Pagi datang dengan suara ayam berkokok dan bau nasi goreng dari warung sebelah. Kael bangun dengan perasaan aneh, campuran antara semangat dan keraguan. Ia menatap tangannya yang masih muda, lalu tersenyum kecil. "Beneran terjadi, ya," gumamnya sambil menggeleng pelan, masih setengah tak percaya.
Setelah mandi dengan air dingin dari bak mandi semen dan sarapan seadanya, nasi sisa tadi malam dengan telor ceplok, Kael bergegas ke rumah Dimas. Kali ini ia membawa tas penuh sketsa kasar dan catatan-catatan yang ia buat semalam. Kepalanya penuh ide, tapi ia tahu harus realistis. Modal nol, teknologi minim, tapi semangat melimpah.
"Dimas! Buka!" teriaknya sambil mengetuk pintu kayu yang cat hijaunya sudah mengelupas.
Pintu terbuka, dan Dimas muncul dengan wajah kusut, mata setengah terpejam, rambut berdiri seperti sarang burung. "Jam segini? Kael, gue baru tidur jam tiga tadi malem."
"Bangun, dong. Kita punya kerjaan." Kael menyeringai, lalu masuk tanpa permisi, langsung duduk di lantai ruang tamu yang beralaskan tikar anyaman.
Dimas menguap lebar, lalu ikut duduk sambil menggaruk kepala. "Lu tuh kayak kerasukan, Kael. Kemaren ngomong bikin animasi, sekarang udah nongol pagi-pagi buta. Emang lu udah punya rencana?"
"Udah." Kael mengeluarkan buku sketsanya, membuka halaman pertama yang sudah penuh coretan. "Gue udah bikin outline cerita. Judulnya 'Kucing di Pasar Malam'. Ceritanya simpel, bocah kecil kehilangan kucingnya di pasar malam, terus dia cari sambil ketemu tokoh-tokoh lucu, tukang bakso, penjual mainan, sama nenek penjual kembang gula. Endingnya, dia nemu kucingnya lagi di kandang ayam."
Dimas menatap sketsa-sketsa kasar itu, gambar bocah dengan topi, kucing belang tiga, dan suasana pasar malam dengan lampu bohlam yang berjajar. Gaya gambarnya sederhana, tapi ada kehangatan di sana. "Lumayan sih. Tapi… Kael, ini kan cuma cerita. Gimana caranya bikin jadi animasi?"
"Cara lama. Cel animation." Kael menjawab dengan nada yakin, meskipun ia tahu betapa melelahkannya metode itu. "Kita gambar frame per frame di kertas, terus kita foto pake kamera biasa. Nanti kita susun jadi video. Sederhana, tapi efektif."
Dimas mengernyit. "Itu butuh berapa banyak gambar?"
"Kalau durasi lima menit, dengan frame rate 12 per detik, yang paling hemat kita butuh sekitar 3600 frame. Tapi karena kita bisa pake teknik hold buat adegan diam, bisa turun jadi sekitar 2000-an gambar."
"Dua ribu?!" Dimas melongo. "Kael, itu gila. Cuma berdua, kita bisa mati duluan."
Kael tertawa kecil, lalu menepuk bahu Dimas dengan mantap. "Makanya kita cari bantuan. Lu punya temen lain yang jago gambar, kan? Ajak aja. Kasih tau ini proyek gila tapi seru."
Dimas diam sejenak, berpikir. Lalu ia mengangguk pelan. "Ada sih. Rani. Anak satu sekolah, jago banget gambar background. Terus ada Budi, dia jago bikin efek suara dari barang-barang aneh. Tapi… mereka mau gak ya?"
"Ajak dulu aja. Bilang ini buat portfolio. Kalau jadi, kita bisa pamer karya sendiri. Siapa tau bisa masuk TV."
Dimas menatap Kael dengan tatapan skeptis tapi penasaran. "Lu yakin banget sih, Kael. Kayak udah pernah lakuin ini sebelumnya."
Kael hanya tersenyum, senyum tipis yang menyimpan rahasia. "Ya… bisa dibilang begitu."
Siang harinya, mereka berkumpul di garasi kecil di belakang rumah Dimas. Garasi itu lebih seperti gudang, sempit, penuh kardus bekas, dan atapnya bocor di satu sudut. Tapi buat Kael, ini sempurna. Ini adalah studio mereka.
Rani datang dengan tas penuh pensil warna dan kertas gambar. Gadis itu pendiam, rambutnya dikuncir kuda, matanya tajam dan selalu mengamati detail. "Jadi, kita beneran mau bikin kartun?" tanyanya sambil menatap sketsa Kael.
"Bukan kartun sembarangan. Animasi lokal." Kael menjawab dengan nada serius yang membuatnya terdengar lebih tua dari usianya. "Kita mau bikin sesuatu yang belum pernah ada di Indonesia. Cerita kita sendiri, gaya kita sendiri."
Budi, anak laki-laki dengan kacamata tebal dan senyum lebar, tertawa kecil. "Gue sih ikut aja. Tapi gue gak bisa gambar, ya. Gue cuma bisa bikin suara-suara aneh."
