong... ini kenapa sih?” katanya dengan suara gemetar. Ia coba memutar gas lebih dalam — tapi suara mesin seperti tertahan, meraung tanpa tenaga.
Semakin lama, ia merasa sesuatu seperti hembusan napas dingin di tengkuknya. Tubuhnya mulai merinding hebat.
Sekejap saja Dimas kehilangan kendali. Motor oleng, ban depan menyentuh batu kecil, lalu terpeleset ke sisi jalan. Ia sempat berteriak kecil sebelum tubuhnya jatuh ke tanah, motornya terguling beberapa meter ke depan.
Semuanya gelap.
Dimas tak sadarkan diri.
Angin berhenti berembus, dan dari balik pepohonan bambu, muncul kabut putih yang perlahan mengelilingi tubuhnya. Dalam kabut itu, samar-samar terlihat bayangan seorang wanita berambut panjang berjalan mendekat…
***
Malam semakin larut. Lampu-lampu jalan di kawasan itu sebagian sudah padam, menyisakan beberapa titik cahaya kuning yang redup di antara kabut tipis.
Leo baru saja keluar dari apotek kecil di ujung jalan. Ia membeli obat untuk ibunya yang sedang sakit.
Rumahnya memang tak jauh dari situ, jadi ia hanya berjalan kaki sambil mendengarkan musik lewat earphone.
Namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sesuatu di seberang jalan—sebuah motor terguling di atas trotoar, dengan lampu depan masih menyala redup.
Leo mengenali motornya hampir seketika.
“Itu… motornya Dimas, kan?” gumamnya heran.
Ia langsung menyeberang, menurunkan earphone, dan mematikan musik.
Begitu sampai di dekat motor, jantungnya berdegup cepat. Di tanah tak jauh dari sana, ia melihat seseorang tergeletak, tubuhnya setengah tertutup dedaunan bambu yang berguguran.
“Dimas!” serunya sambil berlari. Ia menepuk-nepuk pipi temannya itu. “Dim! Hei, bangun!”
Dimas tak bergerak. Nafasnya masih ada, tapi lemah. Di wajahnya tampak debu dan sedikit luka di pelipis, seperti akibat terjatuh.
Leo menoleh ke sekitar. Jalan itu sepi, hanya suara jangkrik dan desir daun. Tapi entah kenapa, bulu kuduknya berdiri. Ada perasaan tak enak yang sulit dijelaskan—seolah ada yang sedang memperhatikan dari kegelapan.
Ia buru-buru menyalakan senter ponsel.
Cahaya putih kecil menembus kabut tipis di sekitarnya. Tapi di ujung cahaya itu… sesuatu bergerak cepat di antara batang bambu.
Tanpa banyak berpikir, Leo segera mengangkat tubuh Dimas ke punggungnya. Dengan tenaga seadanya,
Udara malam makin dingin, dan kabut yang tadi tipis kini mulai menebal. Lampu-lampu jalan di sepanjang gang kecil menuju rumah Leo berkedip beberapa kali sebelum padam satu per satu.
Sesampainya di halaman rumah, Leo berteriak,
“Pa...! Dek! Bantuin! Temanku pingsan!”
Pintu rumah segera terbuka. Ayahnya, Pak Surya, muncul dengan wajah panik. Di belakangnya, adik perempuan Leo, Mira, menyusul sambil membawa handuk kecil.
“Ya ampun, Leo! Siapa ini?” tanya sang ayah sambil membantu mengangkat Dimas ke dalam rumah.
“Teman kampus, Pa... Tadi aku nemu dia jatuh di jalan dekat kebun bambu. Sepertinya kecelakaan kecil.”
Mereka membaringkan Dimas di ruang tamu, di atas sofa panjang. Mira segera menyalakan kipas kecil dan mengambil air hangat untuk membersihkan luka di pelipisnya.
Namun saat ia menyeka wajah Dimas, tiba-tiba tangannya berhenti.
“Kak…” suaranya pelan, agak bergetar.
“Kulitnya dingin banget, kayak bukan cuma pingsan.”
Leo memegang pergelangan tangan Dimas — benar. Tubuhnya terasa dingin sekali, padahal udara di dalam rumah tidak sedingin di luar.
Pak Surya memeriksa denyut nadinya.
“Masih hidup, tapi lemah. Nanti kita panggil bidan saja, ya. Sekarang biarkan dia istirahat dulu.”
Leo mengangguk, tapi pikirannya tak tenang.
***
Sementara itu, di tempat lain, Nando sedang bersantai di kamarnya. Lampu LED biru dari layar komputer membuat suasana kamar tampak dingin. Ia duduk di kursi sambil memainkan game favoritnya, lengkap dengan headset dan musik latar yang keras.
Jam di dinding menunjukkan pukul 10.47 malam. Angin malam berembus lewat jendela yang sedikit terbuka. Tirai tipis di sudut kamar bergerak lembut, seirama dengan dentuman musik dari game.
Malam itu, Nando sendirian di rumah. Ayah dan ibunya sedang menghadiri acara keluarga di luar kota, dan adik perempuannya sedang menginap di rumah teman.
“Wah, enak juga rumah sepi gini,” katanya sambil tertawa kecil, meneguk minuman kaleng di meja.
“Bisa main sampai pagi.”
Namun, di tengah permainan, tiba-tiba terdengar suara “kring!” — suara piring pecah dari arah dapur.
Nando spontan melepas headsetnya.
Suara itu cukup keras, seperti jatuh dan membentur lantai keramik.
Detak jantung Nando masih cepat ketika ia memberanikan diri menoleh ke arah dapur.
Cahaya senter di ponselnya bergetar karena tangannya gemetar. Tapi tak lama kemudian, ia mendengar suara “meong…” pelan dari bawah meja makan.
Nando menelan ludah, lalu menunduk.
Dari bawah meja, muncul seekor kucing berwarna oranye belang putih yang langsung menggosokkan tubuhnya ke kaki Nando.
“Jenggo?!” serunya lega.
“Wah, dasar kamu ya, bikin kaget aja.”
Kucing itu mengeong pelan lagi dan menatap Nando dengan mata bulatnya yang berkilau dalam cahaya redup. Ia tampak tenang — terlalu tenang untuk seekor kucing yang baru saja memecahkan piring.
Nando tertawa kecil, berjongkok, dan mengelus kepala kucing itu.
“Pantesan tadi denger suara aneh. Rupanya kamu yang jatuhin piring, ya.”
Ia menghela napas lega dan berdiri lagi, bersiap untuk kembali ke kamarnya. Tapi baru dua langkah berjalan, sesuatu tiba-tiba terlintas di kepalanya.
Ia berhenti. Perlahan menoleh ke belakang.
Kucing itu masih duduk diam di tempat, menatapnya.
“Eh…” Nando bergumam pelan.
“Tunggu dulu…”
Ia mengingat sesuatu — sore tadi, si Jenggo dikurung di kandang belakang rumah, karena belum dimandikan dan suka lari ke atap.
Nando sendiri yang menutup kandangnya… dan menguncinya dengan kait besi.
“Kalau gitu…” bisiknya pelan,
“yang di depan aku sekarang ini—”
Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, kucing itu tiba-tiba menyeringai.
Bukan seperti kucing biasa — sudut mulutnya terangkat lebar, memperlihatkan deretan gigi tajam yang bukan milik hewan peliharaan.
Mata Nando membesar. Ia melangkah mundur, menjatuhkan ponselnya.
Cahaya dari ponsel yang terjatuh menerangi lantai — cukup untuk memperlihatkan bahwa bayangan kucing itu tak ada.
Dan saat ia menatap lagi, sosok “Jenggo” itu sudah berdiri dengan dua kaki, tubuhnya perlahan memanjang, dan matanya menyala merah.
Tepat ketika Nando hendak mundur, napasnya tersengal dan jantungnya hampir melompat keluar. Dari belakang, sebuah tangan dingin menepuk pelan pundaknya.
“Bang Nando…” suara lembut itu membuat seluruh tubuhnya menegang.
Nando berteriak spontan,
“AAAAAAH!!” dan hampir menjatuhkan dirinya ke lantai. Ia menoleh cepat — dan hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Caca?!” serunya masih gemetar.
Gadis kecil berambut sebahu itu berdiri di belakangnya sambil menutup telinga karena kaget dengan teriakan Nando.
“Kak Nando! Apaan sih teriak-teriak? Aku baru datang, malah diteriakin,” katanya kesal.
Nando masih mencoba mengatur napasnya. “Ca… Ca, kamu dari mana? Bukannya kamu nginep di rumah Nia?”
Caca mengangkat bahunya sambil menunjuk tas ransel di punggungnya.
“Gak jadi, Kak. Mama Nia lagi sakit, jadi aku disuruh pulang. Nia nginap di rumah sakit. Aku udah ketok pintu dari tadi, tapi gak dibuka-buka. Jadi aku lewat pintu belakang.”
Nando menatapnya bingung, lalu pelan-pelan menoleh ke arah dapur.
Cahaya dari ponselnya masih menyala di lantai. Tapi… si Jenggo sudah tidak ada.
Tak ada jejak bulu, tak ada bekas piring pecah yang tadi jelas terdengar jatuh.
Semua terlihat rapi, seperti tak pernah ada kejadian apa pun.
Caca memperhatikan wajah kakaknya yang pucat.
“Kak, kenapa sih? Mukanya kayak habis lihat hantu,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Nando menelan ludah, matanya masih tak lepas dari arah dapur.
“Ca… kamu tadi liat Jenggo gak?”
Caca mengernyit. “Kucing kita? Enggak. Bukannya dari sore dikurung di kandang belakang?”
Nando terdiam.
Pundaknya terasa dingin — seperti masih ada bekas sentuhan tangan lain sebelum Caca menepuknya tadi.
Perlahan, dari arah jendela belakang, terdengar suara cakaran halus,
“krrt... krrt... krrt...”, diiringi suara dengkuran samar seperti kucing… tapi nadanya berat dan tidak wajar.
Nando dan Caca saling berpandangan.
“Aku kira itu angin…” bisik Nando pelan.
Caca menelan ludah.
“Tapi Kak… angin gak bisa menggaruk jendela.”
***
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar tamu rumah Leo. Dimas perlahan membuka matanya, kepala terasa berat seperti baru saja ditabrak sesuatu.
Ia mengerjap pelan, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam.
Terakhir yang ia ingat—motor terasa berat, gas ditarik tapi tidak mau, lalu semuanya gelap.
“Udah sadar juga akhirnya,” terdengar suara dari sisi kanan. Leo berdiri sambil membawa segelas air putih dan tersenyum lega.
“Lo bikin gue panik, bro. Ketemu lo pingsan di jalan, motor lo juga jatuh.”
Dimas langsung duduk, walau kepalanya masih berdenyut.
“Gue… jatuh?” gumamnya pelan.
Leo mengangguk.
“Untung gue lewat situ. Kalau nggak, mungkin lo udah dibawa orang. Gue panggilin dokter semalam, katanya lo cuma kelelahan dan kaget.”
Dimas mencoba tersenyum tapi ekspresinya kaku.
“Leo… waktu itu gue ngerasa aneh. Kayak ada yang duduk di belakang motor. Berat banget, bro… padahal gue sendirian.”
Leo terdiam sejenak. Matanya menatap wajah Dimas dengan ekspresi bingung, tapi juga agak takut.
“Lo yakin gak cuma halusinasi karena capek?”
Dimas menunduk, lalu memijat pelipisnya.
“Gue gak tau. Tapi pas gue jatuh… gue sempet denger suara kayak orang ngelus-ngelus jok motor, lembut banget, terus kayak bisikan perempuan—pelan banget di telinga gue.”
Suasana ruang tamu
Tiba-tiba dari arah depan terdengar suara motor dan mobil berhenti hampir bersamaan. Suara tawa samar dan langkah kaki terdengar mendekat.
“Assalamualaikum Leooo! Buka pintunyaaa!” suara khas Raka yang paling keras di antara mereka langsung terdengar.
Leo menoleh ke arah Dimas.
“Kayaknya mereka udah dateng,.”
Tak lama, muncul Raka, Nando, Citra, Lala, dan Novi, semuanya tampak cemas tapi juga lega begitu melihat Dimas duduk di sofa dengan wajah masih agak pucat.
“Gila, Dim! Katanya lo jatuh dari motor? Kita panik semua, loh!” ujar Raka langsung menghampiri sambil menepuk bahu Dimas.
“Untung Leo ketemu kamu” tambah Lala, menaruh kantong plastik berisi buah di meja.
“Kalo gak, entah gimana jadinya.”
Dimas yang mulai merasa lebih baik bersandar santai di sofa sambil tertawa kecil.
“Ya gitulah…” katanya sambil menghela napas pelan, “habisnya sendiri mulu, gak ada teman.”
Ucapan itu membuat semua yang ada di situ menoleh ke arahnya.
Tapi tatapan Dimas berhenti tepat di satu orang — Lala.
Lala yang sedang meneguk teh langsung terbatuk kecil, pipinya memerah.
“Eh—apa sih, Dim… ngomong gitu ngeliriknya ke aku pula,” katanya setengah malu, setengah kesal.
Raka langsung menimpali sambil tertawa keras, “Waduh, waduh! Ini tanda-tanda liburan kita bakal penuh drama nih!”
Citra dan Novi juga ikut menggoda.
“Aduh, Dimas suka Lala ya?” kata Novi dengan suara manja sambil melirik ke arah Lala.
“Ah, enggak lah!” sahut Lala cepat sambil berpura-pura fokus ke gelasnya. Tapi telinganya sudah merah.
Leo hanya menggeleng sambil menahan tawa. “Udah-udah, jangan digodain dulu. Kasian yang lagi sakit malah makin deg-degan.”
Dimas cuma tersenyum malu-malu, tapi di balik senyumnya ada sesuatu yang tulus. Ia memang menyukai Lala sejak semester lalu, cuma gak pernah sempat ngomong.
Suasana jadi lebih hangat. Mereka tertawa bersama, seolah kejadian semalam hanya mimpi buruk yang sudah lewat.
Suasana rumah Leo pagi itu terasa lebih hidup dari biasanya. Suara tawa mereka masih terdengar di ruang tamu, diselingi aroma harum teh manis dan suara panci dari dapur.
Tak lama kemudian, dari arah dapur muncul Bu Rida, ibunya Leo, dengan langkah pelan. Di sampingnya, Mira, adik bungsu Leo yang masih duduk di bangku SMA, membawa nampan berisi gorengan panas — tahu isi, pisang goreng, dan tempe mendoan yang masih mengepul.
Wah, rame banget nih rumah ibu hari ini,” ucap Bu Rida sambil tersenyum hangat.
“Ternyata Dimas udah sadar, syukurlah, Nak.”
Dimas langsung berdiri dengan sopan.
“Iya, Bu. Maaf ya udah ngerepotin… saya bener-bener gak nyangka bisa sampai pingsan di jalan.”
Bu Rida menggeleng pelan.
“Ah, gak apa-apa, Nak. Yang penting kamu udah sehat. Kalo bukan karena Leo, bisa-bisa kamu masih di jalan.”
Mira meletakkan nampan gorengan di meja dan tersenyum ke arah teman-teman kakaknya.
“Ini gorengan buatan aku, loh. Cobain, masih panas!”
“Wah, makasih banget, Mir!” kata Nando sambil langsung nyomot tempe mendoan.
“Ini baru namanya penyambutan.”
Raka juga ikut nimbrung sambil bercanda,
“Kalau tiap teman Leo pingsan terus dijamu beginian, besok gue pura-pura jatuh juga deh.”
Semua langsung tertawa keras, termasuk Bu Rida. Tapi Lala menatap Dimas sebentar, senyum tipis muncul di wajahnya.
“Untung kamu baik-baik aja, Dim,” katanya pelan.
Dimas membalas senyum itu, wajahnya sedikit memerah.
“Iya, makasih ya udah repot-repot dateng.”
Leo memperhatikan mereka berdua dari sudut mata sambil menahan senyum kecil.
Sambil menikmati gorengan buatan Mira, suasana di ruang tamu rumah Leo makin riuh.
Nando sudah bercanda lagi, Raka sibuk menirukan gaya dosen killer di kampus,
Di tengah obrolan itu, Citra tiba-tiba bersuara sambil menepuk tangannya.
“Eh, kenapa kita gak rapat di sini aja? Kan udah ngumpul semua nih,” katanya dengan nada semangat.
Semua langsung menoleh ke arahnya.
“Rapat apa?” tanya Raka sambil ngunyah tahu isi.
“Ya rapat buat rencana liburan lah! Bukannya minggu depan kita mau naik bukit itu?” jawab Citra sambil tersenyum lebar.
“Oh iya ya,” sahut Nando.
“Gue udah lupa karena sibuk mikirin kerjaan rumah. Tapi bener juga, mumpung lengkap semua.”
Siang itu, suasana rumah Leo semakin ramai. Di meja sudah terhampar peta rute pendakian, beberapa bungkus gorengan, dan gelas teh yang mulai mendingin.
Mereka sedang membahas perlengkapan dan siapa saja yang ikut ke Bukit Arga Dipa, bukit yang baru dibuka untuk pendakian umum beberapa bulan lalu.
Di tengah obrolan, Lala yang dari tadi menulis daftar perlengkapan tiba-tiba menoleh ke arah dapur, tempat Bu Rida sedang membereskan piring dibantu oleh Mira.
Lala berdiri, lalu berkata sopan,
“Bu Rida, boleh saya ngomong sebentar?”
Bu Rida menoleh sambil tersenyum.
“Iya, Nak kenapa ya?”
Lala menatap Leo sebentar, lalu menatap Bu Rida lagi.
“Soalnya… minggu depan kami rencananya mau liburan sekalian mendaki ke Bukit Arga Dipa, Bu. Saya sama teman-teman pengen ngajak Leo ikut juga. Soalnya, ya, biar lengkap, kan, Bu,” katanya sambil tersenyum manis.
Leo yang lagi duduk di ruang tamu langsung menatap Lala kaget, “Eh—La, kamu belum ngomong ke aku lho…”
Lala nyengir kecil. “Ya biar izin dulu ke ibunya, siapa tahu disuruh gak boleh,” katanya sambil menggoda.
Bu Rida tertawa lembut. “Aduh, kalian ini ya… kalau anak muda kumpul, pasti ujung-ujungnya naik gunung. Tapi ‘Bukit Arga Dipa’ itu yang dekat desa Mekar Sari ya kalau nggak salah
Citra langsung menjawab,
“Iya, Bu! Katanya pemandangannya bagus banget. Sunrise-nya keliatan dari puncak.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!