Suasana di divisi pemasaran Alvera Corp mirip kapal yang sedang tenggelam. Kertas berserakan di mana-mana, papan whiteboard penuh dengan coretan-coretan tak beraturan, dan udara terasa pengap oleh aroma kopi dan kelelahan.
Proyek kolaborasi dengan brand internasional itu berada di ambang kehancuran, dan tenggat waktu yang semakin dekat membuat semua orang bekerja dalam kepanikan.
Di tengah kekacauan itu, berdiri Renzo. Kerutnya dalam, matanya berkantung hitam, dan kemejanya yang biasanya licin sempurna sekarang kusut, lengan digulung tak beraturan.
Dia seperti seseorang yang sudah berminggu-minggu tidak melihat matahari, bertahan hanya dengan mie instan dan kafein.
“Di mana laporan analisis pasar dari kuartal lalu?!” teriaknya, suara serak penuh frustasi. “Siapa yang terakhir menginput data engagement sosial media?”
Timnya hanya bisa saling pandang dengan wajah-wajah lelah dan bingung. Ada satu bagian yang hilang. Dan Renzo baru menyadarinya sekarang.
“Di mana Nadhifa?” tanyanya tiba-tiba, suaranya sedikit lebih lunak, tapi masih tegang. “Dia yang biasanya mengatur semua data ini. Kenapa seminggu ini gue nggak lihat dia?”
Suasana menjadi hening. Seorang karyawan senior, Bayu, memberanikan diri maju selangkah.
“Mas Renzo ... Nadhifa sudah dipindahkan.”
“Dipindahkan?” Renzo mengerutkan kening, otaknya yang lelah mencerna informasi itu. “Kemana? Proyek luar kota?”
“Bukan. Dia dipindahkan secara permanen ke Divisi Keuangan. Sudah seminggu yang lalu.”
Seketika itu juga, wajah Renzo berubah. Amarah yang sudah menumpuk karena tekanan kerja kini menemukan sasaran yang jelas. Dia merasa seperti orang bodoh.
Sudah seminggu!
Sudah seminggu orang paling kompeten di timnya hilang, dan dia bahkan tidak menyadarinya karena terlalu sibuk memadamkan api yang justru semakin menjadi tanpa kehadiran Nadhifa.
“SIAPA YANG MEMUTUSKAN ITU?!” raungnya, tangan meninju meja hingga gelas kosong bergetar. “TANPA SEIJIN GUE? DI TENGAH PROYEK BESAR INI?!”
Kekacauan yang tadinya berupa kekalutan, kini berubah menjadi ketakutan. Semua orang terdiam, takut menjadi sasaran amarah sang bos muda.
Dan di puncak kemarahan itu, dari balik pintu geser yang terbuka, muncul sosok yang justru menjadi akar dari segala badai.
Alaric Alverio.
Berbeda dengan Renzo yang seperti kapal pecah, Alaric tampak sempurna. Jas Hugo Boss-nya masih rapi, tidak ada sehelai rambut yang salah tempat, wajahnya tenang dan berwibawa seperti baru saja menghadiri pertemuan direksi, bukan di sore hari yang kacau ini.
Melihat sosok itu, semua logika dalam kepala Renzo langsung terbang. Dia tidak memikirkan konsekuensi, tidak memikirkan ruangan yang penuh orang.
Yang dia lihat adalah orang yang telah mengambil Nadhifa darinya, yang telah mengacaukan timnya, dan yang—dalam pikirannya—selalu merampas segala sesuatu yang ia sayangi.
Dengan langkah cepat dan penuh amarah, Renzo menutup jarak antara mereka. Tangannya yang masih menggenggam pulpen dengan erat, meraih kerah kemeja Alaric yang putih dan licin.
“LO!” desis Renzo, menarik kerah itu hingga wajah mereka hanya berjarak sejengkal.
Mata Alaric terbelalak, lebih karena keterkejutan daripada rasa takut. Dia tidak menyangka Renzo akan sampai sejauh ini, di depan semua orang.
Mereka bertatapan. Dalam kemarahan Renzo yang menyala-nyala, terlihat pula luka yang dalam. Dan dalam ketenangan Alaric yang seperti es, tersimpan gejolak rasa bersalah dan mungkin ... cemburu.
