Bab 4 Seseorang Mengirimnya

“Celline ….”

Tidak ada jawaban.

Yang ada hanya Diana, ibunya, berdiri di ruang tamu sambil menatap pintu yang baru saja tertutup. Wajahnya masih basah oleh air mata, sorot matanya penuh haru.

“Ibu, di mana Celline?” tanya Noah cepat, matanya menyapu seisi rumah. Tak ada tanda-tanda istrinya.

Diana menoleh pelan. “Aku sudah memintanya untuk menunggu sampai besok, tapi Laura bersikeras ingin pergi malam ini. Aku sebenarnya tidak tega melihatnya. Dia tampak seperti wanita yang baik.”

Nada suaranya penuh iba. Ia memang tidak tahu apa pun tentang masa lalu Laura — yang ia tahu, hanya bahwa Laura adalah bibi dari Eldy, pria kecil yang begitu ia sayangi.

“Ibu.” Noah menahan napasnya. “Di mana Celline?”

“Ah?” Diana tampak terkejut, baru sadar dari lamunannya. Ia buru-buru menghapus sisa air mata di pipinya.

“Celline sedang menyiapkan kamar untuk Laura. Katanya dia juga menyiapkan beberapa baju ganti untuknya.”

Tak lama kemudian, langkah cepat terdengar dari tangga. Celline muncul dengan tumpukan pakaian di tangannya, rambutnya sedikit berantakan.

“Noah, kau sudah pulang?” katanya dengan napas agak tersengal.

Noah menatapnya tajam. “Apa yang kau lakukan?”

“Membawakan baju ganti untuk Laura,” jawabnya tanpa rasa curiga. “Kau membelikanku terlalu banyak, jadi kupikir akan lebih baik kalau sebagian kuberikan padanya. Tadi dia tampak sangat terpukul setelah aku memberitahunya tentang Eldy. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.”

Celline berbalik, hendak melangkah, namun suara Noah menahannya. “Celline, kau tidak tahu kalau dia sudah pergi?”

Wanita itu berhenti di tempatnya. “Pergi? Maksudmu, Laura? Dia … sudah tidak di sini?”

“Aku berpapasan dengannya di luar. Dia bilang akan pergi.”

Wajah Celline menegang. “Tapi kenapa dia tidak bilang apa-apa padaku? Aku sudah menyarankan supaya dia menunggu besok.”

“Aku tadi bicara dengannya sebentar,” sela Diana lirih. “Dia terus menangis, jadi aku mencoba menenangkannya. Tapi setelah itu, dia bilang harus pergi malam ini juga.”

Noah merasakan sesuatu yang tidak beres.

Ibunya memang tidak tahu siapa sebenarnya Laura dan apa yang pernah dia lakukan. Dan jika ibunya sempat bicara mengenai jantung Eldy yang didonorkan untuk Damien, maka ….

“Ibu.” Suara Noah menurun, tapi tegas. “Apa yang kalian bicarakan tadi?”

Diana tampak ragu. “Aku membicarakan mengenai Eldy, dan menceritakan sedikit kisahnya.”

Noah menatapnya lebih dalam, wajahnya mengeras. “Kau tidak mengatakan tentang Eldy dan Damien, kan?”

Diana terdiam. Tatapannya goyah.

Melihat itu, Noah maju selangkah, nadanya meninggi sedikit—bukan marah, tapi penuh ketegangan.

“Ibu … tolong katakan, kau tidak mengatakannya, kan?”

“Ini … sebenarnya ada apa dengan kalian? Mengapa kalian terlihat panik sekali?” tanya Diana heran.

“Ibu, Laura itu gila!” Suara Noah meninggi tanpa sengaja. “Dia memiliki dendam pada Alex dan Eve. Jika Ibu mengatakan tentang Eldy dan Damien, kita tidak tahu apa yang bisa dilakukan wanita itu nanti.”

“Gila? Laura gila?” Diana memandangi mereka dengan mata membulat. “Kenapa kalian tidak mengatakannya padaku? Tapi—aku melihatnya baik-baik saja tadi.”

“Ibu, Laura pernah dipenjara karena perbuatannya,” tegas Noah. “Dia berbahaya. Meski sekarang bebas, entah siapa yang membebaskannya, kita harus berhati-hati.”

Diana menelan ludah, wajahnya berubah tegang.

“Noah, aku tidak mengatakan banyak hal. Dia pergi sebelum Celline kembali. Kalian tidak perlu khawatir, dia bilang akan pulang ke kampung halamannya dan tidak akan kembali ke sini lagi,” ujarnya sambil mengibaskan tangan, berusaha menenangkan diri. Ia lalu berbalik menuju kamarnya.

Begitu Diana menghilang di balik pintu, Celline menggenggam lengan Noah cemas.

“Apa ini benar-benar tidak apa-apa? Maaf … aku tidak tahu Ibu sempat masuk ke kamar Laura saat aku mengambil baju-baju tadi. Aku sudah berusaha menutupinya sejak awal. Bahkan waktu di restoran, aku sudah berusaha menjauhkan Laura dari Damien.”

Noah menatapnya, lalu menepuk tangan Celline lembut. “Kau sudah melakukan hal yang benar. Nic juga mengatakan hal yang sama padaku.”

“Tapi … aku tetap khawatir.”

“Tidak apa-apa.” Senyum Noah tenang, tapi matanya tetap waspada. “Alex pasti akan menanganinya.”

Sementara itu, di tempat lain,

Alex tengah bersama Eve di kamar mereka. Suasana sore begitu tenang, hanya suara lembut napas yang terdengar di antara keheningan.

Alex menatap wajah istrinya yang kelelahan di pelukannya—wajah yang selalu membuatnya kehilangan kendali.

Sentuhan-sentuhannya lembut namun penuh makna, seperti ingin menegaskan betapa berartinya wanita itu baginya.

Eve menatap balik dengan senyum lemah, matanya lembut namun berkilat malu. Alex menunduk sedikit, membisikkan sesuatu di telinganya, nada suaranya dalam dan menggoda

Sore itu terlewat begitu cepat, tapi juga sangat panjang dan melelahkan.

Tapi ketika mereka keluar, Pak Frans mengatakan kalau Damien dan Daisy pergi menemui Nic dan Nelly.

Alex menghela napas panjang, menyesal sudah terburu-buru keluar tadi. Seharusnya dia bisa menggoda Eve lebih lama. Siapa tahu ada sesi kedua nanti.

Damien dan Daisy bukan hanya makan malam dengan mereka, tapi juga menginap di sana.

Karena rumah malam ini terasa lebih sepi, Eve memilih masuk kamar lebih awal. Ia sempat mengajak Alex tidur bersama, tapi pria itu belum benar-benar ingin tidur.

“Kau tidak tidur?” tanya Eve, matanya setengah terpejam.

“Tidurlah. Aku masih ada sedikit urusan nanti.”

“Kalau begitu, selesaikan saja. Aku bisa tidur sendiri.”

“Tidak. Aku akan pergi setelah kau tidur.” Alex mengusap rambut Eve lembut, lalu mengecup keningnya.

Alex tidak pernah berubah—tak peduli seberapa sibuk atau banyak urusannya, dia selalu menunggu sampai Eve benar-benar terlelap sebelum pergi.

Tak lama setelah itu, ponselnya bergetar. Pesan dari Nic.

Saat Alex keluar, Nic sudah menunggunya di meja bar, duduk santai sambil menyesap kopi.

“Anak-anakku sudah tidur?” tanya Alex.

“Saat aku pergi tadi, belum. Mungkin sekarang sudah. Aku langsung ke sini setelah makan malam.” Nic bangkit dari duduknya, menatap Alex. “Apa Eve sudah tidur?”

“En.”

Nic menoleh cepat, menelusuri ruangan dengan pandangan waspada—sekadar memastikan Eve benar-benar di kamar.

“Apa yang ingin kau katakan?”

“Alex, Laura kembali,” ucap Nic akhirnya, nada suaranya lebih rendah. “Dia datang ke rumah Noah dan mengatakan ingin melihat keponakannya, Eldy.”

Alex menarik napas berat. “Jadi dia masih mengejar masalah ini?”

“Bukankah Eldy memang keponakannya? Selain itu, tidak ada lagi yang tersisa dari kakaknya—selain darah daging pria itu.”

Alex menyisir rambutnya kasar. “Seharusnya … otoritasku cukup untuk membuatnya mendekam di sana. Selamanya.”

Nic mengernyit. “Maksudmu … seseorang di atasmu yang menggerakkannya?”

Alex mengangguk pelan. “Ya. Ada seseorang yang mengirimnya. Dan orang ini—kekuasaan dia jauh di atasku.”

Nic terdiam sejenak. “Siapa?”

“Entahlah.” Alex menghela napas panjang. “Rayyan kembali hari ini, kan? Tanyakan apakah dia sudah tiba atau belum. Aku menunggunya di sini.”

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!