"Itu yang gue butuhin," jawab Kael sambil tersenyum. "Sound design penting banget. Lu bisa bikin suara langkah kaki pake sendok, suara pintu buka-tutup pake kardus, suara kucing pake… ya terserah lu deh. Pokoknya kreatif aja."
Budi mengangguk antusias. "Oke, gue jago itu."
Mereka berempat duduk melingkar di lantai garasi yang dingin, dengan bau tanah lembap dan cahaya matahari yang menerobos celah-celah atap seng. Kael membuka buku sketsanya, lalu mulai menjelaskan visinya.
"Gue pengen animasi kita punya ciri khas. Gak perlu mewah, tapi harus hangat. Warna-warna natural, karakter yang gampang diinget, dan cerita yang bikin orang senyum. Kita gak perlu jadi Disney atau Studio Ghibli. Kita cuma perlu jadi diri kita sendiri."
Rani mengangguk pelan, jari-jarinya sudah mulai menggambar sketsa kasar untuk background pasar malam. "Gue suka ide ini. Tapi… kita punya modal berapa?"
Kael terdiam. Lalu ia tertawa hambar. "Nol. Kita mulai dari nol."
Hening sejenak. Budi menggaruk kepala, Dimas menatap langit-langit, dan Rani mengernyit.
"Tapi," lanjut Kael dengan nada optimis yang entah dari mana datangnya, "kita punya yang lebih penting dari modal. Kita punya waktu dan semangat. Kita bisa pake kertas bekas, pensil murah, dan kamera pinjaman. Yang penting kita mulai."
Dimas tersenyum tipis. "Lu emang gila, Kael. Tapi gue suka."
Rani dan Budi saling pandang, lalu mengangguk. "Ya udah. Kita coba."
Dan dengan keputusan itu, Studio Animasi Nusantara, nama yang belum mereka tentukan tapi sudah terasa di udara lahir di garasi sempit dengan empat anak muda yang punya mimpi terlalu besar untuk ukuran kantong mereka.
Hari-hari pertama adalah kekacauan yang menyenangkan. Mereka belajar sambil jalan, mencoba-coba teknik yang Kael ingat dari kehidupan sebelumnya, teknik yang seharusnya belum ada di Indonesia tahun 1991.
Dimas dan Rani menggambar frame demi frame dengan sabar, meskipun tangan mereka pegal dan mata mereka perih. Budi berkeliling mencari benda-benda yang bisa dijadikan efek suara, sendok, panci, plastik kresek, bahkan daun kering.
Kael sendiri mengatur semuanya, dari jadwal produksi, pembagian tugas, sampai teknik sederhana untuk membuat animasi terasa lebih hidup. Ia mengajari mereka tentang timing, tentang spacing, tentang cara membuat karakter terasa punya berat dan emosi.
"Lu belajar ini dari mana sih, Kael?" tanya Rani suatu sore, sambil menatap Kael dengan tatapan curiga tapi kagum. "Kayaknya lu tau banget soal animasi."
Kael hanya tersenyum sambil terus menggambar. "Banyak baca. Banyak nonton. Banyak… nyoba."
Itu setengah bohong, tapi mereka tidak perlu tahu yang sebenarnya. Belum.
Minggu ketiga, mereka berhasil menyelesaikan 200 frame pertama, sekitar 15 detik animasi kasar. Kael memutar hasilnya di proyektor slide yang ia pinjam dari sekolah, dan mereka berempat menontonnya dengan napas tertahan.
Layar putih menampilkan bocah kecil berjalan di pasar malam, matanya mencari-cari, lalu ia memanggil, "Ucing! Ucing!" Suaranya yang diisi oleh Budi dengan nada polos terdengar pas. Musik latar sederhana dari keyboard mainan Dimas menambah suasana.
Ketika layar menjadi gelap, hening melanda garasi itu.
Lalu Dimas tertawa, tawa lepas yang penuh lega. "Gila. Kita beneran bikin animasi."
Rani tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca. "Ini bagus, Kael. Beneran bagus."
Budi melompat-lompat kegirangan. "Gue mau tunjukin ini ke tetangga! Mereka pasti kaget!"
Kael hanya diam, menatap layar yang sudah padam. Dadanya terasa hangat, perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan. Ini baru awal. Masih jauh dari sempurna. Tapi ini adalah bukti bahwa mereka bisa melakukannya.
"Ayo lanjut," katanya pelan, tapi tegas. "Kita belum selesai."
Dan malam itu, mereka bekerja hingga subuh, menggambar, mengatur frame, merekam suara, dan tertawa di tengah kelelahan. Garasi kecil itu penuh dengan cahaya lampu minyak, aroma kopi murah, dan mimpi-mimpi yang terlalu besar untuk ruangan sekecil itu.
Tapi entah bagaimana, mimpi-mimpi itu terasa sangat, sangat nyata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
xiang ma'ling sheng
bagus ini, penasaran SM perkembangan zamannya
2025-10-09
0
☕︎⃝❥ Anul (PPSRS)
baguslah, no plagiat plagiat👀🍿
2025-10-09
1
☕︎⃝❥ Anul (PPSRS)
harus percaya dong👀🍿
2025-10-09
1