“Lo pikir lo bisa mengatur segalanya, ya?!” hardik Renzo. “Hidup gue ... tim gue ... semuanya?!”
Sebelum Alaric sempat menjawab, dengan dorongan penuh kekesalan, Renzo mendorong dada Alaric hingga pria itu terhuyung. Tanpa berkata lagi, Renzo berbalik dan melesat keluar ruangan.
Di tengah jalan, dia menendang botol air mineral kosong yang menghalangi jalannya, membuatnya melayang dan menabrak dinding dengan suara keras.
Ruangan sunyi seketika. Semua orang terpana, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Alaric membetulkan kerah kemejanya yang kusut. Wajahnya sedikit pucat, tapi dia dengan cepat mengambil kendali. Dia menatap tim Renzo yang masih shock.
“Kalian tidak usah khawatir,” ujarnya, suaranya kembali datar dan berwibawa, meski nadanya sedikit lebih lembut. “Lanjutkan pekerjaan kalian. Dan maafkan Renzo. Amarahnya memang sulit dikontrol saat dia sedang kelelahan dan stres.”
Dia tidak menunggu respon. Dengan langkah pasti, dia pun pergi, meninggalkan divisi pemasaran yang masih diliputi keheningan yang mencekam.
Beberapa saat kemudian, petugas kebersihan masuk dengan peralatannya. Suara sapu menyapu pecahan botol dan tumpukan kertas, serta keyboard yang mulai berani diketik kembali, perlahan-lahan mengembalikan rasa normalitas.
Tapi semua orang tahu, sesuatu telah pecah. Dan kekacauan sore ini hanyalah permulaan dari badai yang jauh lebih besar dalam keluarga Alverio.
...***...
Langit telah menghitam, hanya diterangi oleh lampu-lampu sorot tinggi yang menyinari area parkiran luar Alvera Corp. Renzo, dengan tangan terkantong di celana jeansnya, bersandar pada body hitam mobil sport milik karyawan lain. Dia sudah menunggu hampir setengah jam, tatapannya menyapu setiap sudut parkiran.
Lalu, matanya menangkap sebuah titik di kejauhan. Sebuah motor matic berwarna putih susu, sederhana dan bersih, terparkir rapi di pojokan.
Itu seperti benda asing yang terselip di antara barisan motor mewah milik para bodyguard dan beberapa mobil karyawan senior. Seorang gadis dengan jilbab hitam dengan setelan jas kerja berjalan mendekati motor itu, helm bogo sudah tergantung di lengannya.
“Nadhifa.”
Suara Renzo, yang serak karena kelelahan dan emosi yang tertahan, memotong kesunyian malam. Nadhifa terkejut, menoleh dengan cepat. Matanya membesar melihat Renzo berdiri di sana dengan wajah yang tak bisa dia baca.
“Mas Renzo?” Nadhifa menunduk sopan. “Ada yang bisa aku bantu?”
“Bantu?” Renzo mendekat, langkahnya pelan tapi penuh tekanan. “Lo menghilang seminggu tanpa sepatah kata pamit, bikin tim gue kacau balau, dan sekarang lo bertanya apa yang bisa lo bantu?”
Nadhifa menarik napas. “Aku minta maaf, Mas. Aku belum sempat pamit. Begitu masuk Divisi Keuangan, aku langsung dibebani tugas yang sangat padat. Laporan kuartal, audit internal ... Aku bahkan hampir nggak punya waktu untuk istirahat.”
Penjelasannya jujur, tapi justru itu yang membuat Renzo semakin kesal.
“Belum sempat?” Renzo menghela napas panjang, rasa frustasinya meluap. “Pesan singkat pun nggak? Gue merasa nggak dianggap sama sekali, Dhifa. Seolah-olah semua kerja sama kita, semua diskusi kita, nggak ada artinya.”
Kalimat terakhir itu diucapkan dengan nada yang lebih lemah, hampir seperti keluhan yang terluka. Nadhifa terhenyak. Dia tidak menyangka Renzo akan merasa seperti itu.
“Mas Renzo,” ujarnya lembut, mencoba menenangkan. “Aku cuma karyawan di lantai 7. Kalo Mas Renzo ingin tahu kabar aku, Mas bisa turun dari lantai 11 kapan saja.”
