Nilai Ulangan Dan Drama Ketegasan

Mentari pagi merangkak naik, namun tidak membawa kehangatan ke dalam rumah Rika. Suasana Subuh terasa dingin, kaku, dan dipenuhi keheningan yang mematikan. Ramdhan sudah pergi. Ia beranjak setelah menunaikan salat, bahkan tanpa menoleh sedikit pun pada Rika yang terbangun dengan mata bengkak di atas sajadah. Pintu ditutup dengan suara pelan, namun bagi Rika, itu terdengar seperti pintu penjara yang baru saja dikunci dari luar.

Di balik tirai, Ibu Cahya rupanya sudah terjaga. Rika bisa mendengar langkah kaki Cahya yang gesit, dan suara gumaman puasnya yang tidak disembunyikan.

“Anakku akhirnya sadar,” bisik Cahya, suaranya dipenuhi kemenangan. “Menyingkirkan beban itu memang yang terbaik. Wanita tidak berguna, hanya menyusahkan saja. Bagus, Ramdhan. Bagus.”

Rika menutup telinganya, air mata yang tersisa kemarin seolah sudah beku. Ia merasa hampa. Keputusan Ramdhan menceraikannya, yang didukung penuh oleh sang mertua, telah meninggalkan lubang besar di dadanya. Namun, ia tidak boleh lumpuh. Ada satu tempat yang masih membutuhkan kehadirannya, satu tempat di mana ia bisa melupakan statusnya sebagai istri yang dicampakkan dan menantu yang terhina.

Sekolah.

Dengan gerakan mekanis, Rika mandi. Air dingin membasuh wajahnya, namun gagal memadamkan bara kepedihan. Ia mengenakan seragam guru berwarna khaki, menyisir rambutnya yang panjang dengan tergesa. Ia harus pergi, harus bertemu murid-muridnya. Senyum antusias mereka, rasa ingin tahu mereka, itu adalah satu-satunya pelabuhan Rika saat ini.

Ia tidak sarapan. Ia hanya menenggak segelas air putih, mencium tangan Cahya yang memberikan tatapan superioritas tanpa sepatah kata pun, lalu bergegas menuju motornya. Rika memacu motornya di tengah kemacetan kota, setiap putaran roda seolah menjauhkan dirinya dari kehancuran rumah tangganya.

Tiba di SMA Negeri 2, Rika langsung menuju ruang guru. Ia menyapa guru-guru lain dengan senyum yang dipaksakan. Ia berusaha menghindari Bu Rosba, yang untungnya belum terlihat di mejanya. Rika menyiapkan materi untuk kelasnya, mencoba fokus pada tenses dan vocabulary, namun setiap kata terasa hambar di lidahnya.

****

Tiba-tiba, pintu ruang guru terbuka. Bukan Bu Rosba yang masuk, melainkan Bima, Ketua Kelas X-A, dengan wajah panik dan mata yang berkaca-kaca. Ia menghampiri meja Rika, hampir berlari.

“Bu Rika! Bu, kami minta tolong!” seru Bima, napasnya tersengal.

Rika meletakkan pulpennya. “Bima? Ada apa? Pelan-pelan. Kenapa kamu di sini, ini jam pelajaran pertama sudah dimulai.”

“Nilai, Bu. Nilai tugas Sejarah kami… semua dikasih E. Semua anak X-A, nilainya jatuh semua!” Bima berbisik panik, namun suaranya masih terdengar jelas di ruang guru.

Dada Rika mencelos. “Tugas Sejarah? Kenapa? Itu ‘kan mata pelajaran Bu Rosba?”

“Iya, Bu Rosba. Kemarin saat jam kosong, dia masuk ke kelas kami dan membagikan hasil tugas esai. Semua dikasih nilai paling rendah! Padahal, kami sudah mengerjakan dengan maksimal!”

Rika bisa merasakan pandangan mata para guru lain di ruangan itu mulai tertuju padanya. Ia merasa dingin, tangannya gemetar. Ini bukan kebetulan. Ini serangan.

“Memangnya apa alasan Bu Rosba memberikan nilai E semua?” tanya Rika, berusaha menjaga ketenangan suaranya.

“Katanya... katanya tugas kami tidak orisinal. Katanya kami terlalu banyak meniru gaya bicara ‘guru honorer yang sok pintar’,” Bima menunduk, takut mengucapkan kata-kata itu. “Bu Rosba juga bilang, kami tidak akan pernah berprestasi kalau walikelasnya hanya guru honorer yang sibuk cari muka.”

Darah Rika berdesir ke kepala. Ini bukan lagi soal dirinya, ini tentang murid-muridnya. Murid-murid yang ia sayangi, yang ia pimpin, kini menjadi korban dari dendam pribadi seorang guru senior.

****

Tepat pada saat itu, Bu Rosba masuk ke ruang guru. Ia berjalan dengan langkah pelan, namun senyum kemenangan terukir di bibirnya. Ia melihat Rika dan Bima yang sedang berbicara. Ia segera menyadari bahwa dramanya sudah dimulai.

Rosba berjalan mendekat, menatap Bima dengan tatapan menghina. “Anak ini? Kenapa kamu ada di sini? Mencari wali kelas yang berambisi ini, ya?”

Rika bangkit berdiri. Ia menatap Rosba lurus-lurus, tidak ada lagi kelembutan di matanya, hanya api amarah dan rasa tidak percaya.

Rika bangkit berdiri. Ia menatap Rosba lurus-lurus, tidak ada lagi kelembutan di matanya, hanya api amarah dan rasa tidak percaya.

“Bu Rosba,” panggil Rika, suaranya tegas, menarik perhatian seluruh ruangan. “Bisa kita bicara sebentar?”

“Oh, Tentu saja, Rika. Tentang nilai kelas X-A, bukan?” Rosba melipat tangan di depan dada, nadanya penuh kesombongan.

“Kenapa Ibu memberi nilai E pada semua siswa kelas X-A? Mereka sudah bekerja keras untuk esai itu!”

Rosba tertawa kecil, tawa yang sinis. Ia menoleh ke arah guru-guru lain, seolah meminta persetujuan.

“Karena nilainya memang pantas, Rika. Sebagai guru senior, saya tahu mana tugas yang berkualitas dan mana yang hanya copy-paste dari bimbingan seorang guru yang hanya mau mendongkrak reputasinya sendiri.”

Rika merasakan sakit yang menusuk. “Ibu menuduh saya curang?”

“Saya tidak menuduh, Rika. Saya hanya memberikan fakta. Saya tahu, kamu itu wali kelas X-A. Kamu guru Bahasa Inggris. Tapi sejak kamu datang, kamu selalu mencari perhatian. Kamu ikut campur di semua mata pelajaran, semua kegiatan. Kamu menuntun anak-anak itu, Rika. Kamu merusak orisinalitas mereka!” Rosba menunjuk wajah Rika dengan jari telunjuknya.

“Dan biar saya perjelas di depan semua guru di sini,” Rosba sengaja meninggikan suaranya, agar semua orang mendengar, “Saya menurunkan nilai mereka untuk memberikan pelajaran! Pelajaran bahwa, tidak semua yang mengkilap itu emas! Walikelas mereka hanyalah guru honorer yang sibuk cari muka, dan itu tidak akan membawa mereka ke mana-mana! Itu tidak akan membuat nasib mereka lebih baik! Mengerti, Rika? Saya ingin mereka sadar, bahwa siapa yang ada di depan mereka itu sebenarnya hanya penghambat!”

****

Rika berdiri mematung, dadanya terasa sesak. Kata-kata Rosba, ‘penghambat,’ ‘guru honorer yang sibuk cari muka,’ menusuk hingga ke tulang. Di tengah rasa sakit akibat pengkhianatan Ramdhan, serangan di sekolah ini terasa seperti pukulan terakhir yang membuatnya benar-benar jatuh.

Rika memejamkan mata sejenak, menelan gumpalan pahit di tenggorokan. Ia membuka matanya, menatap Rosba dengan pandangan yang penuh air mata, namun juga penuh ketegasan yang tak terduga.

“Ibu Rosba,” ujar Rika, suaranya pelan tapi menusuk. “Saya mungkin guru honorer, status saya mungkin tidak sebergengsi Ibu. Suami saya mungkin akan menceraikan saya karena saya sibuk bekerja dan dianggap tidak berguna di rumah.”

Pengakuan itu membuat semua guru terdiam, termasuk Rosba. Wajah Rosba tampak terkejut.

“Tapi ada satu hal yang tidak bisa Ibu ambil dari saya, dan itu adalah integritas saya mengajar. Saya mungkin ambisius, tapi ambisi saya adalah melihat mereka berhasil, bukan untuk menginjak-injak orang lain seperti yang Ibu lakukan saat ini!” Rika menunjuk tumpukan kertas nilai di tangan Rosba.

“Ibu merusak mental anak-anak itu, Bu! Mereka tidak bersalah. Mereka hanya korban dari kecemburuan dan dendam pribadi Ibu yang tidak profesional! Silakan Ibu hina saya, Bu, silakan Ibu caci maki saya, tapi jangan pernah sentuh murid-murid saya!”

Rika melangkah maju, tangannya gemetar. “Saya walikelas X-A. Dan saya tidak akan terima anak didik saya diperlakukan tidak adil seperti ini!”

Terpopuler

Comments

Purnama Pasedu

Purnama Pasedu

Bu rosba iri

2025-10-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!