NovelToon NovelToon

Bukan Berondong Biasa

Reddog

‎Bandung, 2025.

‎Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang samar-samar menyelinap masuk lewat celah jendela.

‎Di lantai dua gedung kaca milik PT Auralis Naturals, lampu-lampu kantor masih menyala meski jam sudah lewat pukul sembilan malam.

‎Di antara meja-meja yang mulai kosong, hanya Lucyana Putri Chandra yang masih duduk tegak di depan laptopnya.

‎Cahaya layar memantul di matanya yang mulai lelah, sementara jari-jarinya terus menari di atas keyboard, menyelesaikan laporan penjualan bulanan yang belum rampung sejak siang tadi.

‎Tumpukan kertas, sisa kopi hitam yang sudah dingin, dan ponsel yang bergetar tanpa dihiraukan. Semua jadi pemandangan biasa di meja kerjanya.

‎“Lucy, lo gak pulang?”

‎suara salah satu rekan kerjanya, Rina, memecah sepi.

‎“Sebentar lagi,” jawab Lucy singkat tanpa menoleh.

‎Beberapa karyawan lain mulai berkemas, berpamitan sambil bercanda kecil sebelum akhirnya meninggalkan kantor.

‎Begitu pintu lift menutup, ruangan itu terasa semakin sunyi.

‎Hanya terdengar suara ketikan dan dengung pendingin ruangan yang stabil.

‎Suara notifikasi ponsel memecah hening.

‎Lucyana melirik sekilas layar yang menyala di samping laptop.

‎Mama : "Teh, tong hilap transfer ka mamah 200k jang arisan enjing"

‎(Teh, jangan lupa transfer ke mamah 200k buat arisan besok)

‎Lucyana terdiam sejenak.

‎Dahi yang tadi berkerut karena laporan kini mengendur, berganti dengan helaan napas panjang yang nyaris tak bersuara.

‎Tangannya meraih ponsel, menatap pesan itu beberapa detik, lalu menekan layar dengan gerakan lambat.

‎Ia tak langsung membalas, hanya menatap angka-angka di aplikasi rekeningnya yang makin hari makin menipis, sebelum akhirnya mengetik pelan.

‎Lucy : "Muhun mah, ngke di transfer ku lucy"

‎(Iya mah, nanti lucy transfer)

‎Pesan terkirim.

‎Lucyana menatapnya sebentar, lalu meletakkan ponsel di meja, menutup mata sesaat.

‎Rasanya lelah bukan cuma di tubuh, tapi di hati.

‎Bekerja seharian penuh, lembur sampai larut malam, tapi tetap saja ada yang menunggu uang darinya di rumah.

‎Dan yang paling menyakitkan, semua orang menganggap itu sudah sewajarnya.

‎Langit Bandung sudah mulai gelap saat Lucyana menyalakan mesin mobilnya

‎Lampu-lampu kota berpendar samar di kaca depan, memantulkan sisa gerimis yang masih menempel di permukaannya.

‎Jarum jam di dashboard menunjukkan pukul 21.37.

‎Kantor sudah lama sepi, hanya satpam yang sempat melambai kecil saat ia keluar dari parkiran.

‎Sepanjang perjalanan menuju Apartemen Gateway Pasteur, radio mobilnya hanya memutar lagu-lagu lama yang terdengar seperti teman perjalanan yang setia.

‎Mobil melaju pelan melewati deretan lampu toko yang mulai padam satu per satu.

‎Lucyana menarik napas panjang, merasakan udara malam yang lembab menembus sela-sela kaca yang sedikit terbuka.

‎Dingin, tapi menenangkan.

‎Begitu sampai di depan gedung apartemen, ia memarkir mobilnya. ‎Langkahnya terasa berat saat menenteng tas kerja yang isinya — laptop, berkas, dan sisa roti dari pantry kantor.

‎Lift menuju lantai sepuluh terasa lambat malam itu, seolah ikut lelah bersamanya.

‎Sesampainya di unit, Lucy langsung melepas heels-nya di depan pintu.

‎Dia berjalan dengan kaki telanjang menyusuri lantai yang dingin, menyalakan lampu ruang tamu yang temaram.

‎Rasanya sunyi, hanya suara pendingin udara yang berdengung halus.

‎Tanpa banyak pikir, dia menuju kamar mandi.

‎Air hangat mengalir di tangannya, menghapus sisa debu dan keringat seharian.

‎Setelah berganti baju santai dan mengeringkan rambutnya, perutnya mulai terasa kosong.

‎Dia menatap jam di dinding. Jam 22.03

‎Masih ada waktu buat cari makan.

‎Setelah selesai mengeringkan rambutnya, Lucyana menjatuhkan diri ke sofa.

‎Tangannya refleks meraih ponsel, membuka ShopeeFood sambil berharap masih ada resto yang buka di jam segini.

‎Jari-jarinya menelusuri layar, menggulir deretan nama restoran yang kebanyakan sudah bertuliskan “Tutup.”

‎“Duh, jam segini yang masih buka apa sih…” gumamnya pelan.

‎Sampai akhirnya, di antara nama resto yang tutup, matanya berhenti pada satu nama.

‎Reddog Pasteur.

‎‎Foto hotdog keju mozzarella yang meleleh di layar terlihat menggoda banget.

‎Lucyana menatapnya beberapa detik, lalu tanpa pikir panjang menekan tombol Order Now.

‎Ia memilih menu Cheese Hotdog Combo, tambah Tteokbokki kecil buat pelengkap, dan segelas cola.

‎Begitu pesanan dikonfirmasi, dia meletakkan ponsel di atas meja kopi.

‎Matanya melirik ke arah balkon kecil apartemennya. Dari sana terlihat lampu-lampu jalan Pasteur yang berderet seperti bintang buatan manusia.

...----------------...

‎Di outlet Reddog Pasteur, jam sudah hampir menunjuk pukul 22.10.

‎Tiga orang pegawai lain sudah mulai beres-beres, menutup wadah saus dan membersihkan meja dapur.

‎Di balik kasir, Sadewa sedang menghitung uang hasil penjualan hari ini.

‎Raut wajahnya datar, tapi kelihatan banget dia pengen cepet-cepet pulang.

‎Tumpukan uang sudah hampir selesai dihitung ketika suara khas tablet ShopeeFood berbunyi keras di meja.

‎TING! Pesanan baru masuk!

‎Sadewa mendongak cepat, alisnya langsung naik.

‎“Apaan lagi sih, udah jam segini?”

‎Ia menatap layar dan membaca nama pemesan: Lucyana.

‎Menu: Cheese Hotdog Combo + Tteokbokki kecil + Cola.

‎“Serius, Bu Lucy? Tengah malam gini craving hotdog?” gumamnya pelan sambil menekan layar.

‎Dia menoleh ke arah dapur, berseru cukup keras,

‎‎"Bro, tahan dulu bersihinnya! Ada satu order lagi, Cheese Combo sama Tteokbokki kecil!”

‎Dari dalam, suara rekan kerjanya bersahut,

“Lah, kirain udah close order, Bangdew?”

‎“Tadi sih iya, tapi ShopeeFood-nya belum gue off-in,” jawab Sadewa agak sebal.

‎Beberapa menit kemudian, setelah pesanan selesai dipacking rapi, notifikasi kedua berbunyi di ponselnya.

‎Kali ini dari aplikasi ShopeeFood Driver.

‎Sadewa spontan menatap layar, lalu mendecak pelan.

‎“Ah, sial…”

‎Ternyata mode driver di akunnya belum dimatikan sejak siang. Dan sistem otomatis langsung kasih orderan itu ke dia sendiri.

‎Rekan kerjanya cuma bisa ngakak dari dapur.

‎“Wah, rejeki nggak ke mana, Bangdew! Sekalian nganterin, biar cepet balik!”

‎Sadewa menatap plastik pesanan di meja, lalu menghela napas panjang.

‎“Ya udahlah… keburu dingin juga kalau nunggu driver lain.”

‎Dia menggantungkan jaket hitam di pundak, mengambil helm yang tergantung di belakang pintu, dan menyalakan motor matic-nya.

‎Malam Bandung terasa dingin, tapi entah kenapa perasaan Sadewa agak berbeda kali ini. ‎Ada sedikit rasa penasaran pada nama yang barusan muncul di layar:

‎Lucyana.

‎Begitu pesanan selesai dipacking, Sadewa menarik resleting jaketnya pelan.

‎Salah satu karyawannya, Asep masih sibuk membereskan area dapur yang penuh tepung.

‎“Sep,” panggilnya sambil mengenakan helm.

‎“Cek semua sebelum pulang, ya. Pastikan freezer sama kompor udah off, pintu belakang jangan lupa dikunci.”

‎Asep menoleh cepat, sedikit bingung.

‎“Siap bangdew , eh bang rek kamana? lainna geus aya driverna?”

(eh bang mau kemana? Bukannya udah ada drivernya?)

‎Sadewa cuma mengangkat plastik berisi pesanan.

‎“Driver-nya gue sendiri malam ini.”

‎Asep tertawa kecil.

‎“Aslina ieu teh bang? Dunungan nga rangkap jadi kurir?”

(Seriusan ini bang? Bos merangkap jadi kurir?)

‎Sadewa hanya tersenyum tipis, lalu menepuk bahu bawahannya.

‎“Teu nanaon lah (Gak apa-apa). Lagian deket, sekalian angin-anginan. Daripada nunggu driver lain kelamaan.”

‎Sadewa melangkah keluar dari outlet kecil itu.

‎Udara malam Bandung menusuk kulit, bercampur aroma minyak goreng yang masih tersisa di bajunya.

‎Ia menyalakan motor dan menatap sejenak papan neon kecil bertuliskan Reddog K-Food ‎

‎Siapa pun yang melihat dari luar tak akan mengira pria berjaket hitam lusuh itu adalah pemilik tempat itu. Satu-satunya cabang Reddog yang ia bangun sendiri setelah bertahun-tahun memperbaiki hidupnya.

‎Dengan satu tarikan gas, Sadewa melaju pelan menyusuri jalan Pasteur yang mulai lengang.

‎Ia menatap nama di struk pesanan itu sekali lagi. ‎Lucyana. Unit 1004, Gateway Pasteur.

‎Motor Sadewa berhenti di depan lobi apartemen Gateway Pasteur.

‎Lampu-lampu taman berpendar redup, memantulkan embun di dedaunan.

‎Ia menurunkan helm, mengambil kantong plastik merah berisi pesanan hangat yang masih beruap, lalu melangkah ke arah pos satpam.

‎“Punten, Pak,” sapanya sopan sambil menunjukkan ponsel, “ini ada pesanan ShopeeFood buat… Lucy—eh, Lucyana, unit 1004.”

‎Satpam yang sedang duduk santai sambil menyeruput kopi menoleh malas, lalu tersenyum ramah.

‎“Oh, iya kang, biasanya penghuni sini minta taruh di pos aja. Nanti turun sendiri kok."

‎Sadewa mengangguk.

‎“Siap, Pak.”

‎Ia meletakkan kantong makanan di meja kecil dekat pintu masuk, lalu kembali membuka aplikasi untuk menekan tombol pesanan diantar.

‎Tapi sebelum jarinya sempat menekan layar, notifikasi baru muncul.

‎Chat dari pelanggan.

“A, bisa tolong antar ke depan unit aja ya? Saya lagi gak bisa turun. Nanti saya kasih tip tambahan 😊”

‎Sadewa menatap layar itu cukup lama.

‎Napaknya datar, tapi matanya sedikit berkedut antara malas dan heran.

‎Dia melirik jam di layar 22.32.

‎“Tip tambahan katanya…” gumamnya pelan sambil tersenyum miring.

‎Ia melirik ke arah satpam.

‎“Pak, katanya disuruh antar ke unit aja. 1004 ya, lantai sepuluh.”

‎Satpam itu mengangkat bahu santai.

‎“Ya udah, sok we Kang, tapi cepetan ya, udah mau lock lobi"

‎“Siap,” jawab Sadewa.

‎Ia kembali menggenggam plastik pesanan itu dan menuju lift, langkahnya pelan tapi pasti.

‎Begitu pintu lift menutup, wajahnya terlihat di pantulan logam dingin. Sedikit lelah, tapi entah kenapa kali ini ada rasa penasaran yang nggak bisa ia jelaskan.

‎Bunyi “ting” dari lift menandakan pintu terbuka.

‎Sadewa melangkah keluar, membawa plastik pesanan di tangan kanannya.

‎Koridor apartemen itu sepi hanya deretan lampu putih pucat dan aroma karpet baru yang samar.

‎Belum sempat dia mencari nomor unit 1004, pintu di ujung koridor terbuka pelan.

‎Seorang perempuan keluar sambil menunduk, matanya fokus di layar ponsel, rambutnya masih sedikit lembap sehabis mandi.

‎Kaos oversized abu muda yang ia kenakan membuatnya tampak santai tapi tetap berkelas tanpa usaha.

‎“Ah, pesanan saya ya?” katanya cepat, tanpa benar-benar menatap wajah pengantarnya.

‎Ia meraih plastik dari tangan Sadewa, senyum sekilas terukir di bibirnya.

‎“Makasih, ya. Nanti saya kasih tip-nya lewat aplikasi.” ‎‎Suaranya lembut tapi datar.

‎Sadewa hanya mengangguk kecil, tidak sempat berkata apa-apa.

‎Dalam sepersekian detik itu, pandangannya terpaku.

‎Ada sesuatu pada perempuan itu bukan sekadar wajahnya yang cantik, tapi ketenangan yang terasa asing.

‎Lucyana sudah berbalik, ‎hanya tersisa aroma lembut sabun mandi yang tertinggal di udara.

‎Pintu apartemen sudah tertutup, tapi Sadewa belum juga bergerak.

‎Di tangan kirinya, ia masih memegang bekas struk pesanan atas nama “Lucyana.”

‎Ia menatap nama itu lama-lama.

‎Ada sesuatu yang tertinggal…

‎Dan entah kenapa, ia ingin tahu apa itu.

...----------------...

Hai Hai.....

Karya ke 3 kuu, gimana? Semoga suka yaa 😍

Jangan lupa vote like dan komentar nya ya 😘✨

Have a great day all 💕

Grab

‎Sepeninggal dari apartemen  itu, Sadewa bergegas pulang ke rumahnya di kawasan Dago. Daerah yang tak terlalu jauh dari Pasteur, tapi cukup tenang untuk sekadar melepas lelah setelah seharian kerja.

‎Motor hitamnya melaju menembus dinginnya angin malam Bandung. Di sepanjang jalan, lampu-lampu kota memantul di helmnya, sementara pikirannya justru terus kembali pada sosok pelanggan terakhir malam ini.

‎Begitu sampai di depan rumah, ia memarkir motor di garasi kecil, menepuk bahunya sendiri karena udara yang makin menusuk. Rumah itu sederhana. Dengan dinding abu muda, pagar hitam, dan aroma melati dari pot di teras yang selalu disiram setiap pagi oleh tetangganya.

‎Tanpa banyak pikir, ia langsung masuk, meletakkan helm dan jaket di sofa, lalu melangkah ke kamar mandi. Air dingin mengalir di kulitnya, membuat kepalanya sedikit lebih jernih. Tapi tetap saja, wajah perempuan  tadi, entah kenapa, masih terbayang jelas.

‎“Apaan sih…” gumamnya, menyiram wajah lagi, mencoba menepis perasaan aneh yang bahkan dia sendiri nggak ngerti asalnya.

...****************...

‎Di unit apartemennya, Lucy duduk bersandar di sofa sambil membuka bungkus Reddog yang masih hangat. Aroma cheese hotdog dan tteokbokki memenuhi ruangan yang sunyi. Ia makan perlahan, menatap layar ponsel yang tiba-tiba bergetar.

‎Dika 💕:

‎“Sayang, gak lupa kan besok buat rayain ultahku? Aku tunggu di Gijeon Steak House , jam tujuh ya. Love you sayangku 😘”

‎Lucy berhenti mengunyah sejenak. Tatapannya kosong beberapa detik sebelum jempolnya mengetik pelan.

‎Lucy:

"Ok, sayang. Love you too 💕”

‎Pesan terkirim.

‎Setelah itu, ia membersihkan meja, lalu mengambil ponsel lagi. Sekadar scroll media sosial tanpa arah, menatap layar yang menyoroti wajah lelahnya.

‎Beberapa menit kemudian, ponsel diletakkan di meja samping tempat tidur.

‎Lampu kamar dimatikan.

‎Sejak pagi, kantor Auralis Naturals terasa lebih riuh dari biasanya. Deadline kampanye akhir bulan membuat semua tim marketing sibuk luar biasa — dan Lucy, sebagai manajer, ada di tengah-tengahnya.

‎Suara notifikasi email, panggilan Zoom, dan tumpukan laporan di mejanya nyaris nggak berhenti.

‎Jam di layar laptop sudah menunjukkan pukul enam sore, tapi tangannya masih menari di keyboard, menyelesaikan revisi terakhir untuk presentasi besok pagi.

...(Lucy Putri Chandra)...

‎Sampai akhirnya, ponselnya bergetar. Nama Andika muncul di layar.

‎Lucy menarik napas, lalu menekan tombol panggil balik.

‎“Sayang, kayaknya aku nggak bisa dateng malam ini,” ucapnya pelan, suaranya terdengar capek tapi tetap lembut.

‎Dari seberang, suara Andika terdengar agak kesal tapi berusaha terdengar manis.

‎“Sibuk banget ya, sayang? Yaudah deh, gak. apa-apa… tapi, hmm… boleh minta hadiah dulu nggak? TF-in sejuta aja. Soalnya udah nanggung reservasi tempat, malu juga kalo batal.”

‎Lucy menatap layar laptopnya yang masih terbuka. Matanya lelah, tapi suaranya tetap tenang.

‎“Iya, udah aku transfer bentar lagi. Kamu rayain aja dulu sama temen-temen kamu, ya.”

‎“Iya, sayang. Makasih ya. Kamu semangat, jangan terlalu cape, Hati-hati nanti pulangnya.” jawab Andika sebelum menutup panggilan.

‎Telepon berakhir, meninggalkan keheningan yang aneh.

‎Lucy bersandar di kursinya, menatap langit Bandung sore itu lewat jendela kaca kantor. Hujan tipis mulai turun.

‎Ia tersenyum hambar — bukan karena bahagia, tapi karena sudah terbiasa menenangkan diri dengan kalimat, “Nggak apa-apa, nanti juga selesai.”

‎Lucy mengetik cepat di ponselnya, membuka aplikasi mobile banking, lalu men-transfer sejumlah uang ke rekening Andika.

‎Suara notifikasi “transaksi berhasil” terdengar pelan di tengah sunyinya ruang kantor yang tinggal menyisakan beberapa orang lembur.

‎Dari sebelahnya, Detri— sahabat sekaligus rekan kerjanya melongo.

‎“Luc, lo serius? Sejuta? Lo royal banget sih sama cowok lo.”

‎Lucy menoleh sekilas, bibirnya tersenyum kecil. “Emang kenapa?”

‎Detri memutar kursinya, menatap Lucy tanpa basa-basi.

‎“Kenapa lagi? Lo masih pacaran, anjir. Gak takut dimanfaatin apa?”

‎Lucy terdiam sejenak, lalu tertawa kecil tanpa benar-benar lucu.

‎“Det, gue sama Dika udah pacaran bertahun - tahun. Gue percaya dia kok. Lagian kalau nanti udah nikah, uang dia uang gue juga, kan? Begitu juga sebaliknya.”

‎Detri mendengus pelan. “Ya kalau jodoh sampe pelaminan. Kalau nggak?”

‎“Husshh, sembarangan banget lo ngomong! Doain yang baik-baik aja kenapa buat gue,” sahut Lucy cepat, berusaha menutup obrolan itu dengan nada bercanda.

‎Detri mengangkat tangan tanda menyerah. “Ya udah, ya udah. Gue doain deh, asal lo juga jangan terlalu buta.”

‎Lucy tersenyum samar, tapi matanya sedikit redup. Ia kembali menatap layar laptop, mencoba fokus ke laporan yang belum selesai, menelan rasa aneh yang tiba-tiba muncul di dadanya.

‎Mereka pun melanjutkan lembur dalam diam hanya suara ketikan dan hujan yang terdengar dari luar jendela.

...***************...

‎Sementara itu, di salah satu restoran mewah di pusat kota Bandung, Andika tengah duduk di meja sudut dengan senyum puas menghiasi wajahnya.

‎Di depannya, seorang wanita bergaun merah menatapnya sambil menyipitkan mata.

‎“Kok kamu seneng banget sih, yang?” tanya wanita itu dengan nada manja.

‎Andika menyandarkan punggungnya ke kursi, mengangkat ponselnya, memperlihatkan layar berisi bukti transfer dari Lucy.

‎“Lihat, yang. Udah kubilang kan, cewek gila kerja kayak dia gak bakal bisa datang. Mana dapet transferan juga lagi. Apa ga kurang Hoki hidup ini?"

‎Wanita itu mendengus pelan. “Kamu nih parah banget, segitunya sama dia.”

‎Andika terkekeh ringan, memutar gelas wine di tangannya.

‎“Cewek gila kerja kayak dia siapa juga yang mau selain aku? Sibuk terus, gak punya waktu buat diri sendiri. Tapi duitnya ngalir terus. Sayang banget kalo gak dimanfaatin, kan?”

‎Wanita di depannya pura-pura cemberut, tapi matanya jelas menikmati obrolan itu.

‎Andika meraih tangannya sambil tersenyum sinis.

‎“Ayo, sayang. Kita nikmatin dinner ini. Abis itu kita ke PVJ (Paris Pan Java Mall) , kamu mau apa aja, tinggal pilih deh.”

‎Keduanya tertawa pelan, diiringi denting gelas dan musik jazz lembut di ruangan itu. Kontras sekali dengan hati seseorang di kantor yang masih bekerja keras demi cinta yang tak tahu arah.

‎Jam lembur akhirnya usai. Kantor Auralis Naturals sudah sepi, hanya tersisa suara hujan tipis yang membasahi jendela.

‎Lucy menutup laptopnya, memijat pelipis. Kantuk sudah menyerang sejak satu jam lalu, tapi baru sekarang ia bisa benar-benar berhenti.

‎“Ngantuk banget lo keliatannya,” ujar Detri sambil merapikan tas. “Gimana pulangnya? Mau gue anter?”

‎Lucy menggeleng pelan, matanya nyaris setengah tertutup.

‎“Gak usah, rumah lo jauh banget dari sini. Kayaknya gue naik ojol aja deh. Mobilnya gue tinggal di kantor aja malam ini"

‎Detri menatapnya khawatir tapi akhirnya mengangguk.

‎“Yaudah, hati-hati ya. Jangan ketiduran di jalan.”

‎Lucy tersenyum kecil. “Okay, lo juga. hati-hati.”

‎Begitu Detri pergi, Lucy menguap besar, lalu mengambil ponselnya. Dengan mata setengah terbuka, ia membuka aplikasi Grab dan memesan kendaraan.

‎Di tempat lain, Sadewa baru saja menutup rolling door outlet Reddog Pasteur. Semua karyawan sudah pulang, tinggal dia yang sibuk mengecek laporan penjualan hari ini.

‎Ponselnya tiba-tiba berbunyi — notifikasi masuk dari aplikasi Grab Driver.

‎Ia mendecak pelan. “Eh, aing poho wae, teu dimatikeun.” (Eh, aku lupa terus belum dimatiin.)

‎Jari telunjuknya sudah siap menekan tombol tolak pesanan, tapi matanya mendadak berhenti.

‎Nama pelanggan yang tertera di layar membuat jantungnya ikut berhenti sepersekian detik.

‎Lucy.

‎Alisnya terangkat. “Apa ini… Lucy yang waktu itu ya?” gumamnya pelan.

‎Tanpa berpikir lama, ia langsung menekan tombol accept order dan meraih helmnya. Mesin motor dinyalakan, suara knalpot menggema pelan di bawah langit Bandung yang basah oleh hujan.

‎Sadewa tersenyum tipis di balik helm full-face nya.

‎“Ya udah, kita lihat aja kemana nasib bawa gue malam ini.”

‎Di depan gedung kantor Auralis Naturals.

‎Sadewa menurunkan kaca helmnya sedikit, memastikan alamatnya benar. Ia melirik layar ponsel dengan nama pelanggan masih sama: Lucy.

‎“Bener di sini…” gumamnya pelan, lalu menatap ke arah lobi yang remang.

‎Di sana, seorang perempuan berdiri sambil memeluk tas kerja di dada. Matanya terlihat sayu, rambutnya agak berantakan karena lembur, tapi sorotnya… tetap sama seperti yang ia ingat waktu di lift apartemen malam itu.

Beneran dia...

‎Sadewa turun dari motor, menepikan kendaraan ke sisi trotoar.

"‎Pesanan Grab atas nama Kak Lucy?” tanya Sadewa begitu sampai di depan kantor.

‎“Iya, saya,” jawab Lucy singkat, suaranya lelah tapi tetap sopan.

‎Sadewa menyodorkan helm cadangan. “Ini, Kak.”

‎Lucy menerimanya, mengenakannya pelan lalu naik ke jok belakang.

‎Motor melaju perlahan meninggalkan area kantor.

‎Langit malam Bandung tampak jernih — tanpa hujan, tanpa kabut, hanya bintang-bintang kecil bertaburan di atas sana. Angin malam berembus lembut, membawa aroma pohon pinus dari kejauhan.

‎Entah kenapa, Sadewa tersenyum di balik helm full-face nya.

‎Ada rasa tenang aneh yang datang begitu saja.

‎Mungkin karena malamnya indah.

‎Atau mungkin karena penumpang di belakangnya. Perempuan yang tak sadar sedang menarik perhatiannya.

‎Beberapa menit berlalu.

‎Dug.

‎Helm Lucy menyentuh punggung helm Sadewa. Sekali, dua kali.

‎Sadewa tersenyum kecil — tanda kalau perempuan itu mulai terkantuk.

‎“Eh, Kak… jangan tidur dulu. Dikit lagi sampai,” ucapnya pelan.

‎Tapi Lucy sudah setengah terlelap. Tubuhnya makin condong ke depan.

‎Refleks, Sadewa menahan tangan Lucy agar tidak jatuh.

‎Sentuhannya spontan — hangat di udara malam yang dingin.

‎Dan tiba-tiba —

‎grep.

...----------------...

Kenapa tuh?

Hai Hai 💕

Jangan lupa untuk vote like dan komen supaya hamba semangaaat up nya 😅✨

Curiga

‎Dan tiba-tiba —

‎grep.

‎Tanpa sadar, Lucy memeluk pinggangnya erat.

‎Sadewa sempat kaku beberapa detik, lalu menghela napas perlahan. Senyum kecil muncul di wajahnya.

‎Ia tak berniat melepaskan genggaman itu.

‎Hanya menurunkan kecepatan motornya, membiarkan angin malam Bandung, langit berbintang, dan detak jantungnya yang berdebar menjadi satu irama diam-diam yang hanya mereka berdua yang dengar.

‎Motor itu berhenti perlahan di depan lobby apartemen. Lampu malam dari kanopi memantul lembut di helm mereka.

‎Sadewa memutar sedikit badan, ragu-ragu.

Waduh ‎gimana cara banguninnya ini?

‎“Kak…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.

‎“Maaf, udah sampai.”

‎Lucy yang semula terlelap mulai bergerak pelan. Matanya terbuka separuh, dan di detik berikutnya, ia menyadari posisinya.

‎Tangannya masih melingkar di pinggang sang driver.

‎Mata Lucy langsung membulat.

‎“ASTAGA!” serunya spontan, buru-buru menarik tangannya dan hampir menjatuhkan helmnya sendiri.

‎“P-punten pisan, Kang! Saya… saya ketiduran barusan.”

‎Sadewa menahan senyum di balik helmnya

‎“Gak apa-apa, Kak. Abis lembur ya? Keliatan cape nya.”

‎Nada suaranya tenang, nggak menghakimi sama sekali. Justru ada sedikit kehangatan yang bikin Lucy makin salah tingkah.

‎“I-iya, hehe…”

‎Lucy cepat-cepat melepas helm, menyerahkannya, lalu menunduk dalam.

‎“Sekali lagi maaf ya, Kang. Makasih udah nganterin.”

‎“Siap, Kak.”

‎Lucy berbalik, berjalan cepat menuju pintu lobby.

‎Begitu pintu kaca tertutup di belakangnya, ia menepuk pipinya sendiri.

‎“Ya ampun Lucy sumpah lo malu-maluin banget! Keiduran di ojol, peluk pula!"

‎Sementara di luar, Sadewa masih diam di atas motornya.

‎Melihat sekilas bayangan Lucy yang menghilang di balik pintu kaca, bibirnya terangkat kecil.

‎Sesaat setelah sampai di rumahnya. Sadewa memarkir motor di garasi kecil di samping teras.

‎Begitu masuk, ia langsung menyalakan lampu ruang tamu yang temaram, meletakkan helm dan jaket di gantungan, lalu berjalan ke kamar mandi.

‎Air dingin mengalir membasuh tubuhnya, menghapus lelah sekaligus sisa aroma minyak goreng dari outlet.

‎Beberapa belas menit kemudian, Sadewa keluar dengan kaus longgar dan celana training. Ia menuju kamarnya di ujung lorong kecil, membuka jendela sebentar untuk mengintip langit Dago yang masih bertabur bintang, lalu menutupnya rapat.

‎Seperti biasa, sebelum tidur, ia memastikan semua pintu dan jendela terkunci dengan baik—kebiasaan yang selalu ia lakukan sejak dua tahun terakhir tinggal di Bandung.

‎Tak ada yang tahu, kalau kebiasaan itu bukan sekadar karena takut maling.

‎Sadewa menarik napas panjang, menatap pintu kamar yang kini terkunci rapat.

‎Dalam hati, ia bergumam

‎“Semoga malam ini gak aneh-aneh…"

‎Satu kebiasaan yang kadang membuatnya khawatir, karena dalam tidurnya, Sadewa tak selalu sadar di mana ia akan terbangun.

‎Begitu berbaring di kasur, matanya menatap langit-langit putih yang sepi.

‎Dan di antara hening itu, bayangan wajah Lucy tiba-tiba melintas begitu saja.

‎Cara gadis itu tertidur di boncengannya, cara ia gagap minta maaf di lobby barusan—semuanya berputar cepat di kepala.

‎Sadewa tersenyum kecil sambil menatap atap.

‎“Udah dua kali nih gue gak sengaja ketemu Lucy…”

‎“Ketiga kali… udah lah gue yakin kita jodoh.”

‎Ia tertawa pelan sendiri, lalu memejamkan mata.

‎Khayalan itu masih menari di benaknya hingga akhirnya perlahan tenggelam dalam kantuk.

‎Malam di Dago terasa tenang, hanya suara jangkrik yang menemani—sementara di balik tidurnya, sesuatu yang lama tak ia sadari mulai bergerak halus di bawah sadar.

...****************...

‎Beberapa hari berlalu—Bandung kembali sibuk, Reddog makin ramai, dan Lucy pun kembali hanyut dalam tumpukan kerjaan di kantor.

‎Sore itu, sepulang kerja, Lucy dijemput kekasihnya, Andika.

‎Hari ini mereka berencana makan malam di Botanica Mall, Pasteur—tempat yang katanya romantis dengan lampu-lampu gantung di sepanjang balkon.

‎Begitu masuk ke mobil dan duduk di kursi penumpang, Lucy merasa duduk di atas sesuatu. Ia meraba, dan jemarinya menemukan sebuah anting kecil berkilau di jok.

‎Keningnya berkerut. “Punya siapa ini, sayang?” tanyanya sambil menatap Andika curiga.

‎Andika yang sedang memasang sabuk pengaman langsung menegang.

‎“E—itu... punya Mama. Kemarin aku nganter beliau ke spa, kayaknya ketinggalan.."

jawabnya cepat.

‎Padahal jelas, anting itu bukan milik ibunya—melainkan milik Dea, wanita yang diam-diam jadi selingkuhannya.

‎Lucy menatap anting itu lama. Bibirnya tersenyum tipis, tapi matanya menyimpan rasa tak enak.

‎“Oh, bagus ya. Selera mamamu kaya anak muda banget,” ujarnya datar.

‎Andika hanya mengusap tengkuk, tertawa canggung.

‎“Ah, iya... Mama kan kekinian juga, Sayang.”

‎Mobil pun melaju pelan menuju Botanica Mall—sementara di antara mereka, udara dingin sore itu terasa lebih sunyi dari biasanya

‎Setelah makan malam di Botanica Mall, Lucy dan Andika melanjutkan kencan dengan hal-hal sederhana yang biasa mereka lakukan.

‎Nonton film, lalu mampir ke toko pakaian karena Lucy sempat tergoda diskon yang terpampang besar di etalase.

‎Andika mengikutinya tanpa banyak bicara, sibuk dengan ponselnya setiap kali Lucy sibuk memilih baju.

‎Malam mulai turun ketika mereka keluar dari mall.

‎Lampu kota berpendar lembut, dan perut Lucy tiba-tiba berbunyi pelan.

‎“Kayaknya aku pengen Reddog deh,” katanya manja.

‎Andika menoleh, tersenyum sekilas. “Yang di Pasteur? Yaudah, sekalian lewat ayo."

‎Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan Reddog Pasteur—outlet yang jadi tempat favorit Lucy, tanpa tahu bahwa pemiliknya adalah pria yang dua kali “tak sengaja” ditemuinya.

‎Begitu masuk, aroma khas hotdog dan saus pedas menyambut mereka. Lucy langsung duduk di meja dekat jendela, sementara Andika menuju kasir untuk memesan.

‎Di balik meja kasir, Sadewa tengah mencatat laporan penjualan harian. Ia mendongak begitu mendengar langkah pelanggan mendekat.

‎Tatapannya membeku sepersekian detik.

‎Lucy.

‎Dia lagi.

‎Tapi kali ini… bukan sendirian.

‎Ada pria di sampingnya—gaya rapi, jam tangan mahal, aura percaya diri yang jelas bukan berasal dari kejujuran.

‎Dewa menegakkan tubuhnya, berusaha menjaga ekspresi tetap netral.

‎“Pesan apa, Kak?” suaranya terdengar datar tapi sopan.

‎Andika menyebutkan pesanan dengan nada cuek, bahkan sempat sibuk dengan ponselnya lagi di tengah-tengah pemesanan.

‎Dewa hanya mengangguk, tapi di dadanya terasa sesuatu yang aneh—semacam kecewa yang tak seharusnya ia rasakan.

‎Tiga kali bertemu.

‎Tiga kali semesta mempertemukan mereka dengan cara yang tak masuk akal.

‎Tapi sekarang… dia tahu, harapan itu harus berhenti di sini.

‎Karena gadis yang malam itu sempat ia jaga dalam pelukan hangat di atas motor, ternyata sudah punya seseorang di sisinya.

'Ah tapi.....sebelum janur kuning melengkung mah gas-gas wae lah' gumam Sadewa mencoba menyembunyikan senyumnya.

‎Setelah menyelesaikan makan malam di Reddog, Lucy dan Andika beranjak pulang.

‎Udara malam Bandung terasa sejuk, jalanan tak terlalu ramai. Lucy bersandar santai di kursi penumpang, menatap lampu jalan yang berlarian di kaca mobil.

‎Tapi ketenangan itu mendadak terganggu.

‎Ponsel Andika yang terletak di holder dashboard bergetar berkali-kali.

‎Notifikasi muncul terus—nomor tanpa nama, hanya angka.

‎Lucy melirik sekilas. “Sayang, diangkat aja kali. Siapa tahu penting.”

‎Andika cepat-cepat menekan tombol silent.

‎“Gak usah, paling kerjaan,” jawabnya cepat.

‎Lucy menatapnya sejenak. “Kerjaan jam segini? Kalau penting gimana?”

‎Andika tersenyum kaku, matanya tetap ke jalan. “Aku lagi nyetir, nanti aja aku telepon balik.”

‎Lucy diam, tapi di dadanya ada sesuatu yang menekan.

‎Entah kenapa, nada suaranya Andika barusan terasa berbeda. Ada getaran gugup yang gak biasa.

‎Ia memalingkan wajah ke jendela, mencoba mengalihkan pikiran.

‎Tapi bayangan notifikasi tanpa nama itu terus menari-nari di benaknya sepanjang jalan menuju apartemen.

‎Sesampainya di lobby apartemen, Lucy menarik napas panjang, mencoba menepis pikiran buruk yang sempat muncul di kepalanya. Mungkin aku aja yang terlalu capek, batinnya, berusaha menenangkan diri.

‎Ia menatap Andika yang masih duduk di balik kemudi. “Hati-hati di jalan ya,” ucapnya lembut sambil menunduk sedikit, lalu mengecup singkat bibir kekasihnya.

‎Andika tersenyum samar. “Iya, kamu juga istirahat ya, inget jangan begadang.”

‎Lucy mengangguk sebelum melangkah masuk ke lobby. Ia menatap mobil Andika menjauh, lalu berbalik menuju lift.

‎Sampai di unitnya, Lucy langsung bersih-bersih diri, menyalakan diffuser aroma lavender kesukaannya, dan menyiapkan laptop untuk mengecek email kerjaan yang belum sempat dibuka.

‎Namun begitu merogoh tasnya, keningnya langsung berkerut.

‎Ponsel gue dimana?!

‎Ia membongkar tas, memeriksa meja rias, bahkan kasur. Kosong. Lucy tak menemukan ponselnya.

‎Sampai akhirnya kesadarannya datang. Astaga... ketinggalan di mobil Andika.

‎Rasa panik langsung menyusup pelan ke dada Lucy. Ia buru-buru mengambil iPad-nya, membuka fitur pelacak untuk mencari posisi ponselnya.

‎Titik biru di layar bergerak pelan, tapi arah jalannya membuat kening Lucy berkerut.

‎Lho… inikan bukan arah ke rumah Andika?

‎Matanya memperhatikan nama lokasi yang tertera di layar.

‎Rumah Sakit Bandung Kiwari.

‎Jantungnya berdegup lebih cepat. Apa Andika sakit? Atau kecelakaan?

...----------------...

Hayo guys, Andika kenapa tuh kira-kira?

Jangan lupa vote like dan komentar yaaa ✨✨🥰

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!