Ponsel di tanganku terasa seberat sebongkah batu. Huruf-huruf putih di layar hitam itu seolah menari-nari, mengejek ketenanganku yang baru seumur jagung. Napasku tertahan di tenggorokan, dan detak jantungku yang tadinya tenang kini berpacu liar, menghantam-hantam tulang rusukku seperti genderang perang.
Aerra, ini aku. Kamu baik-baik aja, kan?
Hanya ada satu ‘aku’ di dunia ini yang akan mengirim pesan sesingkat itu dan berhasil membuat seluruh duniaku jungkir balik. Windu. Nama itu bergema di dalam kepalaku, membawa serta jutaan kenangan yang selama ini susah payah kutekan dalam-dalam.
Jemariku gemetar hebat. Haruskah aku membalasnya? Mengabaikannya? Menghapus pesannya dan berpura-pura tidak pernah menerimanya? Opsi terakhir terasa paling aman, paling benar. Aku adalah istri Aldo sekarang. Membalas pesan dari pria lain, apalagi cinta pertamaku, adalah sebuah pengkhianatan nyata.
Namun, jariku bergerak di luar kendali. Rasa penasaran dan kerinduan yang terpendam menjadi kekuatan yang lebih besar dari logika. Aku harus tahu. Aku hanya ingin memastikan.
“Ini siapa?” balasku singkat, berusaha terdengar sedingin mungkin, seolah aku benar-benar tidak tahu.
Balasan datang bahkan sebelum aku sempat meletakkan ponselku. Cepat sekali. Seolah dia sudah menunggu di seberang sana, menantikan respons dariku.
“Jangan pura-pura, Ra. Aku tahu kamu masih simpan nomorku. Ini aku, Windu.”
Panggilan ‘Ra’ itu. Panggilan singkat yang hanya ia yang gunakan. Rasanya seperti ada belati hangat yang menusuk tepat di ulu hatiku. Sakit sekaligus… nyaman. Aku menggigit bibir bawahku, menahan isakan yang tiba-tiba mendesak ingin keluar.
“Dapat nomorku dari mana?” tanyaku lagi, mengabaikan pernyataannya. Aku butuh mengalihkan pembicaraan dari topik yang berbahaya.
“Mama. Tadi Mama telepon, nanyain kabar. Terus Mama bilang kamu… kamu nikah.” Ada jeda yang terasa begitu panjang dalam ketikan pesannya. “Aku nggak percaya, Ra. Jadi aku minta nomormu yang baru. Kamu ganti nomor, ya?”
“Iya,” jawabku lirih, seolah ia bisa mendengarku.
“Kenapa, Ra? Kenapa secepat ini? Bukannya kamu janji mau nunggu aku?”
Pertanyaan itu akhirnya datang juga. Pertanyaan yang paling kutakuti. Air mataku akhirnya luruh, membasahi layar ponsel. Jariku kembali mengetik dengan susah payah di antara pandangan yang mengabur.
“Nunggu apa lagi, Ndu? Kamu pergi gitu aja. Nggak ada kabar, nggak ada kepastian. Mama…” Aku berhenti sejenak. Menyalahkan Mama terasa seperti mencari kambing hitam, meski memang ada andilnya. “…aku capek, Ndu.”
“Aku pergi juga buat kita, Ra! Aku dapat tawaran kerja di Swiss. Gajinya besar. Rencanaku, setahun aku kerja di sana, kumpulin uang yang banyak, terus pulang buat ngelamar kamu! Biar mamamu nggak punya alesan buat nolak aku lagi!”
Pesan itu menghantamku seperti badai. Jadi, ini alasannya? Dia pergi bukan untuk meninggalkanku, tapi justru untuk memperjuangkanku? Kenapa dia tidak pernah bilang? Kenapa dia membiarkanku menunggu dalam ketidakpastian?
“Kenapa kamu nggak bilang dari awal?” suaraku bergetar saat mengetik balasan.
“Aku mau kasih kejutan. Aku pikir kamu percaya sama aku. Aku pikir kita punya ikatan yang lebih kuat dari itu. Ternyata aku salah.”
“Bukan gitu, Ndu. Kamu nggak tahu apa yang aku hadapin di sini. Tekanan dari Mama, omongan tetangga… setiap hari. Aku nggak kuat.”
“Terus kamu milih jalan pintas? Nikah sama direktur kaya pilihan mamamu? Semudah itu kamu ngebuang semua kenangan kita, Ra?”
“Bukan mudah!” Aku hampir berteriak saat membalas pesannya. “Kamu pikir ini gampang buat aku? Aku menderita, Ndu! Setiap detiknya!”
Setelah mengirim pesan itu, aku langsung menyesalinya. Aku baru saja mengakui penderitaanku pada pria lain di hari pertama pernikahanku. Aku menatap layar, menunggu balasannya dengan cemas.
“Kalau kamu menderita, kenapa dilanjutin? Ra, aku serius. Aku bisa pulang sekarang juga. Pesan tiket malam ini, lusa aku udah sampai di Jakarta. Kita bisa mulai semuanya dari awal. Aku nggak peduli kamu udah nikah. Pernikahan tanpa cinta itu bukan pernikahan.”
Tawarannya begitu menggiurkan. Sebuah jalan keluar dari sangkar emasku. Bayangan wajah Windu, senyumnya, dan tawa hangatnya melintas di benakku. Harapan yang tadinya sudah kupadamkan kini menyala kembali, meski hanya berupa percikan kecil.
“Nggak bisa, Ndu. Semuanya udah terlambat.”
“Nggak ada yang terlambat kalau kita sama-sama mau berjuang! Bilang sama aku, Ra. Apa kamu masih cinta sama aku?”
Aku terdiam. Pertanyaan pamungkas itu membuatku tak bisa berkutik. Jemariku kaku di atas keyboard. Mengatakan ‘iya’ akan menjadi perang terhadap takdirku sendiri. Mengatakan ‘tidak’ akan menjadi kebohongan terbesar dalam hidupku.
Tepat saat aku dilanda dilema hebat, sebuah bunyi ‘bip’ pelan yang disusul suara pintu terbuka membuatku tersentak kaget. Jantungku serasa melompat ke kerongkongan. Aldo pulang.
Dengan gerakan panik, aku segera keluar dari aplikasi pesan dan melempar ponselku ke sisi lain sofa, seolah benda itu adalah barang bukti kejahatan. Aku buru-buru menghapus sisa air mata di pipiku dengan punggung tangan dan mencoba memasang senyum senormal mungkin.
“Mas? Kok udah pulang?” tanyaku, suaraku terdengar sedikit serak dan aneh di telingaku sendiri.
Aldo muncul dari balik pintu, senyumnya yang hangat langsung merekah saat melihatku. Di tangannya ada sebuah kantong kertas dari restoran terkenal.
“Iya, Sayang. Meeting-nya selesai lebih cepat dari perkiraan,” jawabnya sambil melonggarkan dasinya. “Aku kepikiran kamu sendirian di sini, pasti belum makan siang. Jadi aku bungkusin makanan kesukaanmu.”
Dia berjalan mendekat, meletakkan kantong itu di meja kopi. Matanya yang tajam menatapku lekat-lekat, senyumnya perlahan memudar, digantikan oleh kerutan khawatir di dahinya.
“Kamu… nggak apa-apa?” tanyanya pelan.
“Eh? Nggak apa-apa, kok, Mas. Kenapa emangnya?” elakku, berusaha tertawa kecil. Tawa itu terdengar aneh dan dipaksakan.
Aldo tidak langsung menjawab. Ia mengambil satu langkah lebih dekat, tatapannya mengunci wajahku. Aku merasa seperti terdakwa di ruang sidang. Keringat dingin mulai membasahi pelipisku.
“Mata kamu merah,” ujarnya, nadanya lembut namun penuh selidik. “Kamu habis nangis, ya?”
“Nggak! Ini… ini tadi kelilipan debu aja, pas buka jendela di balkon,” aku merangkai kebohongan pertama dalam pernikahan kami. Rasanya begitu pahit dan menyesakkan.
Aldo terdiam, seolah menimbang-nimbang jawabanku. Aku menahan napas, berdoa dalam hati semoga ia memercayainya. Namun, alih-alih mengangguk, ia justru mengulurkan tangannya, bukan untuk menyentuhku, melainkan menunjuk ke arah sofa.
Pandanganku mengikuti arah jarinya, dan seketika itu juga darahku terasa berhenti mengalir. Ponselku yang tadi kulempar dengan panik, mendarat dengan posisi layar menghadap ke atas. Dan layarnya masih menyala.
Di sana, di bawah cahaya temaram ruang tamu, sebuah notifikasi pesan baru muncul di bagian atas layar, menampilkan nama pengirim dan pratinjau pesannya dengan sangat jelas.
Windu: Jawab aku, Ra. Please. Aku butuh tahu…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments