3. Nafas yang Menggoda.

"Beri aku Negroni,"

Angelika berkata pada bartender setelah mendudukkan tubuhnya di kursi di depan meja bar dari sebuah night club yang ia datangi malam ini.

Bartender itu menyapa, tersenyum ramah, lalu mengangguk dan mulai meracik apa yang Angelika minta. Sementara Angelika mengedarkan pandangannya sejenak, melihat pria dan wanita yang berada di sana tampak begitu santai menikmati waktu mereka. Duduk bersama pasangan, teman, bahkan menari dengan iringan musik jazz yang mengalun lembut.

"Silakan, Nona."

Suara dari bartender membuat Angelika tersentak ringan, menerima gelas yang disodorkan padanya dan menyesapnya pelan tanpa berpindah dari duduknya.

"Permisi."

Angelika menoleh, mendapati pria berpenampilan formal berdiri di samping Angelika duduk, mengangkat gelas sebagai bentuk sapaan sopan dan tersenyum.

"Ya?" sahut Angelika dengan alis terangkat.

"Boleh aku duduk di sini?" ijin pria itu sembari menunjuk kursi kosong di samping Angelika.

Suara bariton dari pria itu berbaur dengan suara musik yang mengalun, membuai pendengaran Angelika sesaat. Netra Angelina mengunci Wajah maskulin pria itu di bawah siraman kelap-kelip cahaya lampu bar, rahang tegas dengan netra setajam elang, ditambah dengan setelan jas abu gelap yang dia kenakan membuat penampilanya tampak sempurna.

Alis Angelika kembali terangkat, yang membuat pria itu mengangkat gelas di tangannya, lalu menunjuk kursi kosong di samping Angelika sebagai pengulangan pertanyaan tanpa ucapan.

"Dan itu artinya..." dia berkata lagi setelah menunggu tetapi tidak mendapatkan jawaban.

"Ah... Silakan," sahut Angelika.

Pria itu tersenyum menawan, duduk di samping Angelika tanpa keraguan, lalu mengulurkan tangan setelah meletakkan gelasnya di meja.

"Dean," ujarnya.

"Angelika," sambutnya tersenyum.

"Apakah kamu datang untuk menemui seseorang?" tanya Dean setlah melepaskan tangannya dari Angelika.

Angelika tersenyum, lalu menggeleng. "Tidak."

"Bersama seseorang?" Dean bertanya lagi.

"Juga tidak, aku datang sendirian," jawab Angelika.

Dean mengangguk singkat tanda mengerti, pandangannya terkunci pada wajah cantik yang Angelika miliki, terpesona, lalu turun pada minuman yang ada di depan Angelika.

"Negroni?" Dean menaikkan alis, memperhatikan Angelika saat wanita itu menyesap minumannya dan meletakkan kembali gelas itu.

"Apa?" sambut Angelika mengerutkan kening.

"Coktail yang kamu minum," ujar Dean menunjuk gelas Angelika.

"Ah... Ini?" melihat gelasnya sendiri, lalu beralih panda Dean. "Apakah ada yang salah?" tanyanya.

"Tidak," Dean menggeleng. "Hanya saja, sungguh tidak biasa jika seorang wanita akan menyukai minuman bercitarasa pahit," sambungnya berkomentar.

Angelika tertawa singkat. "Mungkin... karena aku bukan seperti wanita yang biasanya," jawabnya asal.

"Aku percaya," sahut Dean.

Mereka saling pandang sejenak, lalu tertawa, seolah itu adalah pertemuan kesekian kalinya. Baru Angelika sadari, pria yang mendekatinya saat ini memiliki mata biru mempesona. Gesturnya yang tampak santai justru membuat pertemuan pertama itu terasa berbeda. Dan anehnya, Angelika merasa... nyaman.

"Dan milikmu?" Angelika bertanya sembari menunjuk gelas minuman Dean.

"Ini?" Dean mengangkat gelasnya yang segera mendapatkan anggukan dari Angelika.

"Bourbon," jawab Dean.

"Aroma kayu ek dan vanila," Angelika berkomentar. "Jadi, kamu lebih menyukai rasa halus dan manis?" tanyanya.

"Benar sekali," sahut Dean.

"Sangat sesuai dengan auramu," Angelika berkomentar lagi seraya menyesap kembali minumannnya.

"Aura?" Dean mengerutkan kening.

"Ya, aura seorang pria yang tahu dengan apa yang dia inginkan," jawab Angelika.

"Dan kamu... seorang wanita yang tahu dengan apa yang perlu kamu hindari?" tebak Dean.

Angelika terkekeh pelan, membenarkan atas apa yang Dean ucapkan dengan anggukan ringan. Dalam benaknya, ia mulai tertarik dengan pria asing yang baru saja ia kenal, melupakan sejenak pertemuannya dengan Angelina yang kemunculannya membuat posisinya terancam, tetapi disaat yang sama ia seakan mendapatkan jalan keluar dari sesuatu yang selalu menahannya untuk melakukan apa yang ia ingin ia lakukan.

"Sejujurnya..." Dean kembali berbicara setelah menyesap minumannya. "Aku tidak terbiasa berinisiatif mendekati wanita, tapi kamu... berbeda."

"Apakah itu yang kamu katakan pada semua wanita yang baru pertama kamu temui?" selidik Angelika menyipitkan mata.

"Tidak." Dean menggeleng. "Hanya pada wanita yang menyimpan misteri di matanya sepertimu," lanjutnya jujur.

Pandangan mereka saling terkunci, lebih lekat, lebih dalam, dan lebih lama, seakan ingin menyelami hati satu sama lain.

"Ingin menari?" tawar Dean mengulurkan tangan.

