Empat episode lagi. Tenggat waktu enam minggu. Kael menatap kalender yang ia gantung di dinding garasi, menghitung mundur dengan jari-jarinya yang masih berbau tinta spidol. Setiap kotak merah yang ia beri tanda silang terasa seperti detik-detik yang berlari lebih cepat dari kaki mereka.
"Gila, enam minggu buat empat episode?" Dimas merebahkan tubuhnya di lantai garasi yang dingin, menatap langit-langit seng yang berkarat dengan tatapan kosong. "Kael, lu sadar kan ini hampir mustahil? Episode pertama aja kita butuh enam minggu penuh."
"Makanya kita harus lebih cepat. Lebih efisien." Kael duduk bersila di depan papan tulis kecil yang ia beli dari pasar loak, papan putih bekas dengan spidol yang mulai kering. Ia menggambar diagram alur kerja yang rumit, penuh panah dan kotak-kotak. "Kita bagi kerja lebih detail. Dimas fokus ke karakter utama aja. Rani, lu handle semua background sama efek visual. Budi, sound design dan musik, lu koordinasi sama Arman. Gue yang ngatur storyboard, timing, sama quality control."
Rani yang sedang mengasah pensil di pojok garasi, menghentikan gerakannya. "Kael, itu tetep banyak banget. Tiap episode kan butuh minimal 1500 frame. Kali empat, itu 6000 frame. Dalam enam minggu?"
"Kita gak gambar ulang semuanya dari nol. Kita recycle beberapa background yang bisa dipakai lagi. Karakter juga kita bikin model sheet yang bisa dipake berulang-ulang. Tekniknya kayak... kayak assembly line, tapi buat animasi." Kael menjelaskan dengan semangat yang membuat matanya berbinar, meskipun ia sendiri tahu betapa beratnya tugas ini. Di kehidupan sebelumnya, ia pernah gagal di tahap seperti ini, terlalu ambisius, kurang persiapan, dan akhirnya burnout total.
Tapi kali ini berbeda. Kali ini ia tahu caranya.
"Assembly line?" Budi mengernyitkan dahi, kacamatanya melorot sedikit. "Maksudnya kayak pabrik?"
"Iya. Sistemnya kayak pabrik, tapi tetep ada quality control ketat. Gue gak mau kita korbanin kualitas cuma buat ngejar deadline. Tapi gue juga gak mau kita buang-buang waktu buat hal yang bisa disimplifikasi." Kael berdiri, menepuk papan tulis dengan semangat yang hampir berlebihan. "Percaya sama gue. Ini bisa."
Dimas bangkit dari lantai, menatap Kael dengan tatapan yang sulit dibaca, campuran antara percaya dan ragu. "Lu kayak orang yang udah pernah ngalamin ini sebelumnya, Kael. Terlalu percaya diri buat orang yang baru pertama kali bikin animasi."
Kael terdiam sejenak. Jantungnya berdegup cepat. Ia hampir terpeleset, hampir membocorkan rahasia yang seharusnya tidak pernah keluar dari mulutnya. Lalu ia tersenyum, senyum yang berusaha terlihat santai. "Ya... gue emang baca banyak buku. Belajar dari Disney, Studio Ghibli, semua studio besar. Mereka pake sistem kayak gini."
"Buku mana yang ngebahas detail sistem produksi animasi kayak gini? Gue gak pernah liat." Rani menatap Kael dengan tatapan curiga, tapi ia tidak mengejar lebih jauh. Mungkin ia terlalu lelah untuk berdebat.
"Ya... majalah impor, artikel di perpustakaan. Pokoknya, percaya aja dulu. Kita coba." Kael mengalihkan pembicaraan dengan cepat, tidak mau terjebak lebih dalam. "Sekarang, kita tentuin dulu cerita untuk empat episode berikutnya. Gue udah ada outline kasar."
Mereka menghabiskan sisa hari itu untuk brainstorming. Kael mengeluarkan buku catatannya yang penuh dengan sketsa kasar dan outline cerita, semuanya ia buat semalam, hampir tidak tidur, didorong oleh adrenalin dan kopi murah dari warung sebelah.
"Episode dua: Bocah kita namanya Rizal, ketemu tukang bakso yang kehilangan gerobaknya. Dia bantu cari sambil ketemu tokoh-tokoh baru di kampung. Episode tiga: Rizal ikut lomba layang-layang, tapi layangannya putus dan nyangkut di pohon tetangga yang galak. Episode empat: Hujan lebat, banjir kecil, Rizal bantu tetangga-tetangga pindahin barang. Simple, relatable, dan full sama nilai-nilai gotong royong." Kael menjelaskan dengan cepat, matanya tidak lepas dari catatan yang ia pegang.