Ucapannya polos, tapi bagi Renzo, itu seperti pengingat akan hirarki yang sengaja dia ciptakan dan yang sekarang justru menyakitinya.
Renzo terdiam sejenak, hatinya merasa adem oleh nada lembut Nadhifa, tapi kemudian kepahitan muncul lagi. Matanya beralih ke motor sederhana itu.
“Kenapa nggak parkir di basement aja? Parkir di sini, di area terbuka, cuma bakal jadi bahan hujatan lagi. Mereka bakal bilang lo cari perhatian, pamer ‘kesederhanaan’ palsu di depan kantor.”
Nadhifa sudah memasukkan kunci ke kontak motor. Dia menoleh, ada cahaya keberanian dan ketegasan di matanya.
“Biarin mereka berkata sesukanya, Mas. Yang penting rezeki aku halal. Lagipula, parkir di basement terlalu ramai. Aku lebih suka di sini, tenang.” Dia kemudian menaikkan standar motornya. “Aku pamit dulu, ya.”
Saat mesin motor menyala, sebuah ide gila muncul di kepala Renzo.
“Tunggu,” katanya. “Gue ikut.”
Nadhifa membelalak, hampir tidak percaya. “Apa? Tapi ... mobil Mas?”
“Biarin aja di sini. Gue pengin ngerasain naik motor.”
Renzo sudah melangkah dan dengan lancar duduk di jok belakang motor Nadhifa. Tapi caranya duduk membuat Nadhifa tercengang.
Dia duduk miring, menjaga jarak yang sangat sopan. Tangannya tidak memegang pinggang Nadhifa, tetapi diletakkan di dadanya sendiri, saling merangkul, seolah berusaha mati-matian untuk tidak menyentuhnya.
“Jalan,” perintah Renzo, suaranya datar.
Dengan jantung berdebar-debar, Nadhifa membawa motor itu meluncur keluar dari parkiran. Angin malam menerpa, tapi yang dirasakan Nadhifa adalah panas dari kehadiran Renzo di belakangnya. Dia bisa merasakan sikap Renzo yang berusaha keras untuk tidak melanggar batasnya, dan itu justru membuatnya semakin bingung.
Namun, perjalanan itu tidak berlangsung lama. Baru beberapa blok dari kantor, Renzo menepuk pundak Nadhifa dengan halus.
“Stop di sini.”
Nadhifa mengerem di tepi jalan, persis di depan sebuah bar eksklusif. Renzo turun dengan lancar.
“Thanks untuk tumpangannya,” ujarnya sambil membetulkan jasnya. Lalu, tanpa menoleh lagi, dia berjalan memasuki bar itu, menghilang di balik pintu kayu besar yang langsung ditutup oleh seorang pelayan.
Nadhifa terduduk diam di atas motornya. Suara musik jazz yang redup dan gelak tawa dari dalam bar seolah menyiramnya dengan air dingin.
Dia melihat dirinya di kaca spion, seorang gadis berjilbab dengan setelan jas murah, di atas motor matic, di depan tempat yang jelas bukan dunianya.
“Ya, Nadhifa,” batinnya menyadari dengan getir. “Dia adalah Renzo Alverio. Kamu hanyalah anak simpanan Ravenshire yang tak diakui. Dunia kalian berbeda. Pergaulan kalian berbeda. Jangan biarkan rasa ini tumbuh. Itu haram dan mustahil.”
Dengan hati yang terasa berat, dia mengeluarkan ponselnya. Jarinya mengetik pesan singkat.
ALARIC ALVERIO: Maaf mengganggu, Pak. Ini Nadhifa. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih banyak atas kepindahan saya ke Divisi Keuangan. Saya merasa sangat cocok dan tertantang di sini. Terima kasih atas kesempatannya
Itu adalah sebuah pernyataan, sebuah pagar yang dia tegakkan antara dirinya dan dunia Renzo. Sebuah pengakuan bahwa dia menerima ‘penyelamatan’ Alaric, dan sebuah janji pada dirinya sendiri untuk menjauhi pusat badai yang bernama Renzo Alverio.
Motor itu kembali meluncur, membawanya menjauh dari bar, dari Renzo, dan dari rasa yang baru saja mulai bersemi, namun harus segera dipetik sebelum berkembang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments