Sejauh meja kerja

Lia mendampingi Risa ke ruang rapat kecil yang terhubung langsung dengan ruangan Manajer Risa. Di sana, Candra dan dua anggota tim Pengembangan Bisnis sudah duduk tegang mengelilingi meja, dengan tumpukan berkas dan slide presentasi menyala di layar proyektor.

​Risa masuk, dan semua yang ada di ruangan itu serentak berdiri memberikan salam. Mau bagaimana pun, Risa memang selalu dihargai di kantornya. Ia bahkan menjadi idola dari beberapa divisi yang mengagumi kepintaran dan kecerdikan Risa dalam hal proyek yang dia kerjakan.

​Sebuah pengakuan dan kehormatan yang terasa tidak berguna di mata Damian, suaminya, yang selalu memandang Risa sebelah mata.

​Risa menganggukkan kepala singkat, lalu dia duduk di kepala meja. Dalam sekejap, topeng profesionalnya yang sempurna kembali terpasang, mengubur segala sisa kelelahan dan rasa sakit.

​Namun, banyak orang yang menyadari wajah Manajer mereka saat ini kelihatan pucat dari biasanya. Setelah Risa duduk, semuanya langsung duduk, dan suasana kembali tegang. Dua pasangan suami istri ini memang mempunyai aura dingin yang cukup kuat dan juga tinggi. Bahkan, semua yang ada di ruangan ini juga terlihat tegang; mereka akui tidak pernah melihat sisi lunak dari manajernya ini.

​"Baik, kita mulai," ujar Risa, suaranya tegas tanpa cela. Ia langsung ke inti, tidak membuang waktu. "Proyek Gamma adalah tender kunci triwulan ini. Kita tidak boleh gagal. Candra, tunjukkan revisi akhir yang diminta Tuan Hartono."

​Candra, yang tampak sedikit gentar, segera mengambil kendali. "Revisi Tuan Hartono berkaitan dengan skema investasi jangka menengah, Manajer Risa. Kami sudah melakukan penyesuaian untuk meminimalisir risiko 0,5% lebih lanjut, seperti yang beliau minta."

Risa menyimak, matanya yang tajam menelusuri setiap angka di layar besar yang ada di depan. Baginya, angka dan strategi bisnis adalah medan perang di mana ia bisa membuktikan nilainya, dan yang terpenting, membayar hutang budinya.

​Balas budi pada Kakek Wijaya. Janji itu selalu menjadi penopangnya, bahkan ketika tubuhnya sendiri mulai menolak.

​Ia tahu, jika tender ini berhasil dan hampir semua proyek yang ditanganinya selalu berhasil Damian akan menggunakannya sebagai alasan untuk menuntut lebih. Damian akan melihat keberhasilan ini bukan sebagai bukti dedikasi Risa, melainkan sebagai bukti bahwa Risa "cukup cerdik" untuk melipatgandakan harta yang diincarnya.

​Ini adalah ironi yang memuakkan: semakin ia membuktikan diri, semakin kuat suaminya percaya pada kesalahpahaman itu.

​Risa tiba-tiba merasakan denyutan tajam di perutnya. Rasa sakit yang beberapa hari ini semakin sering datang. Risa memejamkan mata sebentar berharap rasa itu segera hilang. Ia dengan cepat menyesap air putih di depannya. Tangannya yang memegang gelas sedikit gemetar, tapi ia berhasil menyembunyikannya dari tatapan timnya yang fokus ke layar.

​"Skema risiko sudah baik," potong Risa, menarik perhatian tim kembali. "Tapi tambahkan klausul fleksibilitas aset likuid di poin delapan. Saya ingin kita siap jika ada perubahan nilai pasar yang mendadak."

​Candra segera mencatat. Semua tim tahu, insting bisnis Manajer Risa nyaris tanpa cela. Mereka menghormatinya. Ia adalah pahlawan tanpa tanda jasa bagi perusahaan yang dipimpin oleh suaminya sendiri.

​Risa sadar, ia harus berhasil di sini. Bukan hanya karena harga dirinya, tapi karena jika Wijaya Group terpuruk, semua yang diperjuangkan Kakeknya akan hilang. Ini adalah wasiat tak tertulis yang mengikatnya selama lima tahun terakhir.

​Sambil memberikan instruksi terakhir kepada tim, mata Risa tertuju pada dinding ruang rapat. Dinding itu adalah batas, dan di baliknya, hanya beberapa meter jauhnya, Damian sedang duduk di singgasananya, menghitung untung rugi, dan mungkin, merenungkan betapa ia membenci pernikahan ini.

Risa menyelesaikan rapat dengan dingin dan efisien. Ia berjanji akan menyerahkan berkas revisi akhir pada Lia sebelum jam makan siang.

​Rapat akhirnya selesai. "Kalian keluar duluan saja!" ucap Risa dingin.

​Mereka sebenarnya menyadari keadaan Risa yang terlihat kurang baik, akan tetapi mereka tentunya tidak berani menegur. Lia yang notabene adalah asisten Risa saja tidak ada keberanian menanyakan hal yang bersifat pribadi. Mereka tahu, Manajer Risa adalah profesional sejati yang tidak suka dicampuri urusan pribadinya.

​"Baik, Manager Risa!" jawab semua tim kompak, lalu keluar dari ruang meeting karena Risa hanya diam dan saat ini dia sedang menahan sakit.

​Setelah merasa sedikit baikan, Risa kembali ke ruang kerjanya. Ia langsung menyandarkan punggung ke kursi, merasakan kelelahan yang luar biasa, bukan hanya dari pekerjaan, tapi dari sandiwara lima tahun itu.

​"Hah..." Ucap Risa dengan napas lelah. Ia mengeluarkan dua butir obat penghilang nyeri dari saku jasnya dan menelannya tanpa air.

​Glek.

​"Hanya sedikit lagi," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris hilang. "Aku harus bertahan untuk kakek."

​Risa tidak yakin akan bertahan lama atau tidak. Risa menyadari jika dirinya selama lima tahun ini juga sudah merasakan cinta yang hampir merekah untuk Damian. Akan tetapi, Risa terkadang merasakan cinta itu mati saat Damian mengatakan hal-hal yang cukup tidak enak didengar, atau saat melihat mata dinginnya yang penuh tuduhan. Cinta itu ibarat bunga yang terus-menerus disiram air es.

Damian berjalan masuk ke kantor pribadinya setelah interaksi dinginnya dengan Manager Risa di koridor. Kantornya luas, didominasi warna monokrom, dan dilapisi dinding kaca tebal yang menghadap ke pemandangan kota Jakarta yang sesak. Itu adalah ruang yang sempurna untuk seorang pria yang menyukai keteraturan, kendali, dan kesendirian.

​Ia melemparkan dirinya ke kursi CEO chair yang mahal. Alih-alih langsung fokus pada laporan yang dibawakan Reno, pikirannya justru kembali pada sapaan formal Risa tadi.

​"Selamat pagi, Tuan Damian."

​Kata-kata itu, diucapkan dengan nada datar dan hormat, selalu terasa seperti batu dingin yang dilemparkan ke dirinya. Itu adalah pengingat konstan bahwa Risa memainkan peran ini dengan sempurna: peran sebagai karyawan yang ambisius, yang secara kebetulan menikahinya demi mendapatkan akses ke tahta perusahaan.

​"Tuan Damian," suara Reno, asistennya, memecah keheningan. "Laporan triwulan dari Manajer Risa akan masuk sebelum makan siang. Saya pastikan itu."

​"Aku tidak meragukannya," potong Damian dingin. "Dia selalu efisien dalam hal yang menguntungkan dirinya."

​Reno hanya menunduk, tidak berani berkomentar. Semua orang tahu hubungan dingin antara CEO dan Manajer Pengembangan Bisnis, namun tidak ada yang tahu bahwa mereka adalah suami istri.

​Damian mengambil tablet di mejanya, bukan untuk bekerja, tapi untuk melihat berita keuangan. Namun, matanya kembali jatuh pada citra Risa.

​Lima tahun. Lima tahun ia mempertahankan benteng kemarahan dan kesalahpahaman ini. Ia masih ingat hari di mana Kakeknya, yang sangat ia hormati, mengancam akan mencabut seluruh warisan jika ia tidak menikahi gadis panti asuhan yang telah dibiayai pendidikannya itu.

​Dia dijodohkan denganmu agar dia bisa hidup enak, Damian. Dia hanya mengincar Wijaya Group.

Tuduhan itu berasal dari kesalahpahaman yang berakar pada keserakahan kerabatnya, namun Damian menerimanya sebagai kebenaran mutlak. Bagaimana mungkin gadis dari panti asuhan itu menolak pernikahan dengan seorang CEO kaya jika bukan karena harta?

​Sikap profesional Risa di kantor justru semakin memperkuat kecurigaan Damian.

Keberhasilan Risa memenangkan tender, kemampuannya dalam negosiasi, dan keahliannya membaca pasar semua itu bagi Damian adalah bukti dari kecerdasan licik Risa untuk memuluskan jalannya menuju kekuasaan.

​Ia tidak pernah melihatnya sebagai dedikasi. Ia melihatnya sebagai upaya penjarahan yang cerdas.

​Damian menghela napas kasar. Ia meraih cangkir kopinya, isinya sudah mendingin, sama seperti perasaannya. Ia tidak peduli Risa bekerja keras; ia hanya peduli bahwa Risa tidak boleh mendapatkan kepuasan dari peran yang diincarnya. Inilah mengapa ia selalu menuntut dan memperlakukannya seolah Risa hanyalah pion yang bisa ia ganti kapan saja.

​Ia harus membuat Risa menyadari bahwa dia hanya pajangan yang dibeli kakeknya, tidak lebih.

​"Reno," panggil Damian, matanya kembali tajam dan fokus. "Jadwalkan rapat strategis. Aku ingin membahas Proyek Gamma hari ini. Aku akan memeriksa semua laporan Manajer Risa secara pribadi. Pastikan tidak ada celah."

​Perintah itu adalah janji tak terucapkan: Damian akan mencari kekurangan Risa. Bukan karena dia khawatir perusahaan akan rugi, tapi karena dia ingin mencari alasan untuk menunjukkan bahwa Risa tidak sempurna, dan dengan demikian, tidak layak berada di sisinya.

​Ia tidak sadar, bahwa di balik dinding tipis yang memisahkan mereka, Risa sedang menelan obat pereda nyeri demi menjaga perusahaan yang begitu ia benci untuk dipertahankan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!