"Kenapa semua ceritanya di kampung? Kenapa gak di kota aja sekalian?" tanya Budi, sambil mengunyah kerupuk yang ia bawa dari rumah.
"Karena kampung itu universal. Semua orang punya kenangan tentang kampung, entah kampung di Jakarta, Jawa, atau Sumatera. Kampung itu hangat. Itu rumah." Kael menjawab dengan nada yakin, suaranya pelan tapi penuh keyakinan yang sulit dibantah. "Kita gak mau bikin cerita yang cuma bisa dinikmati anak kota. Kita mau bikin cerita yang bisa dinikmati semua anak Indonesia."
Rani mengangguk pelan. "Gue suka konsepnya. Tapi... Kael, kita punya waktu enam minggu. Itu artinya kita harus selesai satu setengah episode per minggu. Itu gila."
"Emang gila. Tapi kita bisa." Kael menatap mereka satu per satu, tatapannya serius dan penuh tekad yang membakar. "Gue gak mau kita nyerah sebelum nyoba. Bu Ratna udah kasih kita kesempatan. Ini kesempatan yang mungkin gak bakal datang lagi. Kita harus ambil."
Hening sejenak. Hanya suara angin malam yang menyusup lewat celah-celah dinding garasi.
Akhirnya, Dimas menghela napas panjang, napas yang terdengar seperti kepasrahan yang dicampur dengan semangat. "Ya udah. Kita coba. Tapi lu harus janji Kael, kalau emang mulai gak sanggup, kita komunikasi. Jangan sampe ada yang drop di tengah jalan."
"Janji." Kael mengulurkan tangan, dan mereka berempat, Dimas, Rani, Budi, dan Kael menyatukan tangan mereka di tengah lingkaran kecil yang mereka bentuk. "Kita bisa. Kita harus bisa."
Hari-hari berikutnya adalah neraka yang indah. Mereka bekerja dari subuh sampai larut malam, kadang sampai matahari terbit lagi. Garasi kecil itu tidak pernah sepi, selalu ada suara pensil yang menggores kertas, suara Budi yang merekam efek suara dengan benda-benda aneh, atau suara Arman yang datang sesekali untuk merekam musik angklung.
Kael menjadi mesin. Ia tidur hanya tiga sampai empat jam sehari, sisanya ia habiskan untuk mengecek setiap frame, memastikan timing pas, dan mengatur jadwal produksi. Matanya merah, tubuhnya kurus, tapi semangatnya tidak pernah padam. Ia tahu ini adalah momen krusial, kalau mereka gagal di sini, mimpi mereka akan berhenti sebelum sempat terbang.
"Kael, lu harus istirahat. Gue serius." Rani menatap Kael dengan tatapan khawatir, tangannya menyodorkan segelas air putih. "Lu belum makan dari pagi."
"Nanti. Gue harus selesain review frame episode dua dulu." Kael menjawab tanpa mengangkat matanya dari tumpukan kertas di depannya, jari-jarinya sibuk menandai frame-frame yang perlu diperbaiki.
"Kael." Rani memanggil dengan nada lebih keras, suaranya tegas dan tidak bisa diabaikan. "Lu gak bakal bisa kerja kalau lu pingsan."
Kael akhirnya berhenti. Ia menatap Rani, lalu tersenyum lelah, senyum yang tidak punya kekuatan lagi. "Gue gak akan pingsan. Gue janji."
"Itu yang lu bilang kemaren. Terus lu hampir jatuh di tangga." Rani duduk di sebelah Kael, memaksa gelas air itu ke tangannya. "Minum. Makan. Istirahat sejam. Itu perintah."
Kael tertawa kecil, tawa yang terdengar serak dan lelah. "Sejak kapan lu jadi bos gue?"
"Sejak lu mulai gila kerja kayak gini." Rani menjawab dengan nada ketus tapi penuh perhatian, matanya tidak lepas dari wajah Kael yang pucat. "Kita semua capek, Kael. Tapi kita gak mau kehilangan lu."
Kael terdiam. Lalu ia mengangguk pelan, akhirnya minum air yang sudah mulai hangat itu. "Makasih, Ran."
Minggu ketiga, mereka menyelesaikan episode dua dan tiga. Kael memutar hasilnya di proyektor kecil yang sudah mulai rusak, layarnya berkedip-kedip, suaranya sedikit pecah, tapi cukup untuk melihat hasil kerja mereka.
Episode dua mengisahkan Rizal yang membantu Pak Bejo, tukang bakso tua yang gerobaknya hilang dicuri. Rizal berkeliling kampung, bertanya pada tetangga, sampai akhirnya menemukan gerobak itu di gudang tua yang sudah tidak terpakai. Pak Bejo menangis terharu, lalu mentraktir Rizal semangkuk bakso besar.
Episode tiga lebih ringan, Rizal ikut lomba layang-layang, tapi layangannya putus dan nyangkut di pohon Pak Raden, tetangga yang terkenal galak. Rizal takut, tapi akhirnya nekat naik ke pohon. Ternyata Pak Raden tidak segalak yang ia kira, justru ia membantu Rizal mengambil layang-layang dan mengajarinya cara mengikat benang yang lebih kuat.
Ketika layar menjadi gelap, Dimas bersandar di dinding dengan napas lega. "Dua episode lagi. Masih ada tiga minggu."
"Kita bisa kejar. Episode empat dan lima lebih sederhana. Background-nya banyak yang bisa dipakai ulang." Kael menjawab sambil mencatat di buku catatannya, pikirannya sudah loncat ke tahap berikutnya.
"Kael, gue mau ngomong sesuatu." Budi tiba-tiba bersuara, nada suaranya serius dan tidak seperti biasanya. "Gue... gue harus pulang kampung minggu depan. Bokap gue sakit."
Hening.
Kael mendongak cepat, menatap Budi dengan tatapan terkejut. "Berapa lama?"
"Gak tau. Mungkin seminggu. Mungkin lebih." Budi menatap lantai, tidak berani menatap Kael. "Gue minta maaf. Gue tau ini timing yang buruk."
"Jangan minta maaf." Kael berdiri, berjalan menghampiri Budi, lalu menepuk bahunya dengan lembut. "Keluarga lebih penting. Lu pulang. Kita bisa handle sound design sendiri. Yang penting bokap lu sembuh."
Budi menatap Kael dengan mata berkaca-kaca. "Lu serius?"
"Serius. Keluarga nomor satu. Animasi bisa tunggu." Kael tersenyum tulus, meskipun di dalam hatinya ia panik memikirkan bagaimana mereka akan mengejar deadline tanpa Budi.
"Makasih, Kael. Makasih banget." Budi memeluk Kael dengan erat, suaranya bergetar menahan tangis.
Setelah Budi pulang, beban kerja menjadi lebih berat. Kael harus mengambil alih sound design, sesuatu yang ia tidak begitu kuasai. Ia mencoba mengingat teknik-teknik yang Budi pakai, tapi hasilnya tidak senatural buatan Budi.
"Ini kedengarannya kayak orang jatuh dari pohon, bukan kayak orang jalan," keluh Dimas setelah mendengar demo sound effect yang Kael buat untuk adegan Rizal berjalan di jalan setapak.
"Gue tau. Gue lagi belajar." Kael menjawab dengan nada frustasi, tangannya meremas-remas sendok yang ia pakai untuk eksperimen efek suara.
"Gimana kalau kita minta bantuan Arman? Dia kan jago musik. Mungkin dia bisa bantuin sound design juga." Rani mengusulkan sambil terus menggambar background untuk episode terakhir.
"Good ide. Gue hubungin dia sekarang." Kael langsung bangkit, berlari ke wartel terdekat untuk menelepon Arman.
Arman datang sore itu juga, dengan tas penuh alat musik tradisional, angklung, kecrek, bedug kecil, dan berbagai benda aneh yang ternyata bisa dijadikan efek suara. "Gue denger Budi pulang kampung. Lu butuh bantuan kan?"
"Butuh banget. Lu bisa bantu sound design?" tanya Kael dengan harap-harap cemas.
"Bisa. Tapi gue gak sedetail Budi, ya. Gue cuma bisa bikin efek-efek dasar." Arman menjawab sambil mengeluarkan alat-alatnya satu per satu.
"Gak papa. Yang penting ada suara. Kita bisa polish nanti." Kael tersenyum lega, merasa beban di bahunya sedikit berkurang.
Dan dengan bantuan Arman, mereka melanjutkan perjuangan mereka, menggambar, merekam, mengedit, hingga jari-jari mereka kram dan mata mereka tidak bisa terbuka lagi.
Tiga minggu berlalu dengan kecepatan yang menakutkan. Satu per satu episode selesai, tidak sempurna, tapi cukup bagus. Cukup untuk ditayangkan.
Malam terakhir sebelum tenggat waktu, mereka duduk melingkar di garasi dengan empat kaset VHS yang rapi diberi label. Tidak ada yang bicara. Mereka hanya menatap kaset-kaset itu dengan perasaan campur aduk, lega, bangga, lelah, dan sedikit takut.
"Kita berhasil," bisik Rani akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar.
"Kita berhasil," ulang Dimas, tersenyum lelah.
Kael menatap kaset-kaset itu, lalu tersenyum, senyum yang penuh syukur dan harapan. "Ini baru awal. Perjalanan kita masih panjang."
Dan di garasi kecil yang sudah menjadi rumah kedua mereka, mimpi itu mulai tumbuh pelan, tapi pasti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Revan
💪💪
2025-10-17
0