Ketegangan di ruang guru sudah mencapai titik didih. Tangisan Rika yang histeris dan lantang, serta wajah Bu Rosba yang memerah padam karena amarah dan rasa malu yang terpapar, telah menciptakan keheningan yang mematikan. Semua mata guru terpaku pada dua wanita itu, dua kutub konflik yang kini tidak lagi tersembunyi.
Tepat pada momen genting itu, pintu ruang guru terbuka. Sosok tinggi dan tegap memasuki ruangan: Pak Rahmat, Kepala Sekolah SMA Negeri 2, yang berusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya yang biasa tenang kini memancarkan aura serius dan sedikit terkejut melihat pemandangan dramatis di hadapannya.
“Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut seperti di pasar?” Suara Pak Rahmat berat, namun ia tidak meninggikannya, justru membuat semua orang diam karena wibawanya.
Bu Rosba, yang merasa terpojok, segera mengambil inisiatif. Ia melangkah maju, memasang wajah korban yang dibuat-buat, meskipun Rika bisa melihat kilatan amarah di matanya yang masih menyala.
“Pak Kepala, syukurlah Bapak datang. Tolong, Pak, lihat apa yang dilakukan guru honorer ini!” Rosba menunjuk Rika dengan tangan gemetar. “Dia menghina saya! Dia berteriak di depan umum, menuduh saya, guru senior yang sudah mengabdi puluhan tahun, sebagai ‘monster’ di sekolah ini!”
Pak Rahmat menghela napas, menoleh ke arah Rika. Ia melihat air mata di pipi Rika yang masih mengering, dan sorot mata yang penuh kepedihan, berbeda dengan drama yang biasa ia saksikan. Ia juga melihat Bima, si Ketua Kelas X-A, yang berdiri di belakang Rika, menunduk ketakutan.
"Rika,” panggil Pak Rahmat dengan nada lembut namun menuntut. “Jelaskan apa yang terjadi.”
Rika menarik napas dalam-dalam, menguatkan dirinya. Semua sakit hati, pengkhianatan di rumah, dan penghinaan Bu Rosba harus ia gunakan sebagai bahan bakar untuk memperjuangkan murid-muridnya.
“Maafkan saya, Pak, karena sudah membuat kegaduhan,” kata Rika, suaranya masih bergetar, tetapi ia berusaha mengendalikan emosinya. “Saya tidak bermaksud kurang ajar, Pak. Tapi saya harus membela anak-anak didik saya.”
Ia kemudian menceritakan semua, mulai dari Bu Rosba yang masuk ke kelas X-A, hingga keputusan ekstrem Rosba memberikan nilai ‘E’ pada semua siswa.
“Bu Rosba melakukan ini bukan karena alasan akademis, Pak. Beliau melakukan ini karena dendam pribadi. Beliau marah karena saya, sebagai guru honorer dan walikelas, dianggap terlalu berambisi. Beliau bilang, saya penghambat bagi murid-murid saya. Dan karena beliau tidak suka pada saya, beliau menghukum anak-anak itu, Pak!” Rika menunjuk tumpukan kertas nilai di meja Bu Rosba, suaranya meninggi dengan nada frustrasi.
****
“Anak-anak itu sudah bekerja keras, Pak. Mereka sudah berusaha! Tapi Bu Rosba sengaja menjatuhkan mental mereka, hanya untuk memuaskan egonya dan membuktikan bahwa saya tidak becus!”
Rosba mendengarkan, wajahnya semakin memerah. Begitu Rika selesai bicara, Rosba langsung tertawa, tawa sumbang yang menarik perhatian semua orang.
“Dengar, Pak Rahmat! Dengar baik-baik drama yang dia buat!” seru Rosba, suaranya melengking. Ia melangkah ke tengah ruangan, menunjuk Rika dengan jari telunjuknya.
"Dia ini pandai sekali main sandiwara! Harusnya dia jadi aktris, Pak, bukan guru! Lihat matanya yang berkaca-kaca itu! Lihat tangisannya! Semua itu hanya akting untuk menarik simpati Bapak dan menutupi arogansinya!”
Rosba mendekat ke arah Pak Rahmat. “Dia tidak terima saya menilainya jujur, Pak! Anak-anak itu memang manja, karena selama ini dibimbing oleh guru honorer yang hanya sibuk mencari perhatian dan menyanjung mereka! Saya hanya ingin menyadarkan mereka, Pak!”
“Rika itu terlalu berambisi, Pak! Dia mau semua kegiatan diurusnya, semua kelas dipimpinnya, seolah-olah dia itu guru paling hebat di sekolah ini! Dia membuat kami yang senior ini terlihat seperti pemalas!” Rosba berhenti, mengambil napas, sorot matanya kembali tajam menusuk Rika.
“Dan soal anak itu!” Rosba menunjuk Bima. “Tentu saja dia akan membela muridnya! Walikelas yang selalu memanjakannya dengan nilai dan perhatian berlebihan, walikelas yang hanya ingin diakui! Ini semua sandiwara murahan, Pak Rahmat! Jangan tertipu dengan air mata buaya guru honorer ini!”
****
Rika merasakan tubuhnya lemas. Ia tidak menyangka Rosba akan menyerangnya dengan begitu brutal, menelanjangi semua rasa sakitnya menjadi sebuah tuduhan ‘drama’ dan ‘sandiwara.’
“Saya tidak berbohong, Bu!” seru Rika, suaranya sudah berubah menjadi parau karena menahan tangis dan amarah. “Apa yang saya dapatkan di rumah, di sini, semua itu nyata! Saya hanya ingin diakui sebagai guru yang bekerja keras!”
"Bekerja keras atau mencari muka? Beda tipis, Rika!” balas Rosba dengan nada menghina. “Kamu pikir kami tidak tahu kamu sedang bermasalah di rumah? Kamu sedang mencari pelarian di sini! Kamu mencari perhatian yang tidak kamu dapatkan dari suamimu! Jangan bawa-bawa masalah rumah tanggamu yang berantakan ke sekolah!”
Rika menatap Bu Rosba, matanya penuh kepedihan dan rasa terkhianati yang mendalam.
Pak Rahmat menggebrak meja dengan telapak tangannya. Suara keras itu mengejutkan semua orang, termasuk Rosba.
“Cukup!” perintah Pak Rahmat. Suaranya tidak lagi bersahaja.
Ia menoleh ke arah Rika. “Rika, silakan kamu keluar dulu. Kembali ke kelasmu, temui murid-muridmu. Bima, kamu kembali ke kelas. Saya akan urus masalah ini.”
Rika ragu sejenak. Ia ingin melawan, namun ia melihat ketegasan di mata Pak Rahmat. Ia mengangguk pelan.
“Baik, Pak. Tapi tolong, tegakkan keadilan untuk anak-anak X-A,” pinta Rika, suaranya hampir tidak terdengar. Ia berbalik, bergegas keluar dari ruang guru, meninggalkan semua pandangan, semua tuduhan, dan semua kehancuran emosionalnya di belakangnya.
Pak Rahmat menunggu hingga pintu tertutup. Ia menatap Rosba, lalu menatap guru-guru lain.
****
“Bu Rosba,” kata Pak Rahmat, suaranya tenang, namun mengandung ancaman tersembunyi. “Sebagai guru senior, saya menghormati pengabdian Ibu. Tapi Ibu sudah melanggar batas yang tidak bisa dimaafkan.”
Rosba mencoba memprotes. “Tapi, Pak—”
"Keputusan Ibu untuk menghukum satu kelas karena masalah pribadi dengan walikelas mereka adalah tindakan yang tidak profesional dan merusak mental anak didik,” potong Pak Rahmat. “Saya tidak peduli seberapa ambisiusnya Rika. Yang saya tahu, dia bekerja. Dan sebagai Kepala Sekolah, saya tidak akan membiarkan ada guru yang menghancurkan masa depan siswa hanya untuk memuaskan ego.”
Pak Rahmat menunjuk kursi Rosba. “Duduk. Saya minta Ibu segera mengoreksi ulang nilai-nilai itu. Jika tidak, saya sendiri yang akan mengambil tindakan.”
Rosba terdiam, wajahnya kini pucat, tidak lagi merah. Ia tahu, kali ini ia sudah kelewatan. Tapi di benaknya, ia hanya berpikir, Rika si guru honorer itu sudah gila. Dia nekat menukar rumah tangganya demi sebuah pengakuan, dan dia menang.
Sementara itu, Rika berjalan di koridor sekolah. Tangannya dingin, tubuhnya gemetar. Ia tidak tahu apa hasil dari pertengkaran itu, ia hanya tahu satu hal: ia sudah tidak punya apa-apa lagi di rumah, dan satu-satunya yang tersisa hanyalah harga dirinya dan murid-muridnya. Ia akan mempertaruhkan segalanya untuk mereka. Ia sudah membuat garis tegas. Sekarang, ia harus melihat apakah garis itu cukup kuat untuk menahan badai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments