Mantan Pacar Istri

Waktu seolah membeku. Udara di dalam ruang tamu yang sejuk mendadak terasa tipis dan menyesakkan, sulit untuk kuhirup masuk ke dalam paru-paru. Jari telunjuk Aldo yang teracung ke arah sofa, menunjuk ponselku, terasa lebih tajam dari segenggam pisau. Seluruh semesta menyusut menjadi tiga titik fokus mataku, mata Aldo, dan layar ponsel yang menyala terang dengan pesan pengkhianatan di atasnya.

“Siapa itu, Ra?”

Suara Aldo terdengar begitu tenang, hampir seperti bisikan. Namun, ketenangan itulah yang membuat bulu kudukku merinding. Aku lebih siap menghadapi bentakan atau teriakan marah. Kelembutan suaranya yang sarat dengan kekecewaan terasa seperti ribuan jarum tak kasat mata yang menusuk jantungku.

“Itu… bukan siapa-siapa, Mas,” sahutku dengan suara tercekat. Lidahku terasa kaku dan setiap kata yang keluar terasa seperti kebohongan besar yang kasar.

“Bukan siapa-siapa?” ulang Aldo, alisnya sedikit terangkat. Ia menarik kembali tangannya dan berjalan perlahan mendekati sofa. Setiap langkahnya terasa seperti dentuman genderang yang mengiringi eksekusiku. “Aku bisa baca namanya dengan jelas dari sini. Windu. Dan pesannya… ‘Jawab aku, Ra. Please. Aku butuh tahu…’ Sepertinya dia benar-benar butuh jawaban.”

Aku menelan ludah dengan susah payah. Otakku bekerja seratus kali lebih cepat, mencari-cari alasan, alibi, apapun yang bisa menyelamatkanku dari jurang ini. “Dia… dia cuma teman lama, Mas. Teman kuliah.”

“Teman kuliah?” Aldo kini sudah berdiri di samping sofa, menatap lurus ke arah ponselku tanpa menyentuhnya. Tatapannya kemudian beralih kepadaku, menusuk dan penuh selidik. “Teman kuliah yang bikin kamu nangis sampai mata kamu semerah ini?”

Skakmat. Aku terpojok. Setiap kebohongan yang kuciptakan justru menjadi jerat baru yang semakin mengikatku.

“Aku nggak nangis karena dia!” elakku, nada suaraku sedikit meninggi karena panik. “Aku cuma… kaget aja dia tiba-tiba kirim pesan. Udah lama banget nggak ada kontak.”

“Kaget?” Aldo tersenyum tipis, tapi senyum itu sama sekali tidak mencapai matanya. “Orang kalau kaget biasanya nggak sampai sesedih itu, Sayang. Apalagi sampai bilang kalau tadi itu kelilipan debu.”

Dia membongkar kebohonganku satu per satu dengan gaya seorang ahli bedah. Aku merasa telanjang di hadapannya, semua pertahananku luruh tak bersisa.

“Mas, tolong jangan salah paham,” pintaku lirih, air mata yang tadi kutahan kini mulai menggenang lagi di pelupuk mata. “Ini nggak seperti yang Mas pikirkan.”

“Kalau gitu, tolong jelaskan seperti apa yang seharusnya aku pikirkan,” tuntutnya dengan suara yang masih tetap terkendali. “Karena yang aku lihat sekarang adalah istriku, di hari pertama pernikahan kita, menangis sendirian di rumah setelah menerima pesan dari pria lain yang memanggilnya dengan nama panggilan akrab.”

Aku terdiam seribu bahasa. Setiap kalimatnya adalah fakta yang tak terbantahkan. Apa yang bisa kukatakan?

Melihatku hanya diam, Aldo akhirnya membungkuk dan mengambil ponselku. Jantungku serasa berhenti berdetak. Ini adalah akhir dari segalanya. Ia akan membuka pesannya, membaca semua percakapan kami, dan pernikahan ini akan hancur bahkan sebelum sempat dimulai.

Aku memejamkan mata, bersiap menerima badai yang akan datang.

Namun, tidak ada teriakan. Tidak ada suara benda yang dibanting. Yang ada hanyalah keheningan yang memekakkan telinga. Dengan gemetar, aku membuka mata perlahan.

Aldo berdiri tegak di hadapanku, memegang ponselku di tangannya. Ia tidak sedang membaca rentetan pesanku dengan Windu. Matanya justru tertuju lurus padaku, ekspresinya sulit ditebak. Ada luka, ada kekecewaan, tapi tidak ada amarah yang meluap-luap.

“Aku nggak akan buka pesan kamu,” ujarnya pelan, seolah bisa membaca ketakutanku. “Itu privasi kamu.”

Aku terkesiap. Pernyataannya membuatku semakin merasa bersalah.

“Tapi aku juga bukan orang bodoh, Aerra,” lanjutnya. “Aku butuh kejujuran. Siapa Windu? Dan kenapa dia punya pengaruh sebesar ini sama kamu?”

Air mataku akhirnya jatuh tak tertahankan lagi. Kebaikannya justru terasa lebih menyakitkan daripada kemarahannya. “Dia… dia mantan pacarku, Mas.”

Pengakuan itu akhirnya keluar juga dari bibirku, terasa pahit dan membebaskan di saat yang bersamaan. Rahang Aldo tampak mengeras sejenak mendengar jawabanku, sebuah retakan kecil akhirnya terlihat di topeng tenangnya.

“Mantan pacar,” desisnya. Ia meletakkan kembali ponselku ke atas meja kopi, layarnya kini sudah meredup. “Kenapa dia menghubungimu lagi? Sekarang?”

“Aku… aku juga nggak tahu, Mas. Tiba-tiba saja. Dia dengar kabar kalau aku… menikah.”

“Lalu?” kejar Aldo. “Dia nggak terima? Dia mau kamu kembali?”

Aku menggeleng cepat. “Nggak! Bukan gitu. Dia cuma… kaget.” Aku tidak mungkin menceritakan tawaran gila Windu untuk membawaku kabur. Itu akan menyiram bensin ke dalam api.

“Aerra,” panggil Aldo, suaranya kini melunak. Ia melangkah maju dan duduk di sampingku di sofa. Aku refleks sedikit menjauh. “Lihat aku.”

Dengan enggan, aku mengangkat wajahku dan menatap matanya. Aku melihat sorot terluka yang dalam di sana.

“Aku tahu pernikahan kita ini berawal dari perjodohan,” katanya pelan. “Aku tahu mungkin kamu butuh waktu. Tapi aku mau kamu tahu satu hal, aku serius sama pernikahan ini. Aku tulus mau membangun rumah tangga sama kamu. Aku pikir… aku pikir kamu juga merasakan hal yang sama saat kamu bilang ‘iya’ di depan penghulu.”

Setiap katanya adalah belati yang menghunjamku. Rasa bersalah ini begitu pekat, membuatku mual.

“Maaf, Mas… Aku…”

“Jangan minta maaf,” potongnya. “Aku cuma minta satu hal. Kejujuran. Mulai dari sekarang, nggak ada lagi yang ditutup-tutupi. Bisa?”

Aku mengangguk lemah, tidak sanggup berkata-kata.

“Bagus,” katanya. Ia menghela napas panjang, seolah melepaskan beban berat dari dadanya. Ia kemudian berdiri. “Makanan yang aku bawa udah dingin. Aku panasin dulu di dapur. Kamu bersihin dulu muka kamu, ya.”

Ia berbalik dan berjalan menuju dapur tanpa menoleh lagi. Sikapnya yang begitu dewasa dan pengertian membuatku semakin membenci diriku sendiri. Harusnya aku merasa lega, tapi yang kurasakan justru sebaliknya. Aku merasa tercekik oleh kebaikannya.

Aku meraih ponselku yang tergeletak di meja. Jariku gemetar saat membuka kunci layar. Notifikasi pesan dari Windu masih ada di sana, menunggu untuk dibaca. Di belakangnya, ada beberapa panggilan tak terjawab darinya juga.

Tepat saat aku hendak membuka percakapan kami, sebuah pesan baru masuk dari Aldo, yang kini berada di dapur, hanya beberapa meter dariku.

Pesan itu singkat, hanya satu kalimat, tapi kalimat itu membuat darahku serasa membeku di dalam nadi.

"Masalah itu belum selesai. Setelah makan, aku mau kamu telepon dia di depanku. Aku mau dengar sendiri kamu bilang kalau semuanya sudah berakhir."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!