"Tidak." Angelika menggeleng. "Aku sedang tidak ingin melakukannya."

"Kalau begitu... bagaimana jika kita ke rooftop bar ini? Setidaknya, di sana memiliki suasana lebih tenang," ajak Dean.

Angelika tidak segera memberikan jawaban, netranya menelisik mata biru Dean seakan ingin melihat lebih dalam apa yang ada di baliknya.

"Tidak ada suara musik, tidak ada alkohol, dan tidak ada orang-orang di sekitar," Dean kembali berbicara. "Cukup lima menit jika kamu ragu padaku," tambahnya kemudian.

Angelika terkekeh pelan, lalu mengangguk. "Baiklah."

Dean berdiri, mengulurkan tangannya dengan sedikit membungkukkan badan yang segera disambut oleh Angelika. Sesekali mereka bertukar pandang di tengah langkah mereka menyusuri lorong menuju rooftop, tidak mengatakan apapun tapi tidak merasa kosong. Justru kebisuan yang ada membentuk jeda kecil yang mematik rasa penasaran keduanya.

Angelika merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, rasa penasaran terhadap Dean meningkat tepat saat seorang pria yang berjalan dari arah berlawanan tidak sengaja menabraknya, dan Dean menangkap tubuhnya di waktu yang tepat sebelum ia benar-benar terjatuh, mengikis habis jarak yang sebelumnya ada diantara mereka.

Aroma maskulin dari parfum yang Dean gunakan seketika memenuhi indra penciuman Angelika. Aroma yang terasa mengganggu dalam cara yang... aneh.

"Aku suka aroma parfummu," ucap Angelika tiba-tiba.

Dean menurunkan pandangan, menaikan alis sembari membantu Angelika untuk menegakkan tubuhnya.

"Kamu satu dari sedikit orang yang mengatakan hal itu secara langsung," sahut Dean. "Mereka cenderung mengendus tanpa mengatakan apa yang mereka pikirkan."

Angelika hanya tersenyum tipis.

Mereka kembali melanjutkan langkah. Dan ketika Dean membuka pintu penghubung rooftop, angin dingin segera menyambut keduanya.

Angin malam menyibakkan rambut coklat Angelika, melambaikan gaun yang tengah ia kenakan yang membuat Angelika reflek memeluk tubuhnya sendiri.

"Dingin?" tanya Dean.

Tanpa menunggu jawaban, Dean segera membuka jasnya, menyampirkan jas itu di bahu Angelika yang terbuka.

"Gentlemen," komentar Angelika sambil tersenyum, meski tak bisa ia pungkiri detak jantungnya semakin menggila.

Dean terseyum, melangkah maju menuju pagar pembatas dengan satu tangan di saku celana.

"Pemandangannya bagus," ucap Dean.

Angelika berdiri di samping Dean dengan pandangan tertuju pada kota yang terbentang di hadapannya.

"Apakah kau berada di night club ini untuk mendapatkan seorang kekasih?"

Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Angelika, ia bahkan tidak merencanakannya sama sekali.

Dean menoleh cepat, menatap tajam Angelika yang kini sedang tidak menatapnya, tetapi tidak menyentuh. Jarak mereka hanya satu langkah, tetapi Dean bisa merasakan kegugupan yang wanita itu rasakan seolah wanita itu telah salah bicara.

"Bagaimana jika aku menjawab iya?" ucap Dean.

Angelika menoleh, menatap Dean dalam diam. Bibirnya bergerak, tetapi tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Hening. Tetapi bukan hening yang canggung, melainkan hening yang... sangat menggoda.

"Apakah kamu sudah mendapatkannya?" Angelika memangkas jarak, membuat keduanya nyaris saling menempel dengan hembusan napas yang saling beradu.

Dean menatap Angelika lama, dan Angelika membalas tatapan itu dengan intensitas yang sama. Ada sesuatu diantara mereka yang keduanya rasakan. Bukan cinta, tetapi seperti sesuatu yang saling tarik-menarik tanpa nama.

"Jika kamu terus menatapku seperti itu, aku bisa salah paham," ucap Dean tersenyum.

"Mungkin... aku memang ingin kamu salah paham," balas Angelika dengan suara pelan nyaris seperti bisikan.

Angin berhembus pelan, membawa aroma khas dari kota yang terbentang di sekitar mereka. Tetapi yang kini Angelika rasakan bukan dingin, melainkan kehangatan dari pria asing yang berdiri di depannya tanpa menyentuhnya.

"Apakah kamu selalu seberani ini pada pria asing?" tanya Dean.

Angelika menggeleng. "Tidak."

"Jadi, aku pengecualian?" tanya Dean lagi.

"Entahlah, aku hanya merasa... bebas malam ini," jawab Angelika

Hening...

Dean tidak menimpali, ia mersakan siratan kata yang Angelika ucapkan begitu dalam, netranya menelusuri wajah cantik Angelika. Jujur, ia terpesona dengan kecantikan Angelika yang begitu sempurna, lalu terhenti di bibir wanita itu. Diam. Seolah menunggu mendapatkan ijin.

"Bolehkah aku..."

. . . .

. . . .

To be continued...

Terpopuler

Comments

Zhu Yun💫

Zhu Yun💫

Dean : Ya, Sehalus dan semanis anumu /Hammer//Hammer/

2025-10-08

1

aleena

aleena

ooh akooh Baru juga bertemmmu sudah saling bertaut 🤭🤭 saling membelit /Tongue//Tongue/

2025-10-08

2

Zhu Yun💫

Zhu Yun💫

Boleh... boleh banget... silahkan di kokop /Hammer//Hammer//Hammer//Hammer//Hammer//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/

2025-10-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!